Dekan UIN Jakarta: Logo Baru Halal Indonesia Tidak Untuk Kepentingan Baca Tulis Tapi Estetika

Dekan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta A Tholabi Kharlie

Jakarta, MINA – Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta A Tholabi Kharlie mengatakan yang diterapkan Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) menggunakan khat kufi tidak untuk kepentingan baca tulis tapi lebih kepada .

“Logo halal yang baru menggunakan khat Kufi. Khat ini memang tidak ditujukan untuk kepentingan baca tulis, tapi lebih pada kepentingan estetika,” katanya dalam siarna tertulis yang diterima MINA, Senin (14/3).

Sertifikasi halal terhadap produk makanan, minuman, obat, kosmetik, dan ragam produk yang digunakan masyarakat kini berada dalam tanggung jawab BPJPH). Namun perubahan logo baru ini menjadi polemik di publik ditudingan menghilangkan peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sertifikasi halal di Indonesia, serta tidak menunjukkan kata halal sebagaimana logo sebelumnya.

“Oleh karena itu aspek keterbacaan atau kejelasan tulisan menjadi tidak dominan. Terlebih ini digunakan untuk logo yang juga mempertimbangkan aspek kepantasan, keserasian, dan keindahan. Sedangkan logo halal yang lama menggunakan jenis khat Naskhi. Khat yang fungsional tulis-baca,” paparnya.

Lebih lanjut Tholabi menjelaskan, dari sisi kaidah khat maupun kaidah imla’i, tidak ada yang keliru dalam penulisan logo tersebut.

“Semua huruf tertulis lengkap, ada ha’-lam-alif-lam, tentu dalam bentuk atau model khat Kufi yang tidak rigid secara kaidah khat. Meskipun tentu saja tidaklah sempurna untuk ukuran khat Kufi yang ideal”, terang Tholabi yang juga pernah memimpin Tim Penulis Alquran Mushaf Banten.

Menurut dia, respons publik terhadap logo halal yang baru menjadi tantangan sekaligus kesempatan bagi BPJPH untuk semakin masif menyosialisasikan kepada masyarakat secara luas.

“Reaksi publik ini harus ditangkap positif oleh BPJPH dan pemangku kepentingan untuk semakin gencar menjelaskan kepada publik soal logo halal yang baru ini,” saran Tholabi.

Lebih dari itu, Tholabi menyebutkan perpindahan kewenangan sertifikasi halal dari MUI ke BPJPH menjadi titik baru dalam menciptakan ekosistem halal di Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia.

“Perpindahan sertifkasi halal dari MUI ke negara melalui BPJPH ini justru menjadi milestone bagi ekosistem industri halal di Indonesia. Secara teori dan praksis, industri halal akan semakin terkonsolidasi dengan baik yang ujungnya masyarakat dan pelaku industri semakin baik,” sebut Tholabi.

Adapun peran MUI, Tholabi yang juga anggota Komisi Fatwa MUI Pusat ini menyebutkan peran MUI tetap dipertahankan dalam urusan penetapan kehalalan sebuah produk.

“Salah besar jika membuat narasi bahwa MUI tidak lagi berperan dalam sertifikasi halal. Dalam Pasal 10 UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disebutkan BPJPH dan MUI melakukan kerjasama dalam penetapan kehalalan produk,” cetus Tholabi.

Lebih lanjut Tholabi menyebutkan dalam Pasal 33 UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ditegaskan tentang penetapan kehalalan produk dilakukan oleh MUI melalui sidang Fatwa Halal dengan paling lama selama 3 (tiga) hari kerja.

“Ini saya kira kemajuan luar biasa, fatwa halal MUI dibunyikan dalam sebuah hukum negara yang mengikat semuanya,” tegas pengajar Hukum Tata Negar ini.

Ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) se-Indonesia ini optimistis keberadaan BPJPH yang berpijak pada UU 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang disahkan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta UU No 10 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja akan mendorong industri halal akan besar di Indonesia.

“Saya sangat optimis, ekosistem industri halal di Indonesia akan mengalami peningkatan yang signifikan. Mari seluruh pihak mengawal pelaksanaan aturan ini agar berjalan dengan baik,” tambahnya. (R/R5/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.