Bagaimana Israel Ajarkan Rasisme Sejak Anak-Anak

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior MINA

Dalam buku pelajaran karya Nurit Peled-Elhanan, “Palestine in School Books,” diajarkan tentang rasisme sejak anak-anak.

Buku Peled-Elhanan adalah studi utama dari 17 buku pelajaran sekolah Israel tentang sejarah, geografi dan studi kewarganegaraan.

Buku sekolah resmi Israel ini mengajarkan “wacana rasis”, yang secara harfiah menghapus Palestina dari peta.

Peta-peta dalam buku sekolah hanya menunjukkan “Tanah Israel”, dari sungai ke laut.

Si Penulisnya, seperti dirilis Middle East Monitor (MEMO),  menjelaskan bahwa tidak satu pun dari buku sekolah termasuk “aspek budaya atau sosial positif dari dunia kehidupan Palestina: tidak ada sastra atau puisi, baik sejarah atau pertanian, baik seni maupun arsitektur, baik adat maupun tradisi tidak pernah disebutkan.”

Dia menyimpulkan, buku sekolah anak-anak “menyajikan budaya Israel-Yahudi sebagai yang lebih unggul dari yang Arab-Palestina, konsep kemajuan Israel-Yahudi lebih unggul dari cara hidup Palestina-Arab dan perilaku Israel-Yahudi sebagai selaras dengan nilai-nilai universal.”

Tujuh tahun lalu, ketika buku Peled-Elhanan diterbitkan, ia memperingatkan bahwa, berbeda dengan harapan liberal untuk perubahan dari dalam masyarakat Israel, banyak hal bergerak mundur dan bahwa buku teks yang ada saat ini sedikit lebih dari “manifes militer” ”

“Kami memiliki tiga generasi pelajar yang bahkan tidak tahu di mana perbatasan,” antara Tepi Barat dan seluruh Palestina.

Tujuh tahun setelah publikasi buku, segalanya semakin memburuk.

Semua isi buku ini tentu sangat bertolak belakang dengan fakta, dan isinya menyesatkan bagi anak-anak di Palestina.

Sementara buku-buku yang dicetak oleh Otoritas Palestina sejak tahun 1990-an sering digambarkan sebagai buku yang mengedepankan fitnah anti-Semit terburuk tentang orang-orang Yahudi.

Secara keseluruhan, narasi ini dihasut oleh kelompok-kelompok propaganda anti-Palestina, seperti yang dijalankan oleh pemukim Israel Itamar Marcus dan “Palestinian Media Watch”.

Itu bisa dilihat dalam video yang beredar di media sosial pekan ini tentang serdadu muda Israel yang merayakan dan bersorak setelah mereka membakar rumah-rumah Palestina di sebelah timur Yerusalem. Tentara yang sama itu adalah produk dari sistem pendidikan Israel.

Namun, para ahli memprediksi, sebagai entitas penjajah-kolonial, perubahan nyata tidak pernah bisa datang dari dalam masyarakat Israel. Namun itu harus dipaksakan dari luar.

Sama seperti orang kulit putih Afrika Selatan, Yahudi Israel tidak akan pernah secara sukarela menyerahkan posisi istimewa mereka sebagai pemukim.

Apartheid Afrika Selatan telah dikalahkan oleh massa Afrika Selatan, dengan dukungan dari beberapa oposan kulit putih, dan para pemimpin politik mereka, dalam aliansi dengan kampanye solidaritas global.

Dengan cara yang sama, apartheid Israel akan dikalahkan oleh perjuangan Palestina. Perjuangan ini didukung oleh minoritas oposan Israel, dan oleh gerakan solidaritas internasional, terutama gerakan Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS).

Apalagi kini, kesadaran akan solidaritas Palestina menggema di mana-mana, menembus batas teritorial politik, suku, ras bahkan agama.

Di Indonesia, lebih lagi. Tema-tema “Save Palestine” dan “Boikot Israel,” atau ada juga “Buka Blokade Gaza” dan “Al-Aqsha Haqquna” sudah menjadi akrab dan menjadi semangat tersendiri.

“Longmarch Cinta Al-Aqsha” juga memberi makna baru dukungan terhadap perjalanan panjang perjuangan kemerdekaan Palestina dan pembebasan Al-Aqsha dari penjajahan Israel.

Allahu Akbar ! Al-Aqsha Haqquna !! (A/RS2/RS1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.