AI : Indonesia Harus Rangkul Negara Arab, Muslim, AS Tekan Israel

Kuasa Usaha Kedutaan Besar di Indonesia, Taher Ibrahim Abdallah Hamad, saat menjadi pembicara dalam seminar internasional bertemakan 50 Tahun Pendudukan Israel di Wilayah Palestina yang diselenggarakan oleh Indonesia dan Sekolah Kajian Strategis dan Global Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (1/11). (Foto; Syauqi/MINA

Jakarta, MINA – Lembaga hak asasi Amnesty International mengatakan hubungan Indonesia dengan negara-negara Arab dan berpenduduk mayoritas Muslim serta Amerika Serikat (AS) menjadi modal utama meningkatkan tekanan internasional terhadap Israel.

Tekanan tersebut untuk membuat Israel menghentikan semua bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di wilayah pendudukan Israel di Palestina (Occupied Palestinian Territories/OPT).

“Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, jadi sulit untuk melakukan lobby one-on-one antara Indonesia dan Israel dalam hal ini,” kata Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid  dalam seminar internasional bertemakan 50 Tahun Pendudukan Israel di Wilayah Palestina yang diselenggarakan oleh Amnesty International Indonesia dan Sekolah Kajian Strategis dan Global Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (1/11).

“Oleh karena itu, Indonesia harus menggunakan pengaruhnya pada forum Arab Islamic American Summit untuk mengajak negara Arab dan berpenduduk mayoritas Islam dan AS menekan Israel agar menghentikan pelanggaran HAM di OPT,” ujar Usman.

Ia menekankan Indonesia harus memastikan forum tersebut berkelanjutan dan membawa agenda-agenda HAM pada pertemuan berikutnya.

Sebagai informasi, Indonesia bersama 55 negara Arab dan mayoritas Islam berkesempatan menghadiri Arab Islamic American Summit di Arab Saudi pada 21 Mei 2017. Presiden Joko Widodo menjadi satu dari lima pemimpin dunia yang berbicara di forum tersebut.

Usman menjelaskan salah satu bentuk diplomasi yang bisa dimaksimalkan Indonesia adalah mengajak 55 negara Arab dan mayoritas Muslim serta AS untuk menutup pasar mereka terhadap barang-barang yang diproduksi di wilayah OPT.

“Bisnis yang menghasilkan jutaan dollar setiap tahunnya di wilayah OPT tersebut secara tidak langsung mendukung berlanjutnya pelanggaran HAM di wilayah OPT yang dilakukan oleh Israel,” kata Usman.

Merujuk pada laporan Fact Finding Mission on Israeli Settlements yang dilakukan oleh Komisi HAM PBB (UNHRC) pada 2012, Usman menyatakan bahwa bisnis yang dijalankan di wilayah pendudukan terbantu dan diuntungkan oleh penambahan pemukiman di wilayah okupasi.

“Mengganggu keuntungan bisnis di wilayah OPT dapat membantu menghentikan pelanggaran HAM dan ekspansi pendudukan Israel di wilayah Palestina,” kata Usman.

Ia menekankan komunitas global juga harus konsisten untuk menjalankan kewajiban berdasarkan hukum internasional untuk tidak mengakui adanya suatu pendudukan ilegal seperti yang dilakukan Israel.

Sementara itu, Dirjen Asia Pasifik dan Afrika pada Kementerian Luar Negeri Desra Percaya menyatakan kebijakan luar negeri Indonesia terkait Israel tidak berubah.

“Indonesia tidak akan mengakui atau membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum Palestina merdeka,” tegas Desra.

Menurutnya, ada enam isu besar yang menghambat terwujudnya sebuah negara Palestina yang merdeka sepenuhnya. Pertama, klaim atas status Yerusalem. Kedua, isu perbatasan. Ketiga, pemukiman ilegal Israel. Keempat, persoalan sumber daya air. Kelima, isu keamanan. Keenam, the return of Palestinian refugees.

“(Faktor-faktor) inilah yang membuat Palestina sulit merdeka,” kata dia.

Faktor penghambat lain kata dia adalah konflik internal Palestina, situasi domestik Israel mengenai kuatnya posisi kalangan sayap kanan, perselisihan di antara negara-negara Arab dan Teluk (GCC), dan kendala global terkait dengan sikap Uni Eropa, AS, dan Dewan Keamanan PBB. (L/R11/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.