DPR RI Berhasil Desak Perkumpulan Parlemen se-ASEAN Angkat Isu Rohingya

Jakarta, MINA – Delegasi DPR RI berhasil mendesak Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) atau Perkumpulan Parlemen se-ASEAN untuk membicarakan isu masuk dalam agenda pembicaraan penting Committee on Political Matters.

“Kalau pembicaraan soal Rohingya tidak dibicarakan, maka kita tidak setuju dengan agenda-agenda politik yang diusulkan oleh negara-negara ASEAN. Political matters lebih baik dihapuskan saja,” kata Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon yang memimpin delegasi sekaligus menjadi juru bicara DPR RI dalam Pertemuan Komite Eksekutif di Singapura, Senin (3/9) malam, demikian laporan Parlementaria.

Pertemuan Sidang Umum AIPA ke-39 diawali dengan Pertemuan Eksekutif untuk menyusun agenda pembicaraan pada masing-masing komite. Ada sembilan komite yang secara terpisah membicarakan isu di bidangnya masing-masing. Kesembilan komite itu adalah komite politik, komite ekonomi, komite sosial, komite organisasi, dan committee on joint communique.

Sepuluh delegasi parlemen ASEAN hadir dalam pertemuan tersebut. Dalam Pertemuan Eksekutif, Fadli didampingi Anggota DPR RI Amelia Anggraini dan Kartika Yudhisti.

Sempat terjadi perdebatan panjang mengenai isu sensitif Rohingya, terutama menyangkut istilah “krisis kemanusiaan”. Delegasi Parlemen Myanmar tak setuju dengan istilah itu. Hanya DPR RI yang mengusulkan adanya pembicaraan krisis kemanusiaan. Delegasi Myanmar selalu memveto isu itu. Sementara sistem pengambilan keputusan di AIPA harus melalui konsensus.

Setelah melakukan kompromi, akhirnya disepakati isu Rohingya masuk agenda pembicaraan komite politik dengan istilah “situasi kemanusiaan” (humanitarian situation), bukan krisis kemanusiaan (humanitarian crisis).

Menurut Fadli, ini sudah langkah maju dalam pertemuan AIPA, meskipun sebenarnya DPR RI merujuk pada laporan PBB dan keputusan IPU di Saint Petersberg yang menyatakan ada krisis kemanusiaan di Mynmar.

“Bahkan, ada kata genosida dan pembasmian etnis dalam laporan PBB. Lebih dari satu juta pengungsi berada di perbatasan dengan Bangladesh. Saya sendiri pada Desember 2017 datang langsung ke kamp-kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh. Saya melihat langsung bagaimana penderitaan mereka yang luar biasa. Lebih dari satu juta orang tak punya rumah, banyak yang meninggal, perempuan diperkosa, dan rumah-rumah mereka dibakar,” ungkap Fadli usai pertemuan.

Meskipun istilah situasi kemanusiaan terlihat netral, lanjut Fadli, namun tetap jadi capaian kemajuan dalam pertemuan AIPA kali ini yang bisa memasukkan draf resolusi soal isu Rohingya.

“Ini kali pertama delegasi Myanmar berdebat dengan kami. Akhirnya, istilah situasi kemanusiaan itulah yang disepakati,” imbuh politisi Partai Gerindra itu.(R/R01/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.