Dinamika Hidup Berjamaah di Akhir Zaman (Oleh: Uray Helwan)

Oleh : , Katib Jamaah Muslimin (Hizbullah) Wilayah

Dinamika hidup . Era, ketika kabar futuristic (nubuwwat) hampir semua terjadi. Baik yang berasal dari Al Quran maupun hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Satu diantaranya mengenai sejarah umat Islam yang berliku. Silih berganti kondisi yang dialami, baik maupun buruk, atau fase demi fase kepemimpinan yang dilakoni, terurai gamblang dalam sebuah Hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu anhu.

Hudzaifah ibnul Yaman berkata: “Adalah orang-orang (para sahabat) bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan dan adalah saya bertanya kepadanya tentang kejahatan, khawatir kejahatan itu menimpa diriku, maka saya bertanya: “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu berada di dalam kebodohan (Jahiliyah) dan kejahatan (syarr), maka Allah mendatangkan kepada kami dengan kebaikan ini (Islam). Apakah sesudah kebaikan ini timbul kejahatan? Rasulullah menjawab: “Benar!” Saya bertanya: Apakah sesudah kejahatan itu datang kebaikan? Rasulullah menjawab: “Benar, tetapi di dalamnya ada kekeruhan (dakhon).” Saya bertanya: “Apakah kekeruhannya itu?” Rasulullah menjawab: “Yaitu orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku. (dalam riwayat Muslim) “Kaum yang berperilaku bukan dari Sunnahku dan orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau ketahui dari mereka itu dan engkau ingkari.” Aku bertanya: “Apakah sesudah kebaikan itu akan ada lagi keburukan?” Rasulullah menjawab: “Ya, yaitu adanya penyeru-penyeru yang mengajak di atas pintu-pintu Jahannam. Barangsiapa mengikuti ajakan mereka, maka mereka melemparkannya ke dalam Jahannam itu.” Aku bertanya: “Ya Rasulullah, tunjukkanlah sifat-sifat mereka itu kepada kami.” Rasululah menjawab: “Mereka itu dari kulit-kulit kita dan berbicara menurut lidah-lidah (bahasa) kita.” Aku bertanya: “Apakah yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menjumpai keadaan yang demikian?” Rasulullah bersabda: “Tetaplah engkau pada Jama’ah Muslimin dan Imaam mereka !” Aku bertanya: “Jika tidak ada bagi mereka Jama’ah dan Imaam?” Rasulullah bersabda: “Hendaklah engkau keluar menjauhi firqoh-firqoh itu semuanya, walaupun engkau sampai menggigit akar kayu hingga kematian menjumpaimu, engkau tetap demikian.” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari dalam Kitabul Fitan: IX/65, Muslim, Shahih Muslim: II/134-135 dan Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah:II/475. Dari Sahabat Hudzaifah ibnul Yaman. Lafadz Al-Bukhari).

Hadits ini merupakan Nubuwwah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, melalui Hudzaifah ibnul Yaman Radhiyallahu ‘anhu terungkap mengenai fitnah di masa akan datang. Beliau mengetahui, sebagaimana keistimewaan para Nabi yang mendapat wahyu dari Allah Subhanahu wata’ala mengenai perkara-perkara yang ghaib.

Karena ini merupakan Nubuwwah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, maka berarti ia terkait tentang masa, yang kemudian menjadi rentang sejarah perjalanan kaum Muslimin. Atas dasar inilah penulis kemudian merangkumnya kedalam lima urutan rentang masa.

Kata-kata yang terlontar dari sahabat Hudzaifah ibnul Yaman sebenarnya sederhana, yakni: Jahiliyyah wa syarr, syarr dan khoir. Kemudian ditambah tiga pertanyaan: Fama ta’muruni in adrakanii dzalika, shifhum lana dan fa in lam yakun lahum jama’atan wala imamun.

Kalimat-kalimat tersebut dibenarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, karena beliau tidak membantah apa yang diucapkan oleh Hudzaifah ibnul Yaman, bahkan beliau menambahkan dengan beberapa penjelasan.

Dengan demikian benarlah urutan-urutan yang sedang, telah dan akan terjadi tersebut. Satu demi satu dilalui oleh kaum Muslimin, baik maupun buruk. Urutan-urutan tersebut adalah: jahiliyyah wa syarr, khoir, syarr, khoir wa fiihi dakhon dan syarr du’atun ‘ala abwabi jahannam.

1. Jahiliyyah wa Syarr

Hudzaifah ibnul Yaman membuka dialognya dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, menyampaikan keadaan yang dialami ummat sebelum Islam hadir, yakni dalam kondisi Jahiliyyah wa Syarr (kebodohan dan kejahatan).
Perkataan yang beliau sampaikan adalah: (Aku berkata, “Wahai Rasulullah sesungguhnya adalah kami (dahulu) dalam keadaan kebodohan dan kejahatan…”).

Menurut Ibnu Hajar Al Asqolani kebodohan dan kejahatan merujuk pada apa yang terjadi sebelum Islam, mengenai kekufuran, pembunuhan dan perampasan / perampokan satu sama lain, serta saling memerintahkan terhadap berbagai perbuatan keji.

Begitulah kondisi Arab sebelum Islam hadir, mereka dikenal sebagai kaum paganisme. Mereka menjadikan berhala-berhala sebagai perantara untuk menyembah Allah.
Bahkan ketika Rasulullah dan para sahabat membebaskan kota Makkah beliau menemukan 360 buah patung. Beliau kemudian menghancurkannya dan memerintahkan kaum Muslimin untuk membakarnya.

Beberapa kejahiliyahan bangsa Arab sebelum kedatangan Islam antara lain: Azlaam (mengundi nasib dengan anak panah), berdoa kepada berhala dan meyakini ia (berhala tersebut) dapat memberikan syafaat, melakukan ibadah haji dan thawaf disekitar berhala, berkurban dan memberikan sesaji kepada berhala dan lain-lain.

Sedangkan kejahatan (syarr) mereka tergambar pada perlakuan terhadap wanita. Seperti pada pernikahan istibdha’. Yakni menyerahkan istri kepada orang lain yang dianggap memiliki kelebihan untuk memperoleh keurunan. Selain itu beberapa orang laki-laki (tidak lebih dari 10 orang) menggauli satu orang perempuan. Jika wanita tersebut hamil kemudian melahirkan maka ia berhak untuk memanggil semua laki-laki yang menggaulinya dan menunjuk salah seorang di antara mereka untuk menjadi bapaknya. Masyarakat Arab kala itu memandang zinah bukanlah suatu aib. Tidak heran praktik perzinahan menyebar rata di kalangan masyarakat Arab pra Islam.

Masih banyak lagi keburukan perilaku lainnya, seperti Meminum khamar, perjudian, penyiksaan terhadap tawanan dan binatang, pertikain hingga peperangan, serta lakon sadis dan kejam lainnya.

Gambaran inilah yang dapat dipahami dari apa yang disampaikan oleh Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu anhu sebagai kalimat pembuka penuturan beliau kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

2. Khoir

Setelah kondisi kebodohan dan kejahatan (jahiliyyah wa syarr) yang terjadi sebelum Islam, kemudian Allah mendatangkan kebaikan. Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu ‘anhu menyebutnya dengan kalimat: “maka Allah mendatangkan kepada kami dengan kebaikan (khoir) ini”. Alkhoir pada kalimat tersebut yakni iman, keamanan dan kebaikan dalam segala hal serta terhindarnya dari berbagai kekejian. Demikian yang dijelaskan dalam Fathul Bari dan Umdatul Qari.

Ini adalah pengungkapan rasa syukur. Lantaran kebaikan yang Allah karuniakan dengan diturunkannya Al Quran dan diutusnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka keburukan dan kehinaan yang menyelimuti manusia-manusia Arab, berganti keindahan dan kemulian.

Keimanan menghunjam dalam dada kaum Muslimin. Menjadi cahaya hidayah menghapus jejak kekufuran dan kesyirikan. Seketika akhlak berganti dari keburukan, kejahatan dan kekejian menjadi kemuliaan. Benci dan dendam terhadap pribadi Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan syariat yang Beliau bawa, berubah menjadi cinta dan loyalitas. Antar satu sama lain terjalin dalam ikatan ukhuwah.

Jika ada istilah revolusi mental dan akhlak, itulah wujud hakikinya. Perubahan itu tidak membutuhkan waktu lama, sekali lagi kami katakan, seketika terjadi. Mengapa bisa demikian? Karena Allah telah mencelupnya. Itulah Islam, celupan Allah.

Islam benar-benar mengubah peradaban Arab, bahkan dunia pada umumnya. Identitas kejahatan dan kekejian pada masyarakat Arab yang melekat selama berabad-abad hilang digantikan dengan kebaikan dan kemuliaan yang menjadi sumber inspirasi umat manusia yang berlangsung hingga akhir zaman.

Tidak hanya mulia namun juga kuat dan tidak terkalahkan. Masyarakat dunia kala itu, menaruh hormat, segan, takut dan belajar banyak terhadap umat Islam. Dengan kemuliaan inilah Islam tersebar dan berkembang ke seluruh dunia.

Tidak ada kata yang cukup untuk menggambarkan keindahan kaum Muslimin masa Al Khoir kala itu, namun layaklah apa yang Allah sebutkan dalam Al Quran sebagai Kuntum Khoiro Ummah (kamu adalah umat terbaik), dan identitas yang dilekatkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sebagai sebaik-baik Kurun (Khoiru Ummati Qorni).

Lantas masa manakah yang pantas disebut sebagai rentang masa kebaikan (khoir) itu?.

Untuk menjawab pertanyaan ini kami ketengahkan sebuah hadits berikut ini:

”Adalah masa Kenabian itu ada di tengah tengah kamu sekalian, adanya atas kehendaki Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya (menghentikannya) apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit (Mulkan ‘Adldlon), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah).” Kemudian beliau (Nabi) diam.” (HR.Ahmad dari Nu’man bin Basyir, Musnad Ahmad:IV/273, Al-Baihaqi, Misykatul Mashobih hal 461. Lafadz Ahmad).

Dua fase yang mengawali sejarah umat Islam, sebagaimana hadits di atas, yakni fase Kenabian dan Khilafah yang berada di atas jalan Kenabian, dilegitimasi kebenarannya oleh Rasululullah Shallahu ‘alaihi wasallam. Kaum Muslimin diperintahkan beliau untuk mengambil sunnahnya dan berpegang erat terhadapnya.

Legitimasi Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam tersebut sebagaimana wasiyat yang beliau sampaikan:

“…hendaklah kamu berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin almahdiyyin (para kholifah yang mendapat petunjuk yang benar). Hendaklah kamu pegang teguh dengannya dan gigitlah dengan gigi gerahammu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At Tarmizi).

Khulafaurrasyidin al Mahdiyyin atau Khilafah ‘ala minhaajin nubuwwah adalah masa empat kholifah, dari Abu Bakar Ashshiddiq hingga Ali bin Abi Thalib.

Apakah fase tersebut terbebas dari fitnah? Ternyata tidak. Fitnah telah mulai menjalar dalam tubuh kaum Muslimin sejak wafatnya Kholifah Umar ibnul Khoththob. Umar menjadi sosok yang membatasi antara kesolidan kaum muslimin dengan situasi fitnah yang beruntun mendera.

Dengan demikian masa Kebaikan merujuk pada rentang waktu sejak dibi’tsahnya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam hingga wafatnya kholifah ‘Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu. Yakni masa yang terbentang selama kurang lebih 48 tahun, dengan perincian: 23 tahun masa Kenabian, Kholifah Abu Bakar 3 tahun, Umar 10 tahun dan Utsman rodhiyallahu ‘anhum 12 tahun. Wallahu a’lam.

3. Syarr

Masa berikutnya adalah Syarr (kejahatan). Lanjutan dialog Hudzaifah ibnul Yaman dengan Rasululullah dalam hadits di atas, terkait pertanyaan pertamanya kepada beliau Shallallahu alaihi wasallam, “Apakah sesudah kebaikan (alkhoir) ini timbul kejahatan (Syarr)? Rasulullah menjawab: “Benar!”.

Syarr (kejahatan) adalah fitnah, demikian dalam riwayat Nashr bin Ashim yang dikutip Fathul Bari. Masih menurut Fathul Bari, syarr yang dimaksud dalam perkataan Hudzaifah ibnul Yaman ini adalah fitnah yang terjadi setelah tragedi pembunuhan Utsman ibnu ‘Affan Radhiyallahu anhu, yang kemudian berkelanjutan, atau azab di akhirat nanti sebagai konsekuensi terhadap dosa yang dilakukan.

Kita yang hidup diakhir zaman, pada dasarnya dikaruniai Allah berupa kepahaman untuk mengaitkannya dengan hadits ini, karena sejarah telah lengkap ditulis dan para ulama pun telah menjelaskannya. Satu diantaranya sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani seperti yang diterangkan sebelumnya.

Jika kita rinci fitnah -Syarr- yang terjadi sejak masa akhir kekholifahan Utsman ibn Affan dapat disebutkan sebagai berikut: Pemberontakan terhadap Kholifah Utsman hingga syahidnya beliau, Tragedi perang saudara (perang Jamal dan Shiffin), kejahatan kelompok Khawarij, lahirnya Syiah, Syahidnya Kholifah Aly ibn Abi Thalib, dan terangkatnya Sistem Khilafah a’la minhaajin Nubuwwah kemudian berubah menjadi sistem Mulkan.

Tragis, sebuah fase sejarah yang terbentang hanya kurang lebih 5 tahun – terhitung dari wafatnya ‘Utsman, kemudian ‘Ali bin Abi Thalib menjadi kholifah hingga syahidnya beliau rodhiyallahu ‘anhuma- akan tetapi sarat dengan tragedi yang berlika-liku, menjadi catatan kelam dalam sejarah umat Islam. (A/Ast/P2)

Insya Allah bersambung.

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.