Cerita Relawan Gempa Lombok, Kisah Pasien Tak Mau Pulang

Gempa 6,9 dan 7,0 SR yang terjadi di Pulau Lombok pada awal bulan Agustus ini menyisakan beragam cerita dan kenangan yang menarik. Cerita itu datang dari masyarakat Lombok sendiri sebagai korban gempa, maupun para relawan yang  mengabdikan, mengorbankan harta dan jiwanya untuk kemanusiaan, menolong sesama yang membutuhkan bantuan.

Tim medis lembaga kemanusiaan MER-C yang terjun langsung ke lokasi bencana sejak hari pertama terjadinya Gempa hingga hari ini, Ahad (12/8) menyimpan berbagai cerita dan kenangan itu, baik kisah yang mengharukan hingga menguras air mata, sampai yang lucu-lucu hingga membuat perut semakin lapar saja.

Tim MER-C yang melakukan pengobatan keliling (mobile clinic) dan tim operasi bedah tulang yang bekerja tanpa keluh kesah mengungkapkan cerita dan pengalaman mereka ketika kembali ke posko. Saat musyawarah evaluasi yang diadakan pada setiap malam itu, masing masing mengungkapkan berbagai peristiwa yang mereka temui. Berikut beberapa penggal cerita mereka:

Pasien yang Betah Tinggal di Rumah Sakit

Sejak hari pertama tim MER-C menangani operasi bedah tulang korban gempa di RS Awet Muda, kecamatan Narmada, Lombok Tengah, ada sesuatu yang ganjil ditemui tim dokter MER-C. Warga Lombok yang notabene adalah suku Sasak itu memiliki sikap berbeda dengan pasien rumah sakit pada umumnya. Mengapa begitu?

Beberapa hari setelah pasien menjalani perawatan pasca dioperasi dan dinyatakan fit oleh dokter, mereka diizinkan pulang ke rumah.  Tim MER-C pun menyampaikan kabar gembira itu kepada pasien dan keluaganya bahwa mereka sudah diizinkan pulang. Namun mereka malah bersedih mendengar hal itu. Keluarga pasien malah mengatakan: “Jangan suruh kami pulang dokter, biarkan kami di sini saja,” kata mereka.

Mendengar hal itu, tim MER-C menjadi bingung. Dr Akita Akbar, relawan MER-C dari Medan, Sumatera Utara yang sudah sepekan lamanya berada di negeri Seribu Masjid itu heran bukan kepalang.  “Macam mana pula Kau ini. Kau sudah sembuh tapi tak mau pulang, Pening pala awak ini,” kelakarnya dengan logat khas Batak.  Maklum, selama berada di Lombok, dokter yang masih lajang, meski tampangnya gokil abis seperti Aliando Syarif ini belum menemukan makanan favoritnya, bakso kuah.

Sementara Tuwarji, relawan MER-C asal Yogyakarta yang medok dengan logat Jawanya berseloroh: “ Yo wes ben, yen pancene karepe koyo ngono yo ojo dipekso (biarkan saja dulu, kalau memang keinginan mereka begitu jangan dipaksa,” ujarnya dengan nada ngebass, bergaya sok bijak menasehati teman-teman relawan sambil mengelus-elus jenggot tebalnya.

Apa pasal mereka tak mau pulang, meski sudah dinyatakan sembuh? Harusnya kan berita kesembuhan itu mereka sambut dengan gembira dan suka cita? “Ini menarik untuk menjadi bahan kajian. Kalau perlu hasil temuan unik dalam studi kasus managemen disaster  ini bisa dipublikasikan menjadi jurnal akademik,” kelakar Kipa Jundapri, gadis lugu berdarah Jawa yang ikut mengabdikan dirinya menjadi relawan MER-C pada misi Lombok ini. Ia berharap, kepergiaannya menjadi relawan di Lombok dapat membawa keberkahan bagi kehidupannya, syukur-syukur bertemu jodohnya di sana.

Akhirnya, setelah melakukan riset mendalam dan survey kepada banyak responden dengan menggunakan metode multistage random sampling, seperti halnya pilkada, dengan margin of error di bawah tiga persen, terkuak sebuah fakta mengejutkan.

Para pasien tidak mau pulang dan memilih tetap tinggal di tenda perawatan di halaman rumah sakit karena memang rumah mereka sudah hancur. Tidak ada lagi tempat mereka tinggal dan berteduh. Mau pulang ke mana? Rumah pun tak ada. Mereka berharap mendapat bantuan tenda, namun itu belum sampai ke desa mereka.

Pasien Berpesan Tidak Mau diberi Obat Nafsu Makan

Saat tim MER-C melakukan mobile clinic ke desa-desa di kabupaten Lombok Utara,  mereka mendatangi sebuah desa yang sudah lima hari belum terjamah bantuan apapun, apalagi pelayanan kesehatan. Warga desa Salut yang berada di kaki gunung Rinjani, sekitar enam jam perjalanan dari kota Mataram itu sangat bergembira dan menyambut dengan antusias dengan kedatangan tim MER-C di desanya.

Saat tim MER-C sudah siap dengan pengobatan, masyarakat dari berbagai penjuru pengungsian pun berbondong bondong mendatangi lokasi. Satu per satu mereka mengantri untuk mendapatkan giliran berkonsultasi dengan dokter yang bertugas.

Kebanyakan dari pasien itu adalah kaum ibu. Keluhan mereka beragam. Namun ada beberapa kesamaan dari sebagian besar para ibu, yaitu mereka menderita pusing-pusing. Namun ada yang menarik dari mereka. Beberapa orang berpesan kepada dokter bahwa mereka tidak mau diberi obat nafsu makan. Ada apa?

Setelah beberapa orang mengatakan hal yang sama (tidak mau diberi obat nafsu makan) akhirnya dr Miftah, dokter muda asli suku Batak yang masih jomblo itu memberanikan diri bertanya, mengapa Ibu tidak mau diberi obat penambah nafsu makan?

Ternyata dari beberapa ibu yang ditanya tentang hal itu memiliki jawaban yang sama. Dengan ringan dan tanpa beban mereka menjawab bahwa di rumah mereka tidak ada makanan. Hal itu lantaran sudah beberapa hari tidak mendapat uang belanja dari suami mereka lantaran tidak bisa bekerja. Perusahaan, toko dan pasar tempat mereka bekerja tutup, sementara hasil pertanian belum memasuki masa panen.

Warga Terserang Penyakit Genit

Ada hal menarik saat tim MER-C melakukan pengobatan massal di dusun Keroya, desa Jenggala, Kecamatan Tanjung, Lombok Utara. Banyak warga yang terserang penyakit Genit. Mendengar hal itu, Dr Lia, relawan MER-C yang sedang memeriksa pasien tersenyum simpul sambil menerka apa maksud mereka. Bukankah genit itu sifat seseorang yang suka mencari perhatian lawan jenisnya.

Melihat hal itu, Ust, Akhmad Khusaini, relawan MER-C yang memang sudah menjadi warga Mataram sejak 13 tahun lalu mencoba menjelaskan kepada Dr. Lia bahwa maksud penyakit genit adalah gatal-gatal.

Ternyata setelah ditelusuri lebih jauh, setelah gempa terjadi, kondisi air sumur warga yang semula jernih menjadi warnanya menjadi kuning. Belum diketahui secara pasti apa kandungannya sehingga air sumur bisa berubah warna setelah gempa. Besar kemungkinan hal itu menjadi penyebab warga mengalami penyakit genit, yaitu gatal-gatal. (A/P2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Wartawan: Widi Kusnadi

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.