Bukhori : Wafatnya Santri Gontor Sikapi Secara Proporsional dan Adil

(Foto: Istimewa)

Jakarta, MINA – Anggota Komisi VIII Bukhori Yusuf menyampaikan belasungkawa terhadap wafatnya salah satu santri Ponpes Modern Gontor Ponorogo yang diduga wafat akibat penganiayaan oleh pengurus organisasi di tersebut.

Legislator dari Fraksi PKS ini mengatakan, insiden wafatnya santri di pondok pesantren tersebut perlu direspons secara bijak dan proporsional.

“Sekalipun kasus meninggalnya pelajar, mahasiswa, maupun santri bukan hanya terjadi di Gontor, saya meminta semua pihak tetap berlaku adil, bersikap secara proporsional, dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan serta tidak memunculkan opini liar sehingga memperkeruh suasana dan menjadi fitnah yang berakibat pada tidak terselesaikannya masalah” kata Bukhori di Jakarta, Selasa (13/9).

Bukhori juga menyampaikan dukungannya kepada Ponpes Modern Gontor atas sikap tegasnya dan kesediaannya bersikap kooperatif demi penegakan hukum sehingga menjadikannya sebagai sarana untuk melakukan evaluasi terhadap efektivitas pengelolaan santri.

“Kami merasa prihatin dan sedih mendapati kabar tersebut. Teriring doa untuk almarhum agar diterima sebagai syuhada. Kami dapat memahami bahwa peristiwa musibah ini tidak hanya menyisakan duka bagi keluarga yang ditinggalkan, tetapi juga bagi pimpinan dan seluruh keluarga besar Gontori,” ucapnya.

Bukhori menyatakan, doa dan dukungan patut diberikan kepada keluarga serta institusi , supaya dapat melalui hari-hari yang penuh ujian ini dengan sabar, tabah dan sikap terbaik paling bijak untuk hadirkan maslahat bagi semuanya sehingga lulus ujian, dan naik ke maqam yang lebih tinggi lagi.

Bukhori juga mengatakan, pihaknya mengapresiasi tindakan tegas pihak Gontor menjatuhkan sanksi dengan mengeluarkan para terduga pelaku penganiayaan dari ponpes Gontor.

“Sikap bijak pimpinan Gontor yang meminta maaf dan mengunjungi keluarga korban, serta sikap koperatif Gontor yang bersedia bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam mengusut kasus kekerasan ini patut diapresiasi. Atas itikad baik tersebut, maka kami juga meminta agar kasus tersebut tidak didramatisir, apalagi dipolitisir supaya nila setitik ini tidak merusak susu sebelanga Gontor yang sudah berumur hampir satu abad,” katanya.

Bukhori menilai Ponpes Gontor memiliki kiprah penting terhadap bangsa.

“Gontor turut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan mengelola puluhan ribu santri yang alumninya sudah tersebar di seluruh Indonesia. Alumni Gontor juga telah dipercaya untuk duduk di sejumlah posisi strategis negara diantaranya sebagai Ketua PBNU, PP Muhammadiyah, Ketua MUI, Ketua MPR, Menteri Agama, Duta Besar, Rektor. Selain itu alumninya pun juga sudah mendirikan ratusan ponpes,” jelasnya.

Bukhori menyatakan, sejarah Gontor adalah sejarah sukses penegakan disiplin. Aturan di Gontor jelas mengharamkan kekerasan fisik sehingga siapapun yang melakukannya akan dikenai sanksi hingga pengusiran dari pondok.

“Jika ada satu-dua kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan pondok pesantren maupun lembaga pendidikan lainnya, dorongan untuk melakukan koreksi dan introspeksi patut disampaikan agar lembaga tersebut bisa segera berbenah untuk meningkatkan kelas dan kualitas. Namun demikian, membesar-besarkan kasus tersebut untuk tujuan politisasi atau mendiskreditkan ponpes, tentu tidak bisa dibenarkan karena tidak adil, tidak proporsional dan tidak membantu mengatasi masalah,” tegasnya.

Ketua DPP PKS ini khawatir penggalangan opini yang tendensius dan sikap tidak proporsional akan menuntun pada laku zalim, tidak adil, serta stigmatisasi terhadap ponpes sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam, hingga masuknya narasi islamophobia.

“Laku tidak proporsional dan tendensius bisa menjadi politisasi terhadap kasus ini, yang tidak membantu menyelesaikan masalah, melainkan bisa menciptakan stigma dan fitnah terhadap ponpes sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam,” ucapnya.

Anggota DPR lulusan Pondok Pesantren Tsamaratul Hidayah Jepara ini menegaskan, perilaku kekerasan bukanlah nilai atau budaya yang ditolerir dan ditumbuhkan di pondok pesantren, termasuk di Pesantren Gontor. Sebaliknya, proses belajar dan berkegiatan di pondok pesantren dilakukan sesuai dengan nilai-nilai Islam yang ada dalam kitab-kitab yang diajarkan di ponpes, juga kasih sayang dari keteladanan para Kiai serta pengasuh ponpes.

“Budaya dasar di ponpes adalah ukhuwah (persaudaraan) dan bukan kekerasan. Dan itu terbukti berhasil mendidik para santri sehingga terhindar dari kekerasan dan kenakalan di kalangan remaja semisal tawuran, pengeroyokan, maupun perundungan,” tuturnya.

Sehingga, lanjut Bukhori, kalau sampai terjadi kekerasan, jelas itu pelanggaran terhadap disiplin dan tradisi ponpes.

“Termasuk yang terjadi di Gontor hampir bisa dipastikan kekerasan apalagi sampai ada korban yang meninggal itu adalah kecelakaan dan musibah yang tidak diinginkan apalagi ditolerir oleh Pesantren Gontor, sekalipun tetap harus dikritisi dan dikoreksi agar tak terulang dan demi kebaikan ponpes, para santri dan kiai,” ujarnya.

Anggota Badan Legislasi DPR ini mengungkapkan, jika setiap pihak mau melihat secara adil, keberadaan pondok pesantren perlu diakui telah memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat.

Eksistensi lembaga ini memiliki kiprah yang panjang dalam membentuk sumberdaya manusia yang bertakwa, cerdas, dan berakhlak mulia jauh sebelum bangsa ini merdeka.

“Khususnya Ponpes Gontor yang telah berdiri sejak 1926 terbukti memiliki rekam jejak yang baik dalam menghasilkan para lulusan santri yang telah banyak tersebar dan berkontribusi di berbagai sektor. Gontor juga dinilai berhasil mencetak para lulusan santri yang kini menjadi tokoh-tokoh penting penyelenggara negara,” tuturnya.

Maka, imbuhnya, janganlah karena satu kasus, kita abai dengan jasa ponpes yang nyata dan terasa manfaatnya bagi masyarakat selama ini,” sambungnya.

Anggota Komisi Agama DPR ini menegaskan, DPR tidak berpangku tangan terhadap sejumlah insiden yang terjadi di lingkungan pendidikan keagamaan. Salah satunya adalah dengan membentuk panitia kerja (panja) pengawasan pendidikan keagamaan di Komisi VIII DPR, dimana dirinya sendiri merupakan salah satu pihak pengusulnya.

“Panja ini dibentuk bukan untuk menghukum, apalagi mencurigai ponpes dan lembaga pendidikan Islam lainnya, melainkan untuk mendorong peningkatan kualitas pendidikan keagamaan dan hadirnya keadilan anggaran bagi ponpes serta lembaga pendidikan keagamaan Islam lainnya,” jelasnya.

Peran DPR adalah menjembatani aspirasi dari penyelenggara pendidikan keagamaan sekaligus mengadvokasi mereka agar memperoleh keadilan anggaran dari pemerintah. DPR juga berperan dalam membina para penyelenggara pendidikan keagamaan melalui fungsi advokasi, pengawasan, serta koreksi guna membantu menciptakan ekosistem pendidikan yang aman dan nyaman bagi peserta didik

Lebih lanjut, Bukhori mengatakan pihaknya tidak setuju dengan munculnya wacana pencabutan izin ponpes Gontor yang dilontarkan Kementerian Agama. Dia meyakini pondok pesantren sekelas Gontor yang lebih tua usianya dari Republik Indonesia, tentu tidak mentolerir dan mengajarkan kekerasan.

“Apalagi Gontor telah memiliki regulasi atau aturan yang ketat terkait larangan tindak kekerasan. Namun, apabila dengan berjalannya waktu regulasi atau aturan tersebut menjadi kurang efektif atau kurang relevan, bisa dibantu dengan mengevaluasi dan memberikan masukan yang lebih baik dan solutif. Kewajiban itu yang harusnya dilakukan lebih dahulu oleh Kemenag, bukan malah dengan mewacanakan ancaman pencabutan izin. Sebab Pesantren Gontor sudah sangat banyak jasanya bagi umat, bangsa dan negara,” tegasnya.

Bukhori menambahkan, satu kasus yang terjadi ini hendaknya menjadi pelajaran tentang bagaimana berlaku bijak, adil, dan proporsional untuk kepentingan santri, kiai, pesantren, bangsa dan negara,” pungkasnya.(R/R1/RS3)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.