Jakarta, MINA – Kuasa Hukum Paslon Presiden dan Wakil Presiden RI Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno membeberkan sejumlah kejanggalan yang terbukti di persidangan Mahkama Konstitusi (MK) tentang sengketa hasil Pemilu Presiden RI 2019.
Dalam pernyataan persnya yang diterima MINA pada Rabu (26/6) Kuasa Hukum Paslon 02 tersebut menyatakan, pihaknya dan rakyat Indonesia berharap Mahkama Konstitusi (MK) mempertegas kemuliaannya melalui putusan tanggal 27 Juni 2019 nanti.
“Putusan tanggal 27 Juni 2019, yakni sebuah putusan yang berlandasakan pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan (the truth and justice) sesuai dengan kesepakatan bangsa dan mandat konstitusi, dimana MK terikat pada UUD 1945,” kata Kuasa Hukum Prabowo-Sandi.
“MK harus menegakkan kebenaran dan keadilan secara utuh. Jika tidak, maka keputusan MK akan kehilangan legitimasi, karena tidak ada public trust di dalamnya,” tegas pernyataan tersebut.
Baca Juga: Bulog: Stok Beras Nasional Aman pada Natal dan Tahun Baru
Menurutnya, jika tidak menegakkan kebenaran dan keadilan secara utuh, MK bukan hanya tidak ada public trust, tetapi juga tidak akan ada public endorsement pada pemerintahan yang akan berjalan.
“Satu saja unsur yang menjadi landasan atau rujukan keputusan MK mengandung unsur kebohongan (terkait integritas) dan kesalahan (terkait profesionalitas), …. maka keputusan MK menjadi invalid,” kata pernyataan itu.
Kuasa Hukum Paslon 02 mencontohkan, kesaksian Prof. Jazwar Koto, PhD (saksi ahli 02) dalam persidangan tentang adanya angka penggelembungan 22 juta suara, yang ia jelaskan secara saintifik berdasarkan digital forensic sama sekali tidak dideligitimasi oleh Termohon/KPU maupun Terkait/Paslon 01.
Yang dipersoalkan terhadap Prof Jazwar Koto hanyalah soal sertifikat keahlian, padahal ia telah menulis 20 buku, 200 jurnal internasional, pemegang hak paten (patent holder), penemu dan pemberi sertifikat finger print dan eye print, serta menjadi Direktur IT di sebuah perusahaan yang disegani di Jepang.
Baca Juga: Media Ibrani: Empat Roket Diluncurkan dari Gaza
Adanya penggelembungan 22 juta suara dikuatkan oleh keterangan saksi Idham Amiruddin.
“Telah ditemukan 22 juta DPT siluman dalam bentuk NIK Rekayasa, pemilih ganda dan pemilih di bawah umur,” kata pernyataan Kuasa Hukum Paslon 02 mengutip kesaksian Idham.
Dinyatakan bahwa Pemohon telah berkali-kali mengajukan protes dan keberatan terhadap adanya DPT Siluman ini, namun Termohon tidak pernah melakukan perbaikan yang serius terhadap DPT bermasalah tersebut.
Kuasa Hukum Prabowo-Sandi juga mengemukakan cocoknya keterangan saksi 02 Hairul Anas dengan saksi 01 Anas Nasihin tentang power point yang berjudul “Kecurangan adalah Bagian Dari Demokrasi”, serta acara TOT yang dihadiri oleh petahana Presiden RI Joko Widodo, Kepala KSP Moeldoko, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Sekjen PDIP dan anggota DPR Hasto, Komisioner KPU, Bawaslu RI dan DKPP.
Baca Juga: BRIN Kukuhkan Empat Profesor Riset Baru
Dalam persidangan juga terbukti, setelah dilakukan pemeriksaaan, ternyata Termohon tidak dapat membuktikan adanya C7 (daftar kehadiran). Ketidakadaan C7 sangat fatal terkait dengan kepastian atas hak pilih rakyat (daulat rakyat).
“Tidak dapat dibuktikannya siapa yang hadir memberikan suaranya dalam pemungutan suara di TPS, maka muncul pertanyaan suara itu suara siapa? Siapa yang melakukan pencoblosan?” tegas Kuasa Hukum Paslon 02.
Yang dinilai sangat aneh dalam sengketa hasil Pilpres ini, terbuktinya fakta di persidangan bahwa Termohon/KPU membuat penetapan DPT (Daftar Pemilih Tetap) tertanggal 21 Mei 2019, yang artinya penetapan KPU tersebut dibuat setelah Pemilu tanggal 17 April 2019. (L/RI-1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Jateng Raih Dua Penghargaan Nasional, Bukti Komitmen di Bidang Kesehatan dan Keamanan Pangan