92 Tahun Runtuhnya Turki Utsmani

Ali Farkhan Tsani

Oleh Ali Farkhan Tsani, Penulis Redaktur Senior MINA (Mi’raj Islamic News Agency)

Hari ini tanggal 3 Maret 2016, dunia menganggap, telah genap 92  tahun kaum Muslimin hidup tanpa naungan sentral kepemimpinan, sejak jatuhnya Dinasti Turki Ustmani, 3 Maret 1924. Adalah Musthafa Kemal, pada tanggal 3 Maret 1924 melalui sidang Dewan Perwakilan Nasional, memecat Khalifah, membubarkan sistem Khilafah, dan menghapus sistem pemerintahan Islam yang telah berjalan ribuan tahun tersebut dari Khilafah Ustmaniyyah diganti dengan Negara Turki Sekuler.

Nama lengkapnya Ghazi Mustafa Kemal Pasha (lahir di Selanik,Yunani 12 Maret 1881, dan meninggal di Istanbul 10 November 1938). Yunani waktu itu masih di bawah kekusaan .

Sebagian sejarawan menyebutkan, nama kecilnya yang diberikan orangvtuanya adalah Musthafa. Ghazi (artinya perang) sebutannya sebab ia senang dengan peperangan. Sedangkan Kemal (atau kamil, artinya sempurna) gelar dari guru matematikanya atas kecerdasannya saat sekolah. Adapun Pasha, panggilan militer bagi jenderal yang dianggap berjasa dalam pemerintaha Turki.

Ia adalah seorang perwira militer yang memimpin revolusi Turki dan kemudian menjadi presiden pertama Republik Turki.

Dialah yang pertama kali mengubah Turki Utsmani menjadi sebuah negara sekuler. Majelis Agung Turki waktu itu memberikan gelar di belakang namanya dengan “Attaturk”, yang berarti “Bapak Bangsa Turki”, pada 24 November 1934.

ottoman_empire_b2Upaya Zionis

Sebelum ‘pemecatan’ khilafah model Turki Utsmani oleh Musthafa Kemal, diawali dari niat jahat Zionis, saat Turki Utsmani dipimpin Sultan Abdul Hamid II. Palestina saat itu masih menjadi wilayah kekhalifahan Turki Utsmani.

Muhammad Harb dalam buku Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II, menyebutkan berbagai langkah dan strategi dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi untuk menembus dinding Kesultanan Turki Utsmani, agar mereka dapat memasuki Palestina.

Pertama, pada tahun 1892, sekelompok Yahudi Rusia mengajukan permohonan kepada Sultan Abdul Hamid II, untuk mendapatkan izin tinggal di Palestina. Permohonan itu dijawab Sultan dengan ucapan ”Kesultanan Utsmaniyyah memberitahukan kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki, bahwa mereka tidak akan diizinkan menetap di Palestina”.

Kedua, Theodor Hertzl, Bapak Zionis Internasional dan penggagas berdirinya Negara Yahudi, pada tahun 1896 memberanikan diri menemui langsung Sultan Abdul Hamid II sambil meminta izin mendirikan bangunan di kawasan Al-Quds.

Permohonan itu pun dijawab sultan, ”Sesungguhnya Daulah Utsmaniyah ini adalah milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu. Sebab itu simpanlah kekayaan kalian itu dalam kantong kalian sendiri”.

Ketiga, mereka kemudian mengadakan Konferensi Zionis I di Basel, Swiss, pada tanggal 29-31 Agustus 1897 untuk merumuskan strategi baru menghancurkan Khilafah Utsmaniyyah.

Menghadapi gencarnya aktivitas Zionis Yahudi, Sultan Abdul Hamid II pada 1900 mengeluarkan keputusan pelarangan atas rombongan peziarah Yahudi ke Palestina untuk tinggal di sana lebih dari tiga bulan, dan paspor Yahudi harus diserahkan kepada petugas Turki Utsmani. Berikutnya, tahun 1901 Sultan mengeluarkan keputusan mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.

Keempat, pada tahun 1902, Theodore Hertzl kembali menghadap Sultan Abdul Hamid II. Kedatangannya kali ini untuk menyuap sang pemimpin Utsmani tersebut. Di antara sogokan yang disodorkan Hertzl adalah: uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk pribadi Sultan, melunasi semua hutang pemerintah Utsmaniyyah yang mencapai 33 juta poundsterling, membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank, memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga, serta membangunkan Universitas Utsmaniyyah di Palestina.

Namun, kesemuanya ditolak Sultan. Sultan tetap teguh dengan pendiriannya untuk melindungi tanah Palestina dari kaum Yahudi. Bahkan Sultan tidak mau menemui Hertzl, dan hanya diwakilkan kepada salah satu menterinya Tahsin Basya.

Abdul Hamid II meniipkan pesan, ”Nasihati Mr Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam (….fahiya laysat milku yamiinii, bal milkul ummatul islamiyyah…). Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka.”

Sultan juga mengatakan, ”Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat kekhilafahan Turki Utsmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.”

Kelima, inilah strategi akhir Zionis, yaitu mereka memasukkan gerakan Zionismenya dengan melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sultan. Dengan menggunakan jargon-jargon kebebasan, kemerdekaan, dan menyebut Abdul Hamid II sebagai absolut.

Tidak bisa berhadapan satu lawan satu, maka dicarilah celah dari dalam Turki sendiri. Salah satunya, menurut sejawaran adalah memasukkan nama Musthafa Kemal yang merupakan keturunan dari etnis Yahudi Dunama. Ini dinayatakan oleh Harold Courtenay Armstrong, seorang agen intelijen Inggris, yang menyatakan bahwa Musthafa berasal dari etnis Yahudi Dunama.

Dalam artikel berjudul “Mengenal Firqah-firqah Yahudi” dalam situs Swaramuslim disebutkan bahwa Freemasonry, organisasi Zionis Internasional, ikut andil meruntuhkan daulah Turki Ustmani. Gerakan ini antara lain menjalin hubungan yang sangat kuat dengan organisasi Turki Ittihat ve Terrakki (al-Ittihad wa at-Taraqqi atau persatuan dan kemajuan) yang berkembang sangat pesat di Salonika, Yunani, bagian dari Turki, tempat kelahiran Musthafa Kemal.

Di sinilah Musthafa bersama anggota-anggota komite persatuan dan kemajuan, yang dikenal sebagai kelompok Turki Muda (young Turks), yang diketahui sangat dekat dengan militer, menjalankan roda organisasi. Rata-rata anggota kelompok ini adalah orang-orang Yahudi dari Cryto Jews Salonika. Mereka mendapatkan dukungan finansial dari orang-orang Dunama, yaitu sekelompok Yahudi yang masuk Islam, namun secara diam-diam tetap mempertahankan keyahudian mereka.

Secara bertahap, tahun 1908, Turki Muda yang berpusat di Salonika, pusat komunitas Yahudi Dunamah, melakukan pemberontakan. Gerakan pemberontakan itu didukung Inggris dan Prancis. Hingga kemudian tanggal 18 Juni 1913, pemuda-pemuda Arab mengadakan kongres di Paris dan mengumumkan Gerakan Nasionalisme Arab.

Perang Dunia I tahun 1914 dimanfaatkan oleh Inggris untuk menyerang Istanbul, dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah, kampanye Dardanelles yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kemal Pasha, yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan dalam Perang Ana Forta, tahun 1915.

Sejarah kemudian mencatat, Kemal Pasha, akhirnya menjalankan agenda Inggris, melakukan revolusi untuk menghancurkan Turki Utsmani. Hal itu diawali dengan perjanjian yang melahirkan “Persyaratan Curzon” pada 21 November 1923. Isinya, Turki harus menghapuskan khilafah Islamiyah, mengusir khalifah, dan menyita semua harta kekayaannya.

Persyaratan tersebut diterima oleh Mustafa Kemal atas nama gerakan pemuda turki dan dilakukan perjanjian yang ditandatangani pada 24 Juli 1923.

Delapan bulan setelah itu, tepatnya 3 Maret 1924, Musthafa Kemal Pasha yang meniti karier melalui jalur militer dan organisasi, melalui Dewan Perwakilan Nasional mengumumkan pemecatan khalifah, pembubaran sistem khilafah, mengusir khalifah ke luar negeri, dan menjauhkan Islam dari negara.

Tanggal 23 Maret 1924, atau lalu, itu detik-detik terakhir keruntuhan sentral kepemimpinan Turki Usmaniyyah.

Dunia Islam Terpecah Belah

Sejak 1924 itulah, kaum Muslimin di dunia hidup tanpa naungan sentral kepemimpinan, hingga terpecah belah menjadi sekitar 60-an negara nasionalis yang tidak terikat satu sama lain dengan ikatan Islam. Adanya adalah ikatan nasionalisme, kebangsaan, masing-masing, sehingga kaum Muslimin di suatu negara begitu mudah umat Islam dihinakan, wilayahnya diduduki penjajah, darahnya ditumpahkan, kehormatannya dilecehkan, dan agamanya dinistakan.

Hingga yang terkini, negeri Syam termasuk di dalamnya adalah Palestina, menjadi sau-satunya negeri Muslim terjajah yang hampir tanpa perlawanan berarti dari seluruh negeri Muslimin. Fakta membuktikan, negeri Palstina sampai kini masih dijajah oleh Zionis Israel. Darah tumpah setiap hari, anak-anak, orang-orang tua dan perempuan dibantai tiap jam, generasi muda dan tokoh-tokoh dipenjara tanpa kemanusiaan, serta Masjid Al-Aqsha kiblat pertama Muslimin dinodai bahkan hendak dirobohkan.

Demikian pula dunia Islam di kawasan Timur Tengah diadu domba, dan dihancurkan dari dalam dan diserang dari luar. Lihat saja bagaimana satu per satu negeri-negeri Muslim dibuat tidak aman, seperti: Irak, Afghanistan, Libya, Suriah, Yaman, dan lainnya.

Sementara kekayaan alamnya dieksploitasi untuk kepentingan Barat dan sekutunya. Lewat mekanisme utang luar negeri, mereka dijerat untuk tunduk kepada kepentingan kapitalisme Barat. Pendidikan juga sama nasibnya. Pendidikan yang berlandaskan sekuler di negeri-negeri Islam telah mencetak generasi-generasi pemuda Islam yang jauh dari akar Islam. Pergaulan bebas, LGBT, narkoba, minuman keras menjadi bagian yang tak terpisahkan dari generasi muda saat ini. Di bidang pidana, tidak diterapkannya hukum-hukum Allah telah menyebabkan membengkaknya perkara-perkara kriminalitas seperti pemerkosaan, pelacuran, pembunuhan dan perampokan.

Ketiadaan sistem sentral kepemimpinan Muslimin berakibat fatal bagi perlindungan nasib kaum Muslimin pada khususnya dan dunia pada umumnya. Lalu, nasib peradaban dunia ini apakah akan terus diserahkan begitu saja kepada Barat yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, kebajikan kasih sayang apalagi ketuhanan.

Padahal sistem inilah yang menjadi poros sejarah umat Islam dan berlangsung terus-menerus dalam satu bentuk ke bentuk lain lebih dari 1.300 tahun. Sampai mendekati pertengahan abad XIV Hijriyah bertepatan dengan abad XX Masehi, dan berakhir di Turki Utsmani 1924 tersebut. Turki Utsmani memang disebut sebagai Sultan bukan Khalifah. Namun keberadaannya sebagai sentral kepemimpinan umat Islam tetap diakui dunia sebagai perekat kesatuan dan solidaritas umat Islam secara keseluruhan.

Kebangkitan Kepemimpinan Islam

Berdasarkan riwayat dari Ahmad dan Al-Baihaqi dalam Misykatul Mashabih dari Nu’man bin Basyir menyebutkan lima fase kepemimpinan umat Islam berdasarkan hadits Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam.

Fase Pertama, fase nubuwah, ketika umat Islam dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam selama kurun waktu sekitar 23 tahu, yakni 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah.

Fase Kedua, fase Khilafah ala minhajin nubuwwah, yakni masa kepemimpinan empat khalifah rasyidah pengikut pola kenabian, selama kurun waktu sekitar 30 tahun. Sesuai dengan ketetapan Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam, “Kekhilafahan pada umatku tiga puluh tahun, kemudian kerajaan setelah itu.” (HR At-Tirmidzi Kitabul Fitan juz 4 hlm 503 no. 2226, Abu Dawud Kitabus Sunah juz 4 hlm 221 no. 4646-4647).

Mulai dari Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq (tahun 11-13 H. / 632-634 M.), Khalifah Umar bin Khattab (tahun 13-23 H. / 634-644 M.), Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H. / 644-656 M.), dan Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H. / 656-661 M.).

Fase Ketiga, fase Mulkan  Adhan, yakni ketika umat Islam dipimpin oleh dinasti kerajaan, dimulai dari Bani Umayah Muawiyah bin Abu Sufyan (tahun 41-61 H. / 661-680 M.) hingga Bani Abbasiyah Abu Abbas As-Saffah (132-137 H. / 750-754 M.).

Fase Keempat, fase Mulkan Jabbariyah, umat Islam dipimpin oleh dinasti kerajaan Sultan Turki Utsmani, sejak Sultan Utsman bin Er-Thaghrol (tahun 1290-1326 M.) hingga Sultan Muhammad VI (tahun 1918-1923 M.).

Dhia’uddin Ar-Rayyis mengungkapkan, adalah Zionisme Internasional ditopang oleh kekuatan-kekuatan lain yang memusuhi Islam berupaya memecah-belah umat Islam dengan target menghancurkan sistem sentral kepemimpinan umat Islam yang telah berlangsung sekitar 1.300 tahun sebelumnya.

Puncak konspirasi Zionisme terjadi pada tahun 1924, yakni ketika dilenyapkannnya sistem sentral kepemimpinan umat Islam dinasti Turki Utsmani tanggal 3 Maret 1924 oleh Mustafa Kemal Pasha.

Dr. Ali Gharishah mengungkapkan, Musthafa Kemal Pasha bergelar At-Taturk (Pembangun Turki) adalah seorang tokoh Free Masonry Gerakan Yahudi Zionis Internasional. Ia berasal dari keluarga muslim yang dibina secara intensif oleh tokoh-tokoh Zionis Internasional, dan kemudian dijadikan pemimpin boneka untuk menghancurkan Islam dari dalam.

Secara formal kekuasaan kerajaan Turki Utsmani mengakhiri kepemimpinan sentral dalam Islam, yaitu pada masa Sultan Abdul Majid yang dihapuskan oleh Nasionalisme Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal Pasha. Setelah itu kepemimpinan sentral umat Islam yang bersifat universal tidak ada lagi (vakum).

Fase kelima, inilah era bangkitnya kembali sentral kepemimpinan umat Islam dalam wujud khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, sebagaimana pernah diamalkan empat khalifah rasyidah terdahulu.

Sinyal kebangkitan kepemimpinan umat Islam sebagai usaha penyatuan umat Islam itu muncul dengan adanya gerakan All Khilafat Conference di India (tahun 1919). Gerakan ini secara tetap mengadakan pertemuan-pertemuan dalam membicarakan dan mengusahakan tegaknya kembali kekhilafahan. Dilanjutkan pertemuan serupa di Karachi, Pakistan (1921).

Tahun 1926 di Kairo diselenggarakan Kongres Khilafah yang diprakarsai para ulama Al-Azhar. Kemudian Kongres Islam Sedunia di Mekkah (1926), Konferensi Islam Al-Aqsha di Yerussalem (1931), Konferensi Islam International kedua di Karachi (1949), Konferensi Islam International ketiga di  Karachi (1951), Pertemuan Puncak Islam di Mekkah (1954), Konferensi Muslim Dunia di Mogadishu (1964), Konferensi Muslim Dunia di Rabat Maroko yang melahirkan OKI (1969), dan Konferensi Tingkat Tinggi Islam di Lahore Pakistan (1974).

Di Indonesia usaha penyatuan muslimin dalam khilafah juga dilakukan oleh beberapa tokoh Islam seperti HOS Tjokroaminoto, KH Mas Mansur, KH Munawar Cholil, Dr. Abdul Karim Amrullah, dan Syaikh Wali Al-Fattaah. Dimulai dengan penyelenggaraan Komite Khilafah berpusat di Surabaya (1926). Dilanjutkan dengan Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta (1949), dan Kongres Alim Ulama Mubalighin Seluruh Indonesia di Medan (1953). Itu semua wujud keinginan umat Islam dan kerinduannya akan hadirnya kembali Khilafah sebagai sentral dan kekuatan kaum Muslimin.

Alhamdulillah, kemudian sentral kepemimpinan kehidupan berjamaah itu diamalkanlah kembali dalam wujud Jama’ah Muslimin (Hizbullah) berpusat di Indonesia, dengan imaamnya Syaikh Dr. Wali Al-Fattaah tanggal 10 Dzulhijjah 1372 H. / 20 Agustus 1953 M. (Suara Merdeka Rabu, 12 Agustus 1953, Mimbar Indonesia, Jumat 21 Agustus 1953).

Syaikh Prof. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya Khilafah Suatu Realita Bukan Khayalan menyebutkan, sentral kepemimpinan umat Islam merupakan suatu syariat yang bisa diamalkan bukan suatu khayalan. Penegakkannya merupakan sinyal geliat kebangkitan umat Islam dari tidur panjangnya.

Dalam analisis orientalis Barat sendiri memandang sentral kepemimpinan umat Islam sebagai raksasa tidur kini tengah mulai menggeliat. Hal ini membuat Barat secara terus-menerus berusaha mencari jalan untuk mendistorsi dan mempolitisir citra Islam yang bersifat rahmatan lil alamin. Mereka coba ciptakan citra negatif yang mengarah pada fundamentalisme, radikalisme, hingga terorisme.

Sinyal kebangkitan sentral kepemimpinan umat Islam adalah secercah harapan kejayaan Islam dan muslimin dalam bingkai persatuan dan kesatuan umat Islam yang membawa misi rahmatan lil ’alaimin. Amin. (P4/R02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.