⁠⁠⁠Milad Rasul SAW Segala Zaman

(Foto: Arsip)

Oleh: Imam Shamsi Ali/ Presiden Nusantara Foundation

Bulan ini adalah salah satu bersejarah dalam Islam. Yaitu kelahiran seorang lelaki yang kelak menjadi pemimpin dunia. Tentu pemimpin dalam arti yang umum sekaligus khusus. Secara umum karen beliau dihormati, disegani, dihormati, sekaligus dicintai begitu bangak manusia. Khusus karena beliau adalah seorang rasul yang tidak saja diutus kepada kaum tertentu. Tapi untuk seluruh manusia (kaafatan linnaas).

Muhammad (SAW) sang rasul terakhir yang diutus sebagai “rahmah” bagi seluruh kalangan. Dia adalah manusia biasa (basyar) tapi beliau tidak layaknya manusia. “Beliau bagaikan mutiara, dan manusia lainnya adalah bebatuan”. (Pepatah Arab).

Beliau tidak saja dikenal sebagai “khatam an-Nabiyyin” (seal of the prophets). Diutus ke seluruh kalangan manusia (kaafatan linnas). Beliau adalah rasul dan nabi bagi semua bangsa dan suku (syu’uub wa qabaa’il). Dan yang terpenting beliau adalah “sayyidul mursaliin” (penghulu para rasul), dan satu-satunya yang akan diberikan hak syafaat di hari penghisaban.

Mengingat vs memperingati

Memang ada perdebatan di antara para ulama perihal Maulid Rasul. Perdebatan mengenai hari/tanggal lahir beliau, dan juga yang paling sering diperdebatkan adalah bolehkah atau tidak memperingati hari lahir beliau?

Perdebatan ini terkadang sengit hingga kepada jatuhnya palu bid’ah, haram, dan lain-lain. Atau sebaliknya mereka yang tidak merayakan kelahiran beliau dianggap “kurang cinta” kepada Rasul SAW.

Saya tidak bermaksud mendukung atau melawan dua opini yang berbeda itu. Pertama, karena saya yakin perbedaan itu adalah perbedaan cara pandang dan penafsiran yang tidak akan mengganggu iman saya.

Kedua, dan bagi ini saya ini yang terpenting, keduanya sepakat bahwa “mengingat” (walaupun tidak harus memperingati) kelahiran dan sirah atau sejarah hidup rasul adalah keharusan. Betapa tidak. Mengingat adalah indikasi “ilmu”. Dan ilmu adalah dasar dari segala ikatan kita dengan beliau.

Mengenal sirah

Karena ilmulah yang menjadi dasar ikatan seorang Mu’min dan rasulnya maka pengenalan sirah menjadi sebuah keharusan.

Memang kita kenal bahwa ilmu adalah “kunci” kesuksesan berislam. Dengan ilmu iman menjadi solid. Dengan ilmu ibadah maqbul (diterima). Dan dengan ilmu akhlak dan prilaku menjadi indah. Maka dengan ilmulah segala kebaikan dalam agama diraih.

Nabi bersabda: “Siapa yang dikehendaki kebaikan baginya oleh Allah, dia diberikan pemahaman dalam agama” (hadits).

Seorang mu’min memiliki ikatan dengan Rasulullah pada tiga tingkatan:

Pertama, ikatan iman. Iman seorang Muslim tidak sah tanpa keimanan yang benar kepada . Ikrar syahadat mu’min tidak sempurna dan tidak diterima tanpa ikrar kepada Muhammad SAW sebagai rasul Allah. Dapatkah kemudian seseorang mengimani sesuatu yang dia tidak ketahui?

Iman dalam pandangan Islam adalah “maa waqara fil qalbi”. Yaitu sebuah keyakinan yang tertanam kuat dalam hati. Keyakinan kuat inilah yang kemudian menjadi “motor” penggerak dalam karakter dan prilaku (saddaqahul amal). Tapi satu hal yang menjadi pegangan kuat bagi orang Muslim bahwa keyakinannya itu memang dibangun di atas asas “keilmuan” yang jelas.

Urgensi keilmuan inilah sesungguhnya yang mendasari betapa ayat-ayat Al-Quran di saat berbicara tentang Tuhan pada umumnya dikaitkan dengan fenomena alam. Penyebutan langit, bumi, laut dan berbagai fenomen alam merupakan indikasi urgensi “akal” manusia dalam membangun iman yang solid.

Dan ini pula tentunya kenapa ayat pertama yang turun kepada rasulullah SAW adalah perintah “membaca” (Iqra’). Membaca dalam arti utilisasi akal manusia dalam perjalanan menuju kepada keilmuan tentang alam sekitar, yang mengantar kepada keimanan kepada sang Pencipta.

Dalam ikatan seorang Mu’min dengan Rasulnya juga demikian. Hanya dengan mengenal beliau, tahu tentang beliau dan hidupnya, seorang Mu’min akan mengimaninya secara baik.

Kedua, ikatan cinta. Karena iman adalah kata hati, maka salah satu elemen dasar iman adalah “cinta”. Mengimani berarti mencintai. Dan hanya dengan cinta, iman itu menjadi sungguh, solid dan indah.

Inilah yang digariskan oleh Rasul SAW dalam beberapa statement (hadits) beliau. Bahwa seorang Mu’min tidak sungguh dalam iman hingga mencintai Rasul melebihi dirinya, orang tuanya dan semua manusia.

Cinta ini pulalah yang menjadi kunci kebersamaan Mu’min dengan rasulullah SAW di akhirat nanti. Dalam sebuah hadits dikisahkan seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW: “Kapan hari Kiamat terjadi ya Rasulallah?”

Nabi tidak menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya beliau hanya diam tanpa respon. Sahabat itu kembali mengulagi pertanyaannya hingga tiga kali. Pada kali ketiga itulah nabi merespon. Tapi respon beliau bukan jawaban atas pertanyaan sang sahabat.

Respon beliau kepadanya justeru ingin meyakinkan jika sahabat itu tahu menyikapi tentang hari Kiamat. Bahwa yang perlu diketahui adalah bukan kapan, bahkan bagaimana terjadinya. Sebab hal itu memang hanya Allah yang Maha tahu. Yang pernah diberitahukan kepada Rasulullah hanya tanda-tanda Hari Kiamat itu.

Oleh karenanya dalam merespon Rasulullah menanyakan kesiapan sahabat itu jika Hari Kiamat pada saatnya. Persiapan inilah yang lebih penting dilakukan. Maka beliau bertanya: “lalu apa yang kamu telah persiapkan?”.

Sahabat itu mengakui jika amalannya tidak sehebat sahabat-sahabat lainnya. Tapi kemudian beliau menambahkan: “akan tetapi saya sangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya”.

Mendengar itu Rasulullah SAW meyakinkan beliau: “engkau akan bersama dengan siapa yang engkau cintai (Rasul) di hari Kiamat itu”.

Maka cinta adalah kunci kebersamaan dengan baginda Rasul. Ikatan kebersamaan dalam hidup ini. Dan kunci kebersamaan dengannya di syurga nanti.

Karenanya memahami sirah rasul (ilmu) menjadi fundamental dalam membangun kecintaan kepadanya. Sebab bagaimana mungkin seseorang cinta kepada yang tidak dikenalnya?

Dan yakinlah jika anda semakin mengenal Muhammad SAW maka anda akan semakin jatuh cinta kepadanya. Itu karena kesempurnaan pada semua aspek diri dan hidup beliau.

Ketiga, ikatan ketauladanan. Kata para ulama Islam: laa ilaaha illallah itu tempatnya di hati dan tidak nampak. Tapi Muhammadan Rasulullah itu tempatnya pada karakter dan prilaku. Artinya keimanan kita kepada Muhammad sebagai rasul Allah” itu wajib diterjemahkan ke dalam prilaku dan karakter kemanusiaan kita.

Mungkin karena memang Rasul itu datang sebagai “walking Qur’an” atau Al-Qur’an berjalan maka seorang Mu’min jika ingin melihat Islam yang hidup, Islam yang ril di hadapan matanya maka lihatlah kepada hidup rasulullah SAW. Hidup beliau semuanya merupakan terjemahan hidup dari Al-Qur’an itu.

Terjemahan hidup Al-Qur’an itulah yang disebut: “uswah hasanah” Rasul SAW, seperti yang disampaikan oleh Al-Qur’an sendiri: “sungguh bagi kamu ada contoh tauladan rasulullah SAW”.

Sungguh pada hidup rasul itu terdapat contoh-contoh hidup untuk para Mu’min tauladani. Ketauladanan pada semua jenjang hidup. Dari kehidupan pribadinya, keluarganya, hingga kepada kehidupan kolektifnya. Beliau sebagai manusia biasa (basyar) telah memberikan ketauladanan dalam segala hal. Beliau makan, minum, tidur, berjalan, hingga kepada bagaimana beliau tersenyum dan bertutur kata.

Dalam kehidupan keluarganya beliau menggariskan: “orang yang terbaik di antara kalian adalah orang yang terbaik kepada isterinya. Dan saya adalah orang yang terbaik kepada isterinya”. Beliau adalah suami dan ayah terbaik yang pernah hadir dalam dunia ini.

Dalam kehidupan publik beliau adalah role model (uswah) dalam segala posisi maupun kebijakan publiknya. Beliau adalah anggota masyarakat (warga) terbaik. Beliau adalah pemimpin, bahkan panglima terbaik yang pernah hadir dalam catatan sejarah manusia.

Seorang ahli sejaran barat pernah mengatakan: “kalau sekiranya kejeniusan itu adalah kehebatan rencana (plan), akurat dalam implementasi, dan hasil yang memuaskan, maka itu ada pada diri Muhammad SAW”.

Beliau adalah manusia jenius, terhebat dalam program dan implementasi dalam membangun peradaban dunia. Peradaban terdahsyat pada zamannya yang menjadi fondasi peradaban pada masa-masa selanjutnya, kini dan mendatang hingga akhir zaman.

Dan pada semua sisi itu ada “ketauladanan” bagi umat ini. Dan demi mengikuti ketauladanan itulah seorang Mu’min wajib memahami (ilmu) sirah Rasulullah SAW. Sebab tidak mungkin anda menauladani seseorang yang anda tidak kenal.

Kesimpulannya adalah bahwa mengingat kelahiran dan perjaanan sirah rasulullah menjadi esensi ikatan kita kepada beliau. Setuju atau tidak dengan “peringatan” bukanlah alasan untuk berbeda sikap dalam “mengingat” sirah beliau.

Ingat beliau, walau tanpa “memperingati”!

“Allahumma Sholli wa sallim wa baarik alaih”.

New York, 12 Rabiul Awwal 1438/12 Desember 2016.

(P007/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.