Anggota MPR Pertanyakan Kebijakan Karantina Pelesiran dari Luar Negeri

Jakarta, MINA – Anggota MPR dari Kelompok DPD RI M. Syukur mempertanyakan kebijakan pemerintah, yang melakukan massal bagi warga yang baru pulang pelesiran dari luar negeri. Menurutnya, kebijakan pemerintah tersebut masih harus ditinjau kembali.

“Keresahan masyarakat muncul bukan saja karena biaya yang sangat mahal, tetapi dasar hukum yang dijadikan acuan sama sekali tidak sesuai dengan UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan,” kata senator asal Provinsi Jambi ini, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (27/1).

Lebih jauh, Syukur menjelaskan bahwa secara logika, prosedur kepulangan dari luar negeri telah melalui prosedur baku yang telah ditentukan oleh pejabat yang berwenang. Di mana, setiap warga negara yang pulang dari luar negeri harus dilengkapi dengan hasil negatif test PCR dari titik keberangkatan.

“Petugas di bandara, semestinya telah melakukan verifikasi dan pengecekan dokumen tersebut. Kemudian, setelah dilakukan verifikasi dokumen, maka diwajibkan test PCR kembali untuk lebih meyakinkan,” tegasnya.

Anggota DPD RI ini juga mempertanyakan, jika hasilnya negatif kenapa masih tetap diwajibkan karantina terutama di hotel. Belum lagi karantina selama satu pekan itu dengan biaya paket yang mahal, penyelenggara karantina telah membuat paket secara komersil.

“Menurut saya, hal demikian justru tidak sesuai dengan tujuan kekarantinaan kesehatan. Yang mesti diperhatikan adalah, apakah penyelenggaraan karantina di hotel itu dapat dibenarkan, mengingat hotel sama sekali tidak memiliki fasilitas kesehatan dan kekarantinaan sebagaimana diatur dalam UU No. 6 Tahun 2018,” imbuhnya.

Syukur menambahkan, satu pertanyaan penting yang harus dijawab oleh pejabat berwenang terkait karantina adalah, jika masyarakat telah mengikuti karantina selama satu pekan dan dilakukan test PCR yang hasilnya dinyatakan tidak terpapar atau negatif, apakah masyarakat boleh menuntut pengembalian biaya karantina yang telah dibayarkan.

“Mengingat karantina tersebut bukan keinginan warga dan cenderung karena pemaksaan, apakah penyelenggara karantina bisa dikatagorikan melakukan pelanggaran HAM?,” tanya dia.

Syukur melanjutkan, sedangkan bagi warga negara yang tidak mampu membayar hotel, mereka diwajibkan mengikuti karantina di tempat yang telah ditentukan seperti Wisma Atlet dan rumah susun Kampung Melayu secara gratis.

“Kenyataannya, negara harus menanggung biaya yang sangat besar, lalu bagaimana mengauditnya,” tambahnya.

Syukur memberikan gambaran bahwa di Amerika Serikat saja, walaupun di setiap bandara di seluruh negara bagian AS jutaan orang datang silih berganti, pemerintah AS sama sekali tidak melaksanakan karantina terhadap pengunjung dan warga negara yang datang.

“Dalil yang mengatakan bahwa di Amerika Serikat terjadi peningkatan terpapar memang betul. Namun, jika dibuat rasio, masih jauh lebih kecil jumlahnya di bandingkan di Indonesia,” jelasnya. (R/R1/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.