Beijing Kecam ‘Pengadilan Uyghur’ yang Menyelidiki HAM di Xinjiang

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian. (SCMP)

Beijing, MINA – mengkritik proses yang disebut “”, upaya kuasi-yudisial oleh penentang perlakuan pemerintah China terhadap dan etnis minoritas Muslim lainnya, yang dirancang untuk mempublikasikan bukti dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan China.

Pada konferensi pers hari Kamis (9/9) di Beijing, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian mengatakan, “tidak peduli berapa banyak ‘aktor atau aktris’ yang direkrut dan berapa banyak ‘persidangan’ yang diatur, itu hanyalah pengadilan kanguru dan upaya yang sia-sia.”

“Itu tidak ada hubungannya dengan hukum, keadilan atau kebenaran, dan hanya lelucon lain yang dipentaskan untuk mencoreng dan menyerang Xinjiang,” kata Zhao kepada pers, menyebut anggota pengadilan sebagai badut, VOA melaporkan.

“Pengadilan” mendengar dari 38 saksi dalam sidang putaran pertama pada bulan Juni di Church House, London. Berfokus pada dugaan pelanggaran HAM di Xinjiang, wilayah barat laut China.

Sidang kedua dijadwalkan dari 10 hingga 13 September, menurut penyelenggara.

Nick Vetch, wakil ketua pengadilan, mengatakan, dipimpin oleh Sir Geoffrey Nice, seorang pengacara terkemuka dan ahli dalam hukum pidana internasional, kesembilan “juri” itu termasuk akademisi, praktisi medis dan bisnis, diplomat dan pengacara.

Sebuah tim beranggotakan enam pengacara membantu mengumpulkan dan menyajikan bukti. Mereka adalah warga negara Inggris, Prancis, Jerman, Iran, dan Malta.

Pada akhir tahun, para juri berencana mengeluarkan “vonis” mengenai tindakan China di Xinjiang.

Beberapa negara seperti AS serta organisasi hak asasi seperti Amnesty International, menuduh China melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang menargetkan Uyghur dan etnis minoritas lainnya.

Antara lain, mereka merujuk pada penahanan sewenang-wenang terhadap sekitar 1 juta orang dan laporan kerja paksa serta sterilisasi paksa.

China membantah melecehkan warga Uyghur, dengan mengatakan bahwa mereka diberi pelatihan kejuruan dan keterampilan bahasa. Beijing mengatakan, orang-orang di Xinjiang bebas memilih pekerjaan mereka.

Pada Desember 2020, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengatakan, tidak akan menyelidiki karena China, seperti Amerika Serikat, bukan merupakan pihak dalam Statuta Roma, sebuah perjanjian yang mendefinisikan jangkauan yurisdiksi ICC.

“Pengadilan hanya mencari fakta dan hukum untuk menjawab apakah kejahatan terhadap kemanusiaan dan/atau genosida telah atau sedang terjadi,” kata Vetch kepada VOA. Keputusan akhir akan dikeluarkan sebelum akhir tahun ini. (T/RI-1/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)