Al-Qur’an Raksasa di Palembang Berawal Dari Sebuah Mimpi

Para pengunjung musium bergambar bersama di depan Al Qur’an raksasa di Palembang, 3 November 2017 (foto: riri)

Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency/MINA

Sebuah Al Qur’an ukuran raksasa, menjulang tinggi di sebuah ruangan di Musium Al-Qur’an Al-Akbar di Pondok Pesantren IGM Al Ihsaniyah di Kecamatan Gandus, Kota Palembang. Halaman-halaman Al-Quran yang berisi ukiran-ukiran huruf Arab yang terbuat dari kayu, tersusun rapi dalam bingkai besi besar yang berbentuk sebuah buku terbuka.

Meski penulis tidak berhasil mendapatkan ukuran pasti dari Al-Qur’an itu, namun sedemikian besarnya “kitab “ itu, membuat para pengunjung yang bergambar di depan halaman Al-Qu’ran tersebut  tampak seperti ‘manusia-manusia mini’.

Al- Qur’an Raksasa ini merupakan mahakarya seni ukir anak bangsa bernama Sofwatillah Mohzaib yang memang sangat gemar akan seni kaligrafi. Kabarnya, suatu malam, Opat – begitu dia biasa disapa –  baru saja tertidur selesai mengukir kaligrafi ornamen di bagian pintu Masjid Agung Palembang. Dalam tidurnya pria ini bermimpi yang mengisyaratkan agar dia membuat Al-Qur’an  terbesar di dunia.

Setelah mempertimbangkan berbagai aspek, akhirnya dengan niat dan tekad yang bulat dia mulai mewujudkan mimpinya itu –  pertama-tama membuat ukiran surat Alfatihah. Kemudian kepingan bagian dari Al-Qur’an tersebut dipamerkannya di Masjid Agung Palembang dengan harapan ada donatur yang bersedia untuk mendukung niatnya itu.

Menurut Sarkoni, salah seorang pengelola Museum Al-Qur’an raksasa itu, gagasan pembuatan Kitab Suci tersebut muncul awal tahun 2002, setelah Opat merampungkan pemasangan kaligrafi pintu dan ornamen Masjid Agung Palembang. Dari mimpi itu jugalah muncul inspirasi untuk membuat mushaf Al-Qur’an dengan ornamen khas Palembang.

Kepingan mushaf surat Alfatihah itu sempat diperlihatkan kepada salah seorang tokoh masyarakat Palembang Marzuki Ali yang pernah menjadi Ketua DPR-RI dan Menteri Agama. Harapan Opat, Marzuki  bisa mengajak dermawan dan relasinya untuk mendukung pembuatan Al-Qur’an tersebut. Tepat pada 1 Muharram 1423 atau 15 Maret 2002 Al-Qur’an itu dipamerkan di bazar pada peringatan Tahun Baru Islam. Namun baru resmi diluncurkan pada 14 Mei 2009 di Masjid Agung Palembang.

Proses pembuatan Al-Qur’an itu dilakukan di kediaman Opat di Kelurahan 35 Ilir, Palembang. Bahan bakunya kayu ulin/tembesu – kayu keras dan kuat yang tahan lama serta banyak ditemukan di wilayah Sumatera Selatan.  Setiap lembar Al-Qur’an bisa dibolak-balik karena menggunakan as, berukuran panjang 177 sentimeter dengan lebar 140 sentimeter dan ketebalan 2,5 sentimeter.

Pembuatan Al-Qur’an maha besar ini bukan tanpa hambatan. Semula direncanakan rampung dalam tempo empat tahun, namun kemudian molor menjadi tujuh tahun akibat terkendala bahan baku dan biaya. “Pada mulanya harga kayu hanya sekitar Rp2 juta per kubik, kemudian melonjak menjadi Rp7 juta dan bahkan akhirnya Rp10 juta,” kata Sarkoni.

Namun berkat dukungan aliran dana dari donatur, pembuatan Al-Qur’an bisa dilanjutkan dengan melibatkan 35 orang. Lima orang bertugas sebagai pengukir berasal dari Solo, Jepara dan Semarang, kata Asri, si pemandu wisata, sisanya bertugas memotong kayu dan pekerjaan lainnya.

Proses pembuatan Al-Qur’an itu sangat rumit, sebelum diukir di atas papan, ayat-ayat Al-Qur’an ditulis dulu di atas kertas karton. Lalu tulisan ini dijiplak ke dalam kertas minyak. Setelah semua ayat tertulis, tim koreksi memeriksa tulisan tersebut. Jika semua sudah benar maka tim pemahat baru diijinkan memahat di atas papan.

Pembuatan Al-Qur’an raksasa itu rampung setelah menghabiskan 315 bilah papan dari sekira 40 kubik bahan baku kayu dengan total dana  sekitar Rp1,2 miliar. Yang agak disayangkan adalah, ukiran huruf-huruf Arabnya tidak sama besar dan tebalnya. Mungkin karena dikerjakan oleh beberapa pemahat.

Obyek

Al-Qur’an raksasa yang terdiri dari 630 halaman itu juga dilengkapi dengan tajwid serta doa khataman bagi pemula. Setiap lembar terpahat ayat suci Al-Qur’an pada warna dasar kayu coklat dengan huruf arab timbul warna kuning dengan ukiran motif kembang di bagian tepi ornamen khas Palembang yang sangat indah dipandang dan enak dibaca. Proses pembuatannya sendiri memakan waktu relatif lama, sekitar tujuh tahun.

Musium Al-Qur’an raksasa itu menambah panjang daftar obyek wisata yang ada di Kota Palembang yang dikunjungi tak hanya oleh warga lokal, tetapi pengunjung dari luar daerah dan luar propinsi, bahkan turis dari mancanegara, terutama dari negara-negara Arab banyak yang sengaja datang untuk melihat karya seni yang luar biasa itu.

Bagi pengunjung yang berasal dari luar Kota Palembang, akses menuju lokasai museum tersebut bisa dimulai dari Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II). Kemudian bisa memilih taksi dengan tarif sekira Rp150 ribu dan waktu temput 30 menit atau bus Trans Musi  Koridor7 ongkosnya hanya Rp5500, turun di halte Jembatan Musi II. Nah, dari situ perjalanan dilanjutkan dengan menumpang angkot jurusan Gandus.

Begitu tiba di Museum Al Qur’an raksasa, pengunjung cukup membayar uang masuk Rp5 ribu per orang. Di sana ada pemandu yang siap mendampingi pengunjung jika diperlukan. Turis yang datang tak hanya bisa melihat lembaran Al-Qur’an yang disusun pada bangunan bertingkat, mereka juga akan mendapatkan penjelasan tentang seluk-beluk Kitab Suci tersebut.

Bagi para wisatawan yang menginginkan oleh-oleh untuk dibawa pulang, di lokasi ada yang menjual makanan khas Palembang, pakaian, tasbih, Al-Qur’an lainnya. Juga pengunjung bebas mengambil gambar/foto dan yang lupa membawa kamera, pengelola museum sudah menyiapkan fotografer untuk mengabadikan momen-momen penting, dengan membayar Rp10 ribu saja sudah termasuk fotonya.

Tetapi, meski niatnya mengunjungi obyek wisata, karena ini museum Al Qur’an sebaiknya pengunjung  jangan datang  dengan pakaian minim seperti celana pendek ataupun rok pendek. Pakailah busana yang sopan dan pantas. Selain itu sebaiknya jangan berkunjung pada akhir pekan, atau tanggal merah atau saat liburan sekolah, karena akan sangat ramai serta berdesakan.

Kesan pengunjung

Seorang pengunjung musium sedang mengagumi ayat dalam Al-Qur’an raksasa di Palembang 3 November 2017 (foto: riri)

Salah sorang pengunjung dari Bandung, Dodi Rusadi mengapresiasi ide awal kehadiran Musium Al-Qur’an raksasa tersebut, karena akan mengingatkan umat Islam agar selalu dekat dengan Kitab Suci, membaca, mempelajari, menghafal dan mengamalkannya serta yang tidak kalah pentingnya, mengajarkannya kepada orang-orang lain.

Hal positip lainnya dari kehadiran museum tersebut menurut dia, karena melibatkan aspek-aspek pariwisata, sehingga Kota Palembang memiliki tambahan obyek wisata religi, dengan demikian bisa ikut membantu “mengerem” perilaku “hedonisme” yang belakangan ini kian merebak, katanya.

Hal yang juga menarik seperti diutarakan oleh Asri, pemandu wisata di sana adalah pendanaan museum yang tidak melibatlan dana pemerintah dalam artian tak didukung baik oleh APBN maupun APBD, sehingga menjadi milik umat sepenuhnya.

Infrastruktur sebagai sarana penunjang, menurut Dodi, tentunya merupakan keniscayaan dan peran umara menjadi kunci yang perlu terus diingatkan. Juga dukungan tokoh-tokoh lokal dan nasional tetap diperlukan tidak hanya menyangkut segi finansial tetapi juga bantuan manajemen ke depan.

Sementara arsitektur dan design Al-Qur’an raksasa bisa dibuat spektakuler dengan sentuhan arsitektur yang lebih mumpuni. “Struktur bangunan dan besi-besi penunjang juga perlu diperkuat, karena tampak kurang kokoh terbukti dari pengunjung hanya diijinkan melihat lembaran-lembaran sampai lantai satu,” katanya.

Pengunjung lainnya, Dewi Sustina  asal Kota Bandung mengaku merasa bangga dan sangat terkesan akan Musium Al Qur’an raksasa itu. “Dengan berkunjung ke tempat ini, secara tidak langsung pengunjung akan tergerak untuk membaca Al Qur’an walau hanya satu ayat saja.”

Juga kehadiran museum ini sebagai obyek wisata menurut dia, akan mampu meningkatkan perekonomian warga sekitar khususnya dan masyarakat Kota Palembang umumnya, karena ikut menumbuhkan usaha-usaha kecil seperti makanan khas Palembang, cinderamata dan lainnya yang terkait dengan kepariwisataan.

Seperti kata Dewi, bagi kalangan umat beragama terutama kaum Muslim kehadiran obyek wisata religi ini akan membawa pergeseran dalam tren kepariwisataan yakni perubahan paradigma wisata dari “sun, sand dan sea” menjadi “serenity, sustainability dan spirituality” . (A/RS1/P1)