Anggota DPR Minta Penjelasan Kemsos Soal Bansos Presiden yang Ditimbun

Jakarta, MINA – Anggota Komisi VIII Yusuf mendesak Kementerian Sosial menjelaskan kepada publik soal temuan beras yang ditimbun dalam tanah di lahan kosong di Depok.

Desakan tersebut dia layangkan kepada Kementerian Sosial lantaran beras bansos yang merupakan Bantuan Presiden tersebut penyalurannya dikoordinir oleh Kementerian Sosial.

Menurut Bukhori, Senin (1/8), Dinas Sosial Depok sudah menyampaikan keterangan resminya bahwa mereka tidak bekerjasama dengan pihak JNE, yang diduga sebagai eksekutor penimbunan beras, untuk menyalurkan beras bansos.

“Sementara, berdasarkan keterangan resmi pihak JNE, mereka mengklaim penimbunan beras tersebut dilakukan atas perjanjian kerjasama kedua belah pihak, lalu pertanyaannya adalah apakah yang dimaksud JNE ini adalah Kementerian Sosial? Ini yang perlu diperjelas supaya tidak menimbulkan spekulasi liar,” kata Bukhori.

Anggota DPR RI dari Fraksi PKS ini mengatakan, selama ini Kementerian Sosial belum pernah menjelaskan secara transparan kepada Komisi VIII DPR terkait perlakuan terhadap bansos beras tidak layak konsumsi yang pernah diterima oleh Keluarga Penerima Manfaat (KPM) namun ditarik kembali oleh pihak Kementerian Sosial.

“Kami mengapresiasi kinerja Kemensos yang berkomitmen memberikan bansos yang layak kepada KPM. Namun sejauh pengetahuan kami, Kemensos belum pernah menerangkan kepada kami soal bagaimana nasib dari bansos beras yang ditarik kembali itu. Apakah dikembalikan kepada pemasok, dijual, atau disimpan di tempat tertentu,” ungkap Bukhori.

Legislator Dapil Jawa Tengah 1 ini menambahkan, terkait dengan Bansos Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebenarnya pernah mengungkapkan temuannya terkait bansos tersebut dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2020.

Dalam temuan tersebut dipaparkan terdapat indikasi ketidakwajaran harga dalam proses pengadaan barang dan jasa pada kegiatan Bantuan Presiden (Banpres) Sembako, diantaranya penawaran barang disampaikan setelah penandatanganan surat perintah kerja (SPK).

Pejabat pembuat komitmen (PPK) tidak melakukan klarifikasi dan negosiasi harga, PPK tidak meminta penyedia menyampaikan bukti pendukung kewajaran harga, PPK tidak meminta Aparat Pengawasa Intern Pemerintah (APIP) melakukan audit untuk memastikan kewajaran harga, serta harga pembelian beras premium melebihi harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp 3,29 M.

“Hal ini mengakibatkan terdapat indikasi kemahalan harga dan harga yang disediakan penyedia banpres sembako tidak diyakini dapat dipertanggungjawabkan,” demikian papar laporan tersebut.

Lebih lanjut, Bukhori juga menyayangkan perlakuan terhadap beras bansos yang dilakukan dengan cara dikubur. Menurutnya hal itu melukai perasaan masyarakat miskin dan tidak bijaksana.

“Jika benar beras tersebut sengaja ditimbun lantaran diklaim rusak atau tidak layak konsumsi, kami agak ragu dengan keterangan tersebut. Padahal masih ada cara lain supaya beras tersebut tidak terbuang sia-sia, semisal dijual kembali ke pihak lain sebagai campuran pakan ternak. Setidaknya itu bisa lebih bermanfaat dan tidak menimbulkan kecurigaan,” ujarnya.

Bukhori mendukung kepolisian mengusut tuntas kasus penimbunan beras tersebut sehingga terungkap fakta dan pihak yang harus bertanggung jawab atas penimbunan beras itu.

Komisi VIII menaruh perhatian terhadap kasus ini dan akan mengawal hingga terungkap motif dan pihak yang harus bertanggung jawab atas penimbunan beras bansos tersebut.

“Jika ditemukan adanya indikasi perbuatan pidana, baik oleh pihak swasta ataupun penyelenggara negara, aparat penegak hukum tidak perlu ragu menyeret mereka untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di mata hukum,” pungkasnya.(R/R1/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.