Diaspora Pemuda Indonesia di Turki Gelar Webinar Tradisi Ramadhan Era Ottoman

Ankara, MINA – Caraka Muda Nusantara, komunitas Indonesia di menggelar Webinar Ramazan Forum dengan tema “Tradisi di Turki” pada Sabtu (17/4).

Webinar tersebut menghadirkan M. Akbar Angkasa, Mahasiswa S2 Sosiologi, Ibn Haldun University, dan M. Riza Muarrif, Mahasiswa S3 Tafsir Al-Qur’an, Ankara University, sebagai narasumber dan Maulana In Amul Aofa, Mahasiswa Ilahiyat, Ankara University sebagai moderator.

“Ada dua tema yang akan diangkat, pertama adalah mengenal tradisi Ramadhan di era Ottoman, kedua mengenal keragaman mazhab dan tradisi ramadhan di era Turki modern. Bagaimana sebenarnya tradisi ramadhan di Turki, apa keistimewaannya dibandingkan dengan negara lain?” pantik Maulana mengawali diskusi kali ini.

Menanggapi pertanyaan tersebut Akbar Angkasa menyebutkan, Turki Ottoman menerjemahkan nilai keislaman dengan nilai kebudayaan yang mereka miliki. Dalam tradisi ramadhan terdapat dua bentuk yaitu tradisi kerajaan dan tradisi masyarakat.

“Salah satunya adalah Huzur Dersleri yaitu kajian tafsir untuk para sultan yang mengkaji kitab tafsir Elbedevi yang berfokus pada aspek kebahasaan dan logika,” kata Akbar.

Selain itu, lanjut dia, terdapat budaya Hirkai Şerif Ziyareti yaitu mengunjungi jubah Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam di Istana Topkapı pada hari ke-15 Ramadhan.

“Diriwayatkan dinasti Ottoman mendapatkan relik suci ini setelah menaklukkan Mesir dan mendapatkan titel kekhalifahan. Yavuz Sultan Selim mengambil jubah suci tersebut untuk dijaga di ibukota Istanbul,” ungkap Founder Bale Institute tersebut.

Terkait tradisi Ramadhan di masyarakat Ottoman, Akbar menyatakan, adanya budaya membangunkan warga untuk bangun sahur dengan davul (drum) oleh para relawan. Mereka kemudian membacakan syair khusus terkait doa-doa di bulan Ramadhan.

“Selain itu masyarakat Ottoman memiliki budaya coffee time selepas puasa yaitu semai dan çalgılı. Semai adalah minum kopi disertai dengan story telling sedangkan çalgılı memainkan alat musik yang bertempat di kahvehane atau warung kopi,” ujarnya.

Sementara itu, Riza Muarrif menjelaskan latar belakang mazhab keagamaan di Turki. “Turki secara kenegaraan menganut mazhab Hanafi, begitu juga dalam ritual ibadah seperti shalat, puasa dan zakat umumnya masyarakat Turki mengikuti mazhab Hanafiyah. Walaupun saat ini terdapat sedikit perbedaan di Turki dengan negara lain disebabkan adanya transisi dari masa Ottoman ke masa Republik hingga saat ini,” jelasnya.

Riza kemudian menjelaskan wilayah perkembangan mazhab Hanafiyah. “Negara-negara yang menganut mazhab Hanafiyah seperti Turki, Iraq, Pakistan, India, Tunisia, Turkmenistan, Uzbekistan, Suriah, Mesir dan Lebanon. Ulama Islam terkenal yang mengikuti mazhab Hanafiyah adalah Abu Yusuf, Asy-Syaibani, Abu Mansur Al-Maturidi, Jalaludin Rumi dan Bahauddin Naqsyaban. Sedangkan tokoh ulama Turki yang terkenal di Turki, Said Nursi adalah penganut mazhab Syafi’iyah,” kata Wakil Ketua PCI Muhammadiyah Turki tersebut.

“Tarawih di Turki umumnya dua puluh rakaat. Awal mula puasanya juga menganut mazhab Hanafiyah. Untuk zakat terdapat budaya Sadaka Tasi yaitu kotak amal yang tersedia di halaman setiap masjid. Uniknya metode ini membuat pemberi dan penerima sedekah tidak mengetahui satu sama lain,” ujarnya.

Webinar Ramazan Forum dihadiri secara online oleh puluhan diaspora dan pelajar di Indonesia, Turki dan Mesir. Agenda ini juga didukung oleh berbagai organisasi diaspora seperti PPI Ankara, Radio PPI Turki, KAMMI Turki, Bale Institute, Seputar Kampus dan Indonesia Youth Foundation. (R/R1/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.