Agama dan Pemberantasan Kemiskinan – Bag. 2 (Oleh: Shamsi Ali, New York)

Oleh: , Presiden Nusantara Foundation

Pada bagian lalu disebutkan beberapa penyebab kemiskinan. Kita boleh saja menuduh mereka yang miskin karena malas. Bahkan mungkin saja ada yang menuduh Allah yang menghendaki.

Tapi apakah demikian? Jawabannya boleh iya boleh tidak. Memang ada yang miskin karena memang malas. Tapi percayalah mayoritas mereka yang miskin adalah pekerja keras dan tak kenal lelah.

Takdir Allah? Iya kalau itu sudah terjadi. Tapi takdir bukan sesuatu yang kita putuskan sebelum menjadi realita takdir di hadapan mata. Karenanya, menuduh kemiskinan sebagai takdir justeru boleh jadi “pelecehan” kepada yang menankdirkan segala hal.

Juga disebutkan bahwa kemiskinan itu akan selalu ada. Tapi ini dalam makna fisikal. Bahwa akan ada disparitas (perbedaan-perbedaan) dalam kuantitas kepemilikan. Ada yang memiliki banyak, ada yang pertengahan, dan ada yang serba kekurangan. Ini akan berlanjut hingga akhir zaman.

Hikmahnya agar terjadi “konsolidasi” kehidupan sosial manusia. Dan manusia saling membutuhkan. Hanya dengan rasa saling membutuhkan, yang dengannya terjadi koneksi sosial manusia bisa membangun dunia sebagai bagian dari fungsi kekhilafahannya.

Makanya ada penguasa dan ada rakyat. Ada yang kaya dan ada yang miskin. Ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Biar celah-celah kehidupan itu diisi sesuai kapasitasnya masing-masing.

Maka kata “pemberantasan” kemiskinan bukan berarti mengkayakan semua manusia. Tapi lebih berarti “rasionalisasi” realita kehidupan. Makna rasionalisasi adalah menjadikan kehidupan bisa diterima secara akal sehat.

Ada orang yang memiliki kurang dari kebutuhannya. Tapi dalam hidupnya dia tidak miskin. Hal ini karena dia tidak perlu merasa hina dan dihinakan karena posisi materinya. Tapi yang justeru dia mendapatkan dukungan sosial (social support) dari lingkungannya.

Itulah salah satu rahasia kenapa Rasululllah SAW di satu sisi memerangi kemiskinan bahkan dengan aksi-aksi nyata. Tapi di sisi lain meminta agar dirinya (SAW) dimasukkan ke dalam golongan orang-orang miskin.

Ketika turun perintah zakat Rasulullah SAW tidak sekedar melihatnya sebagai kewajiban memberikan 2.5% harta kepada fakir miskin. Tapi jauh dari itu beliau melihatnya sebagai perintah kepada umat untuk membangun basis perekonomian yang kuat.

Karenanya, langkah pertama beliau adalah mengupayakan agar pasar yang ketika itu dimiliki oleh masyarakat Yahudi dibelinya. Dan beliau berhasil membeli pasar tersebut. Sebuah pusat aktifitas perekonomian untuk membangun fondasi perekonomian umat.

Saya tidak bermaksud berpanjang lebar untuk menjelaskan langkah-langkah apa saja yang harusnya dilakukan dalam memerangi kemiskinan. Tentunya banyak hal. Saya akan membatasi diri pada empat hal:

Pertama, kembali kepada dasar keyakinan bahwa harta itu Pemilik mutlaknya adalah Allah SWT. Semua yang ada pada kita adalah amanah yang saatnya akan ditagih kembali.

Seorang Mukmin yakin secara solid bahwa “inna lillahi wa inna ilaihi rajiuun” adalah konsep dasar hidupnya. Diri dan semua yang terkait dengan diri kita, hidup secara menyeluruh adalah “lillahi” (milik Allah).

Konsep ini akan menjadikan seseorang berinteraksi dengan dunia penuh dengan amanah. Karena dia sadar bahwa dunia bukan miliknya. Tapi itu amanah yang akan dipertanggung jawabkan di hadapan Mahkamah Pemiliknya.

Kedua, kembali ke esensi dasar dalam beragama. Sekiranya agama itu adalah kelapa maka santannya adalah “kasih sayang” (Rahmah). Tanpa kecuali, semua agama mengakui kasih sayang sebagai esensinya.

Rasulullah SAW sendiri mendefenisikan misinya dengan rahmah: “Dan tidaklah Kami utuh kamu (Wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmah kepada seluruh alam semesta”.

Beliau kemudian menggariskan: “man laa yarham laa yurham” (siapa yang tidak memilki kasih sayang tidak disayangi Allah).

Dalam konteks kemiskinan kasih sayang tentunya bukan menjadikan orang miskin kaya. Kalau memungkinkan tentu itu yang terbaik. Tapi kasih sayang boleh jadi sebuah komitmen untuk memperlihatkan support kepada mereka. Seperti doa Rasulullah agar dirinya menjadi bagian dari orang-orang miskin.

Atau statemen (Pernyataan) Rasulullah SAW bahwa orang-orang miskin akan masuk ke dalam surga lebih cepat dibandingkan orang-orang kaya.

Semua itu bukan sekedar dukungan materi. Tapi juga dukungan moril kepada orang-orang miskin. Sehingga ketika mereka berkekurangan tidak perlu merasa hina dan dihinakan. Mereka boleh jadi miskin secara materi. Tapi tetap kaya dalam kejiwaan.

Maka orang-orang miskin di kalangan sahabat di zaman nabi tidak meminta-minta. Karena mereka merasa kaya di tengah kekurangan materinya. “Laa yas aluunan naasa ilhaafa”.

Kasih sayang ini pula yang menjadikan Islam dalam ajaran-ajarannya memperlihatkan dukungan kepada para dhuafa. Beragama yang jujur itu harusnya terlihat dalam kebaikan sosial.

Al-Qur’an menegaskan bahwa menolak menyantuni anak yatim dan fakir miskin itu adalah bentuk pendustaan kepada agama.

“Tidakkah kamu lihat dia yang mendustakan agama? Yaitu yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”.

Karena kasih sayang ini pula Umar RA justeru menghukum tetangga kaya yang kecurian. Seorang wanita tetangganya yang mencuri justeru disantuni karena mencuri terpaksa demi sesuap nasi untuk anak-anaknya.

Maka jangan bangga dengan sholatmu, puasamu, dzikirmu, bahkan hajimu berkali-kali jika tetanggamu masih miskin di hadapan ketidak pedulianmu.

Ketiga, perlunya keagamaan atau religiositas kita didefenisikan secara utuh.

Kerap agama diidentikan dengan ritual semata. Sholat, puasa, dzikir, tahajjud, dan seterusnya sering kali menjadi dinding-dinding pembatas antara kita dan kebaikan sosial.

Padahal sejatinya semua amalan ritual berujung kepada pembangunan karakter kemanusiaan dalam kehidupan sosialnya. Sholat diawali dengan takbir. Tapi harus diakhiri dengan salam sebagai komitmen sosial kita.

Dalam konteks kemiskinan ini Rasulullah SAW secara khusus mengjngatkan: “Tidak beriman di antara kalian yang tidur nyenyak dalam keadaan kenyang tapi tetangganya kelaparan”.

Peringatan Rasul ini sekaligus mengingtakan kita agar agama jangan didefenisikan dengan sekedar amalan-amalan ritual. Atau tidak sekedar dengan penampilan lahiriah, termasuk bentuk pakaian atau panjang pendek janggut seseorang.

Pada akhirnya amalan sosial yang terbangun oleh iman, sekaligus aktualisasi pengabdian ritual kepada-Nya itulah yang menjadi modal utama keselamatan akhirat.

Jangan sampai sholat, puasa, dzikir, qiyaamullael, dan semua amalan ritual itu menjadi bangkrut karena pelakunya gagal peduli dengan penderitaan sesama di sekitarnya.

Keempat, mereka yang diamanahi sebagai “pelayan” (pemerintah) rakyat wajib melakukan tugasnya.

Tugas pemerintah itu melayani. pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa tidak seorangpun mengalami penderitaan karena ketidak peduliannya.

Diakui atau tidak, sungguh disayangkan bahwa banyak pemerintah dunia saat ini, baik yang terpilih (dalam negara demokrasi) atau memang mewarisi kekuasaan (dalam negara kerajaan) bukan melayani rakyat. Tapi justeru melayani kepentingan diri, keluarga dan mereka yang darinya meraup keuntungan.

Pemerintah korup yang terdahulu disebutkan menjadikan negara-negara yang kaya itu menjadi bagaikan lumbung padi bagi tikus-tikus yang justeru mati kelaparan. Negara kaya tapi takyatnya miskin. Para pembesar hidup mewah luar biasa. Tapi rakyat makan pun susah. Apalagi melanjutkan sekolah yang lebih tinggi.

Karenanya tidak jarang justeru pengelolah negaralah yang menjadi biang kerok penyebab kemiskinan Itu.

Harusnya mereka yang diamanahi ororitas oleh Allah itu sadar bahwa suatu saat nanti semua akan dipertanggung jawabkan. Semua mereka adalah “penggembala-penggembala yang akan mempertanggung jawabkan gembalaannya” (hadits).

Umar Bin Khattab di saat menjadi Khalifah suatu saat berkata: “Kalau saja ada seekor keledai mati kelaparan di dalam daerah kekuasaanku, niscaya Saya akan dimintai pertanggung jawaban akhirat kelak”.

Lalu bagaimana jika itu adalah hamba-hamba Tuhan dari kalangan ciptaanNya yang paling mulia?

Bukan sekedar kelaparan

Saya Akhiri pemaparan saya dengan mengingatkan semuanya. Bahwa isu kemiskinan (poverty) bukan sekedar makanan atau urusan perut belaka.

Isu kemiskinan itu menjadi bagian penting dari HAM (Hak Asasi Manusia). Menjadi bagian terpenting dari kemuliaan manusia (human dignity). Dan tentunya menjadi bagian dari moralitas kemanusiaan (human morality).

Masalah kemiskinan juga menjadi isu penting dari keadilan dan kesetaraan. Bahkan pada tingkatan tertentu kekayaan dan kemiskinan saat ini menjadi isu “rasisme” pula.

Perhatikan betapa sebagian besar manusia dari kalangan ras dan etnis tertentu tidak saja miskin. Tapi menjadi objek kemiskinan dan pemiskinan sistem untuk memperkaya manusia dari kalangan ras dan etnis lainnya.

Maka jangan terkejut jika saya dengan berani mengatakan: Saat ini kita hidup dalam sistem ekonomi apartheid. Wal-Iyadzu billah!

(A/Ais/R06)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: siti aisyah

Editor: Rendi Setiawan

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.