DPR OPTIMIS RUU JAMINAN PRODUK HALAL SELESAI MASA SIDANG INI

Wakil Ketua VIII DPR RI, Ledia Hanifa. (Foto: Suyanto/mirajnews.com)
Wakil Ketua VIII DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah. (Foto: Suyanto/mirajnews.com)

Jakarta, 30 Syawwal 1435/26 Agustus 2014 (MINA) – Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang tentang Jaminan   ( JPH), Ledia Hanifa Amaliah optimis RUU JPH dapat segera selesai pada akhir masa persidangan DPR periode 2009-2014, 30 September mendatang.

Ledia mengatakan tinggal satu pembahasan yang sedang dilakukan yakni mekanisme sifat dan sertifikasi halal untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) belum diputuskan dalam RUU JPH seputar keharusan sertifikasi, pembiayaan dan mekanisme pendaftaran.

“Yang lain sudah selesai tinggal satu lagi pembahasan, apakah UMKM ini akan diwajibkan,” kata Ledia usai rapat tertutup RUU JPH di Gedung DPR, Selasa.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR itu mengatakan, DPR menargetkan 11 september mendatang sudah diparipurnakan atau diundangkan dan hal itu sudah disepakati oleh semua pihak. Dia menuturkan, yang belum sepakat apakah undang-undang ini akan diberlakukan tiga tahun atau lima tahun setelah itu.

DPR RI bersama Pemerintah masih membahas RUU JPH untuk memberikan payung hukum dan jaminan ketenangan pada warga negara Indonesia yang memeluk agama Islam.

Termasuk mendapatkan jaminan keamanan soal makanan dan minuman terkait kehalalan dan keharamannya.

Ledia menjelaskan dalam draft RUU JPH, DPR menginginkan sertifikasi halal wajib dilakukan semua kelompok usaha mulai usaha mikro hingga usaha besar.

Sementara untuk UMKM sertifikasinya dibiayai oleh negara. Namun dalam perkembangannya hal ini berubah.

Terdapat sekitar 3,3 juta UMKM, namun ada usaha yang lebih kecil lagi yang belum terdaftar, sehingga

DPR juga menyepakati usaha besar dan menengah wajib mendapatkan sertifikasi halal. Sementara pada UMKM masih dilakukan pencarian formulasi untuk melindungi semua pihak.

“Untuk usaha kecil dan mikro sedang dipikirkan formulasinya dalam tahap pembahasan ini. Kami hanya ingin adanya kejelasan untuk konsumen, bukan menyusahkan dunia usaha,” jelasnya.

Yang diwajibkan adalah pemerintah yang memberikan sosialisai dan edukasi kepada sehingga para usaha mempunyai keinginan. Pemerintah juga harus proaktif

Terkait siapa yang berhak mengeluarkan sertifikat halal, Ledia menjelaskan hal tersebut berhubungan dengan mekanisme yang sudah diatur dalam RUU JPH, administrator adalah badan di bawah Kementerian Agama, sementara lembaga pemeriksanya terdiri dari sejumlah lembaga pemeriksa halal, termasuk di dalamnya Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).

Namun, semua auditor harus diakreditasi oleh MUI, karena standar yang selama ini sudah diberlakukan di Indonesia dan diakui internasional adalah MUI.

Setelah pemeriksaan, hasilnya harus dilaporkan kepada Komisi Fatwa MUI dan sertifikasi halal tidak akan keluar kalau tidak ada keputusan dari Komisi Fatwa MUI.

Hasil keputusan Komisi Fatwa MUI disebut sebagai Penetapan Halal dengan fatwa tertulis. Setelah itu baru dapat dikeluarkan sertifikatnya oleh badan (pemerintah). “Jadi Penetapan Halal atau fatwa tertulis MUI adalah bagian tak terpisahkan dari sertifikat. Sertifikat itu sebagai bagian adminstratifnya ,” ujar Ledia.

Hal itu adalah upaya untuk antisipasi jika ada perjanjian antar negara, G to G, harus memberikan kepastian kepada pihak yang membuat MoU dengan kita bahwan secara kenegaraan dan keagamaan sudah selesai.

Dalam pembahasan RUU JPH ini juga disepakati bahwa Pemerintah hanya punya tugas melakukan pengawasan dan tidak boleh melakukan proses pemeriksaan untuk mendapat sertifikat.(L/P009/R05)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Rana Setiawan

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0