Al-Jama’ah Sarana Wujudkan Rahmat (oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur)

Hadits:

عَنِ النُّعْمَانِ بْن بَشِيْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ: الْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ (رواه أحمد، بدراجة حسن)

Terjemahan:

Dari Nu’man bin Basyir berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Al-Jama’ah adalah rahmat dan perpecahan adalah adzab,”(H.R. Ahmad, dengan derajat Hasan)

Penjelasan:

Pengertian Al-Jama’ah, menurut Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam adalah:

مَا أَنَا عَلَيۡهِ وَأَصۡحَابِى ﴿رواه ٱلترمذي، حديث حسن﴾

Orang yang mengikuti aku dan para shahabatku,”(H.R. Tirmidzi, hadits Hasan)

Selanjutnya para sahabat dan ulama salafus shalih menjelaskan pengertian Al-Jamaah sebagai berikut:

1. Ali bin Abi Thalib
Ketika beliau ditanya tentang arti sunnah, bid’ah, jamaah dan firqah beliau menjawab:

“Sunnah demi Allah adalah sunnah nabi Muhammad SAW dan bid’ah itu segala sesuatu yang berpisah dari padanya dan jama’ah demi Allah adalah himpunan ahli hak walaupun sedikit, dan firqah adalah himpunan ahli batil walaupun banyak,”

2. Abdullah bin Mas’ud

“Celakala engkau sesungguhnya kebanyakan manusia itu memisahkan diri dari jamaah, sesungguhnya jama’ah adalah segala sesuatu yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah.”

3. Imam Abu Syamah

“Telah datang perintah menetapi jamaah, maka yang dikehendaki adalah menetapi kebenaran dan mengikutinya, meskipun pemegangnya sedikit dan yang menyalahi banyak. Karena kebenaran adalah apa yang ada pada jamaah pertama di masa nabi dan tidak boleh memandang kepada banyaknya ahli batil sesudah mereka.”

4. Imam Nu’aim bin Hamad

“Apabila jamaah telah rusak, maka kamu harus tetap pada jamaah sahabat sebelum dirusakkan, sekalipun kamu sendirian, maka sesungguhnya pada saat itu kamu adalah jama’ah.”

5. Syaikh As-Sindi

“Jama’ah adalah orang-orang yang sesuai dengan jama’ah sahabat, yang mengambil akidah mereka dan memegang dengan kokoh pendapat mereka.”

6. Imam Syatibi

“Jama’ah adalah kumpulan orang-orang Islam yang menyepakati seorang amir (imam).”

Dari uraian di atas dapatlah kita ketahui bahwa dalam kehidupan berjama’ah yang dijadikan patokan adalah para sahabat dan dalam berjama’ah haruslah ada seorang imam yang diangkat dan ditaati, sebagaimana para sahabat mentaati Rasulullah SAW.

Dalam hal ini Abdullah bin Masud berkata:

“Barang siapa ingin mencari petunjuk yang benar, hendaklah ia mengikuti jalan orang-orang shaleh yang telah yang meninggal, karena sesungguhnya orang yang hidup tidak akan terhindar dari fitnah. Mereka itu adalah para sahabat Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam, mereka itu semulia-mulia umat, yang paling dalam ilmu dan yang paling sedikit memayah-mayahkan diri dalam agama.”

Allah telah memilih mereka untuk menjadi sahabat nabi-Nya dan untuk menegakkan agama-Nya. Maka hendaklah kamu kenal keutamaan mereka dan hendaklah kamu mengikuti jejak mereka dan berpegang teguhlah dengan akhlak mereka dan perjalanan mereka dengan segenap kemampuan, karena mereka di atas jalan yang lurus.

Al-Jama’ah dan As-Sawadula’Zam

Ada yang mengatakan bahwa Al-Jama’ah adalah golongan terbesar yang diikuti oleh orang banyak dalam masyarakat Islam, sekalipun mungkin mereka tidak mengikuti jejak para sahabat dan banyak mengerjakan bid’ah. Mereka menggunakan landasan hadits:

لَا يَجْمَعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَمْرَ أُمَّتِي عَلَى ضَلَالَةٍ أَبَدًا إِتَّبِعُوْا سَوَادَ اْلأَعْظَمِ يَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ مَنْ شَذَّ شَذَّ فِي النَّارِ

(رواه الحاكم)

Allah tidak akan mengumpulkan urusan umat ke dalam kekuasaan selama-lamanya. Hendaklah kamu mengikuti golongan terbesar. Tangan Allah itu di atas Jama’ah, barangsiapa menjauhkan diri, jauhlah dia di dalam neraka.” (H.R. Al-Hakim)

Hadits yang senada dengan hadits di atas juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Anas bin Malik dengan sanad yang lemah.

Al-Iraqi di dalam sanadnya ada seorang yang bernama Hazim bin Atho’ yang dipandang dlaif (lemah) oleh sebagian ahli hadits.

Andaikata hadits di atas shahih, maka yang dimaksud hadits tersebut adalah: “Selama umat Islam masih menjadi umat Nabi Muhammad SAW dengan sebenar-benarnya, maka Allah tidak akan mengumpulkan mereka dalam kesesatan.”

Adapun kata “sawad” menurut bahasa berarti: warna hitam, atau pribadi seseorang atau harta yang banyak atau bilangan yang banyak.

“a’zham” berarti lebih besar, atau lebih banyak. Oleh karena itu secara bahasa “sawadul a’zham” berarti “kumpulan manusia terbanyak.”

Sedang menurut istilah, ketika memberikan pengertian sawadah a’zham Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata:

“Yang dikehendaki dengan sawadul a’zham adalah mereka dari pengikut sunnah dan Al-Jama’ah walaupun sedikit.”

Imam Ishaq bin Rahawaih berkata: “Jika saya bertanya kepada orang-orang yang bodoh tentang yang dinamakan “sawadul a’zham” pasti mereka mereka menjawab: kumpulan manusia. Dan mereka tidak mengerti bahwa jama’ah (dapat saja hanya) seorang alim yang memegang teguh ajaran Nabi Muhammad SAW dan jalannya orang bersama beliau dan orang yang mengikutinya.”

Dengan demikian untuk menamakan suatu golongan dengan sawadul a’zham tidaklah berdasar kepada banyaknya orang tetapi berdasarkan kepada kesungguhan golongan tersebut dalam mengikuti kebenaran.

Suatu golongan asal bersungguh-sungguh dan konsisten dalam mengikuti kebenaran maka disebut sawadul a’zham berapapun jumlah pengikutnya bahkan mungkin dapat saja hanya terdiri dari satu orang, dan ini identik dengan Al-Jama’ah.

Di dalam riwayat lain Abdullah bin Mas’ud berkata:

الْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ

Al-Jama’ah adalah yang sesuai dengan kebenaran walaupun engkau sendiri.”

Memang pengikut kebenaran itu biasanya sedikit. Imam Hasan Al-Bashri berpesan:

يَا أَهْلَ السُّنَّةِ تَرَفَّقُوْا رَحْمِكُمُ اللَّهِ فَإنَّكُمْ مِنْ أَقَلِّ النَّاسِ

Wahai ahli sunnah, berkawanlah dengan erat semoga Allah mengasihimu karena sesungguhnya kamu adalah manusia yang paling sedikit.

Upaya Menetapi Kembali Al-Jama’ah Setelah Runtuhnya Dinasti Utsmaniyah di Turki

Usaha menetapi kembali Al-Jama’ah yang sesuai dengan tuntunan syariat Islam telah dimulai sejak melemahnya Dinasti Utsmaniyah.

Utsmaniyah dengan dibentuknya Pan Islamisme di akhir abad ke-19 yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897).

Tujuan utama Pan Islamisme adalah mengemba-likan kepemimpinan tunggal bagi dunia Islam sebagaimana yang terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin.

Walaupun Pan Islamisme tidak memperlihatkan hasil konkret, namun telah menyadarkan umat Islam di berbagai tempat tentang pentingnya kesatuan dan kepemimpinan Islam.

Pada tahun 1919 di India telah dibentuk “All India Khilafah Conference” yang secara rutin menga-dakan pertemuan-pertemuan untuk membicarakan dan mengusahakan penyatuan umat di bawah seorang Imaam/Khalifah.

Pada 1921, di Karachi, Pakistan diadakan lagi konferensi yang kedua dengan tujuan yang sama. Pada tahun 1926 di Kairo, Mesir diselenggarakan Kongres Khilafah yang diprakarsai oleh para ulama Al-Azhar.

Di samping itu masih banyak kongres-kongres lain yang diselenggarakan untuk menyatukan umat Islam di bawah seorang Imaam/ Khalifah, namun belum membuahkan hasil yang menda-sar.

Di Indonesia usaha menyatukan umat Islam juga dilakukan oleh beberapa Organisasi Islam yang akhirnya terbentuk Komite Khilafah pada tahun 1926 yang berpusat di Surabaya.

Tokoh-tokoh Islam Indonesia yang mempunyai perhatian besar terhadap usaha tersebut antara lain, H.O.S. Cokroaminoto, KH. Mas Mansur, KH. Munawar Khalil, H. Abdul Karim Amrullah (ayahanda HAMKA) dan Wali Al-Fattaah.

Di antara tokoh-tokoh tersebut, Wali Al-Fattaah (1326H-1396H/1908M-1976M) adalah salah se-orang yang konsisten dan secara transparan mendakwahkan wajibnya umat Islam mengang-kat Imaam.

Wali Al-Fattaah menyatakan, adanya Imaam adalah wajib bagi umat Islam. Pelanggaran atas hal tersebut adalah dosa besar dan ini berarti suatu anarkhi, suatu perbuatan sendiri-sendiri yang tidak ada contohnya dalam syari’at Islam yang akan mengakibatkan timbulnya perpeca-han di mana masing-masing kelompok atau go-longan mengaku benarnya sendiri.

Wali Al-Fattaah mengingatkan bahwa umat Islam akan dapat bersatu apabila mereka mempunyai Imaam (pimpinan).

Satu umat tanpa pimpinan bukan umat namanya, tetapi hanya segundukan manusia yang masing-masing mengaku sebagai muslim tetapi tidak ada yang memimpin dan yang mengontrol.

Oleh karena itu Wali Al-Fattaah mengajak para ulama untuk segera bangkit menelaah masalah kepemimpinan umat Islam dan mengangkat Imam sehingga kesatuan umat Islam dapat ter-wujud.

Namun, ajakan ini kurang mendapat sambutan. Mereka menganggap ajakan ini bagaikan memutar jarum sejarah dan mengajak umat Islam kembali ke zaman unta bahkan ada yang berpendapat bahwa tidak mungkin umat Islam dapat disatu-kan.

Mengingat pentingnya masalah kepemimpinan umat Islam ini, Wali Al-Fatah bersedia memikul beban untuk dibaiat menjadi Imaamul Muslimin.

Pembai’atan ini dilaksanakan di Jakarta pada 10 Dzulhijjah 1372 H / 20 Agustus 1953 M.

Setelah pembai’atan dilakukan, kemudian selama beberapa tahun diumumkan ke seluruh dunia untuk mencari informasi apakah di tempat lain sudah ada Imaam yang lebih dahulu dibai’at.

Sampai dengan Wali Al-Fattaah meninggal dunia pada tahun 1396H /1976M tidak didapat informasi bahwa di tempat lain sudah ada Imaam yang dibai’at lebih dahulu.

Maka sebelum jenazahnya dikuburkan, pada hari Sabtu 28 Dzulqa’dah 1396 H/20 November 1976 M dibai’atlah sebagai penggantinya, hamba Allah, Muhyiddin Hamidy men-jadi Imaamul Muslimin.

Setelah beliau wafat pada Jumat 20 Shafar 1436 H/12 Desember 2014 M, dibai’atlah hamba Allah yang sangat dhaif, Yakhsyallah Mansur hingga sekarang.

Kesadaran akan pentingnya hidup berjama’ah di bawah seorang Imaam hari demi hari semakin meningkat dengan makin banyaknya umat Islam yang menetapi Al-Jama’ah dalam Jama’atul Muslimin (Hizbullah) baik di Indonesia maupun di luar Indonesia seperti: Malaysia, Filipina, Thai-land, Inggris, Sudan, Palestina, Nigeria, dan lain-lain. (A/Gun/P2)

Selesai…

Mi’raj News Agency (MINA)