Burma, 11 Ramadhan 1434/19 Juli 2013 (MINA) – Para ahli mengatakan, biksu berpengaruh di Myanmar telah memperburuk ketegangan lama antara masyarakat Buddha dan Muslim di negara itu sejak kerusuhan meletus antara dua kelompok sejak 2012.
“Biksu Myanmar mungkin tidak memulai kekerasan tetapi mereka meningkatkan gelombang kekerasaan dengan cara menghasut banyak orang,” kata Michael Jerryson, seorang profesor studi agama dan asisten editor buku ‘Perang Buddha’, baru-baru ini dipublikasi pada 2010 menganalisis sisi kekerasan agama Buddha di Asia Tenggara dan bagaimana organisasi Buddha ada menggunakan agama dan retorika untuk mendukung penaklukan militer.
Sebagai contoh, gerakan kelompok “969” (angka penting dalam ajaran Buddha) adalah kampanye nasionalis anti-Muslim didirikan pada awal 2013 di Myanmar untuk melindungi identitas Buddha di Myanmar.
Tokoh pemimpin tersebut menuduh umat Islam menghina dan mencoba untuk mendominasi masyarakat Myanmar secara politik dan ekonomi. Pendukung kelompok ekstrim “969” memakai stiker mengidentifikasi keanggotaan mereka yang juga diposting di toko dan kios milik Buddhis untuk mendorong umat Buddha melakukan bisnis hanya dengan umat Buddha lainnya, dan mengutuk orang-orang yang membeli dari muslim.
Baca Juga: Presiden Korea Selatan Selamat dari Pemakzulan
Kelompok “969” segaja mengedarkan rekaman suaras kebencian mereka terhadap muslim di restoran dan toko-toko di seluruh negeri, termasuk pidato dari seorang biksu berpengaruh dan terkenal, U-Wirathu, yang telah memicu kecaman internasional dan berpidato lantang menunjukkan kebenciannya terhadap muslim, menurut berita lokal.
Menurut Jerryson, Walau pun idealisme dari kitab ajaran Buddha mendukung perdamaian dan cinta damai, perbedaan antara realitas dan ajaran mudah berkembang di saat kerawanan sosial, politik, dan ekonomi, seperti masa transisi menuju demokrasi di Myanmar.
Biksu semestinya bertindak sebagai pedoman moral yang utama dalam masyarakat Buddhisme Theravada yang dipraktekkan di negara-negara Asia Tenggara termasuk Myanmar, Sri Lanka, Thailand, Kamboja, dan Laos.
Human Rights Watch (HRW) mengungkapkan, pemerintah Myanmar tidak berbuat maksimal untuk membendung dan menghentikan pidato kebencian biksu lainnya di Myanmar.
Baca Juga: Jumat Pagi Sinagog Yahudi di Meulbourne Terbakar
“Pemerintah tidak menerapkan aturan dasar hukum untuk menahan pemicu kekerasan yang bertanggung jawab. Jika Anda menghasut dan terlibat dalam kekerasan, Anda harus bertanggung jawab, apakah Anda mengenakan jubah safron atau tidak, “kata Phil Robertson, wakil direktur eksekutif untuk HRW di Asia Tenggara, , sebagaiamana dilaporkan Kantor Berita Rohingya Rohingya News Agency (RNA) dan dipantau Kantor Berita Islam Mi’raj News Agency (MINA).
Pengaruh mereka telah mencapai ke dalam kehidupan politik sebagian besar negara-negara itu, menciptakan perpaduan antara agama dan identitas nasional. Dalam etnik dan agama masyarakat yang heterogen di Myanmar, muslim semakin merasa berat atas radikalisme Buddha, analis mengatakan.
“Kami sangat malu dengan perlakuan mengerikan terhadap komunitas minoritas muslim yang baru-baru ini terjadi di beberapa negara Buddhis,” kata Richard Gombrich, pendiri dan direktur dari Pusat Oxford untuk studi Buddhis, mengacu pada kekerasan yang sedang berlangsung terhadap muslim di Myanmar, Sri Lanka dan Thailand Selatan.
Gombrich mengkritik Buddhis Theravada dan khususnya pemimpin mereka, atas tindakan Budhis yang mengkhianati nilai Buddhis yang menjunjung tinggi cinta damai, apalagi kebaikan dan kasih sayang.
Baca Juga: Taliban Larang Pendidikan Medis Bagi Perempuan, Dunia Mengecam
Gombirch menambahkan bahwa muslim menjadi kambing hitam untuk menggantikan rasa takut dan frustasi rakyat di negara mayoritas non-muslim.(T/P08/P02)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: PBB akan Luncurkan Proyek Alternatif Pengganti Opium untuk Petani Afghanistan
Baca Juga: Polisi Mulai Selidiki Presiden Korea Selatan terkait ‘Pemberontakan’