Seorang dari kalangan pemukim agama Yahudi garis keras kini menempati pos tertinggi di kepolisian nasional Israel.
Kritikus memperingatkan bahwa hal yang pertama kali terjadi itu menciptakan “kekhawatiran” tentang perubahan kebijakan di Israel dan wilayah-wilayah pendudukan.
Penunjukan terhadap Rahamim Brachyahu sebagai kepala rabi pasukan kepolisian kini menjadi sorotan. Brachyahu tinggal di Talmon, sebuah pemukiman dekat dengan kota Palestina Ramallah di Tepi Barat.
Menurut harian Haaretz, Roni Alsheikh, Kepala Polisi Israel yang menjabat sejak Desember 2015, telah melobi atas nama Brachyahu untuk posisi kepala rabi.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Roni Alsheikh adalah orang yang hidup selama bertahun-tahun di salah satu pemukiman Yahudi paling kejam, Kiryat Arba, sebelah Hebron.
Ini adalah pertama kalinya anggota masyarakat pemukim agama menjabat salah satu kedudukan tertinggi di kepolisian Israel.
Alsheikh dan Brachyahu telah menyatakan komitmennya untuk mempercepat program yang bernama “Believers in the Police”, program yang dibuat lima tahun lalu, untuk merekrut pemukim dan mempercepat promosi mereka meraih pangkat perwira.
Brachyahu menggambarkan, masuknya pemukim agama ke kepolisian sebagai “kemitraan yang indah”.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
Ia juga telah menyatakan keinginannya untuk menempatkan penekanan kuat pada hukum agama Yahudi, atau halakha, dalam pekerjaan kepolisian. Tujuannya adalah menciptakan sebuah buku perintah Alkitab dan rabi, untuk digunakan oleh semua petugas polisi Israel saat mereka pergi melaksanakan tugasnya.
Posisi yang diduduki oleh Brachyahu telah mengangkat keprihatinan yang mendalam di antara para pemimpin Palestina, karena Brachyahu berpegangan kuat pada buku pedoman rabi terkenal untuk pemukim yang bernama King’s Torah.
Buku pedoman tersebut berpendapat bahwa hukum agama Yahudi membenarkan membunuh warga Palestina sebagai tindakan pencegahan, termasuk membunuh anak-anak jika mereka tumbuh menjadi “teroris”.
“Fundamentalis keagamaan, pemukim ultra-nasionalis mendapatkan kekuasaan di banyak bidang kehidupan publik di Israel,” kata Aida Touma-Suleiman, anggota parlemen Israel dari etnis Palestina.
Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi
Menurutnya, transformasi polisi penjajah tersebut sangat mengkhawatirkan, karena sekarang ada pertarungan di polisi tentang mana yang lebih prioritas, hukum-hukum Allah atau hukum negara.
Jafar Farah, Direktur Mossawa, sebuah kelompok advokasi politik untuk minoritas warga Palestina yang besar di Israel, mengatakan, infiltrasi bertahap pemukim agama ke lembaga kepolisian telah mencerminkan proses yang sama di militer Israel yang dimulai sejak dua dekade lalu.
Meskipun disebut komunitas keagamaan nasional yang mematuhi ideologi pemukim, tapi jumlah mereka hanya 10 persen dari penduduk Israel. Namun, angka terbaru menunjukkan bahwa sebanyak setengah dari semua calon tentara baru diambil dari barisan komunitas keagamaan.
Menurut Farah, ada koalisi kepentingan yang jelas antara pemerintah sayap kanan dan kepemimpinan pemukim untuk membuat orang mereka naik ke posisi tinggi di lembaga-lembaga negara utama, termasuk layanan keamanan, pengadilan dan media.
Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan
“Tujuannya adalah untuk mengontrol proses pengambilan keputusan dan wacana publik di Israel,” katanya kepada wartawan Al Jazeera.
Program “Believers in the Police” menargetkan pemukim yang sebelumnya telah bertugas di tentara. Program ini menargetkan produksi 500 lulusan selama lima tahun ke depan dan memindahkan mereka ke posisi senior.
Di antara mereka ada Dov Lior, seorang rabi dari Kiryat Araba yang mengajar di lapangan selama dua tahun. Lior adalah salah satu dari beberapa rabi senior yang berpedoman pada kitab “King’s Torah”.
Dalam upaya untuk meningkatkan partisipasi pemukim agama dalam program “Believers in the Police”, sebuah video perekrutan dirilis awal tahun ini, berisi footage video eksklusif dari tindakan polisi terhadap warga Palestina. Panduan yang diberikan termasuk menghancurkan rumah Bedouin, menyerbu masjid Al-Aqsa di Al-Quds, berurusan dengan serangan dan memeriksa kartu identitas warga Palestina.
Baca Juga: Enam Cara Mudah Bantu Palestina
Micky Rosenfeld, juru bicara polisi yang menolak berbicara tentang program “Believers in the Police”, mengatakan bahwa penunjukan Brachyahu setelah dilakukan proses seleksi.
“Memilih dia (Brachyahu) adalah orang yang tepat untuk mengisi peran ini di polisi nasional,” kata Rosenfeld.
Polisi penjajah Israel beroperasi di dalam wilayah Israel dan di wilayah-wilayah pendudukan yang berada di bawah kontrol penuh Israel, termasuk Al-Quds (Yerusalem Timur) dan permukiman di Tepi Barat. Cara ini telah lama dikritik karena memicu praktek korupsi dan penganiayaan terhadap warga Palestina.
Sebuah komisi yudisial yang memimpin penyelidikan menyimpulkan pada tahun 2004 bahwa polisi adalah kelembagaan rasis, karena mereka memandang warga Palestina sebagai “musuh”.
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Farah mencatat bahwa puluhan warga Palestina telah tewas di tangan polisi penjajah selama 16 tahun terakhir tanpa adanya penjelasan.
Namun, kehadiran kelompok garis keras agama di kepolisian nasional penjajah Israel telah menambah kekhawatiran.
“Hubungan antara polisi dan warga Palestina sudah merupakan bencana,” kata Touma-Suleiman. “Tapi situasi lebih akan memburuk jika ideologi pemukim menjadi norma di kalangan polisi.”
Sebuah statistik yang dirilis pada musim panas menunjukkan bahwa dalam empat tahun hingga 2015, sekitar 60 persen dari penangkapan yang dilakukan polisi penjajah Israel adalah terhadap warga non-Yahudi. Itu berarti bahwa warga Palestina tiga kali lebih mungkin untuk ditahan dibandingkan warga Yahudi.
Baca Juga: Suriah dan Corak Bendera yang Berganti
Yossi Gurvitz, seorang wartawan Israel dan peneliti pemukim, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa warga Palestina sudah menghadapi kebrutalan polisi.
Dalam salah satu pernyataan pertama Kepala Polisi Roni Alsheikh setelah pengangkatannya, ia berpendapat bahwa warga Palestina tidak mengalami kedukaan, berbeda halnya dengan orang-orang Yahudi.
Para pemimpin Palestina mengkhawatirkan bahwa kehadiran tumbuhnya pemukim ekstremis di jajaran kepolisian penjajah, semakin membuat pemuda pemukim Yahudi kian berani di balik gelombang baru kekerasannya terhadap warga Palestina, baik di Tepi Barat dan wilayah Israel.
Sejauh ini, polisi telah dituduh gagal untuk menyelidiki serangan yang dilakukan oleh pemukim Yahudi, termasuk pembakaran masjid dan gereja.
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
Menurut Farah, perkembangan pemukim di jajaran kepolisian nasional akan berkontribusi semakin memberi “rasa impunitas”.
Keyakinan tentang “kekebalan hukum” yang tumbuh, tergambar dalam kekerasan pemukim Yahudi yang membakar rumah warga Palestina di desa Duma tahun lalu, menewaskan tiga anggota keluarga Dawabshe, termasuk seorang balita.
Sebagian pemimpin pemukim Yahudi yang terlibat erat bersama orang-orang di kepolisian Israel membantah bahwa serangan di desa Duma adalah tindakan teror.
Di antara politikus dari kalangan pemukim yang terlibat dengan program “Believers” adalah Menteri Pertanian dan Pembangunan Desa Uri Ariel dan Anggota Knesset Bezalel Smotrich. Keduanya telah menuntut bahwa orang Yahudi harus memiliki hak hukum untuk berdoa di kompleks Al-Aqsha, meskipun ada kemungkinan memicu bahaya gejolak regional.
Baca Juga: Hari HAM Sedunia: Momentum Perjuangan Palestina
Dalam sebuah wawancara pada 2011, pencipta program “Believers in the Police” Nahi Eyal, mengatakan bahwa tujuan programnya adalah untuk membantu masyarakat pemukim “menemukan jalan ke dalam jajaran komando”.
Gerakan pemukim baru-baru ini juga berhasil menempati posisi teratas di layanan keamanan utama Israel lainnya, termasuk agen mata-mata Mossad dan badan intelijen domestik Shin Bet. (P001)
Sumber: tulisan Jonatthan Cook di Al Jazeera
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Literasi tentang Palestina Muncul dari UIN Jakarta