Dr Amra Bone, Hakim Wanita Syariah Pertama di Inggris

Dia adalah sosok tunggal di dunia dalam profesi yang didominasi oleh pria, tetapi hakim wanita syariah ini merupakan wanita pertama di Inggris yang tidak gentar dengan tugas berat di depannya.

Dr yakin dengan jalannya yang penuh petualangan akan mengilhami perempuan lain untuk mengikutinya.

Mantan kepala sekolah dan kapelan universitas ini duduk di panel hakim di Dewan Syariah di Masjid Pusat Birmingham, salah satu masjid yang terbesar di Eropa.

Tugasnya untuk memutuskan tentang perceraian dalam Islam, sebuah peran yang secara tradisional diperuntukkan bagi para tetua berjanggut yang telah menghabiskan hidup mereka untuk mempelajari Al-Quran.

Bukan berarti Dr Bone kurang berkualitas daripada rekan prianya. Wanita berusia 45 tahun itu diundang untuk bergabung dengan panel hakim karena keahliannya yang tak tertandingi dalam bidang yurisprudensi Islam yang kompleks.

“Spesialisasi saya termasuk eksegesis dan etika Al-Quran dengan penekanan pada syariah dan gender,” kata Dr Bone, yang lulus dari Universitas Birmingham, tempat dia juga menyelesaikan gelar MA dan PhD-nya.

Amra Bone bersama hakim syariah pria menangani berbagai kasus perceraian Muslim di Inggris. (Foto: Channel 4/Extremely British Muslims)

Ia lahir di Birmingham, bersekolah dan kuliah di kota itu.

Dalam perjalanan hidupnya, ia selalu terlibat dalam komunitas lokal dan ia menghabiskan lima tahun sebagai pemimpin di klub remaja putri, terutama bekerja bersama gadis-gadis Muslim.

“Itu membuat saya mulai dalam memperjuangkan hak-hak wanita dalam komunitas saya dan akhirnya menuntun saya untuk ditunjuk sebagai hakim Syariah pada 13 tahun yang lalu,” katanya.

Dengan cepat ia menjadi salah satu hakim Syariah yang paling dihormati di negara itu.

 

Hingga saat ini, ia masih satu-satunya hakim wanita Pengadilan Syariah di Inggris. Namun ia berharap, akan ada hakim wanita syariah lainnya nanti.

“Saya umumnya memiliki reaksi yang baik dari dalam komunitas Muslim yang lebih luas dan saya dapat berbagi banyak pengalaman positif dengan wanita yang mungkin ingin mengikuti jalan saya,” katanya.

Pengadilan Arbitrase Muslim yang juga dikenal sebagai Pengadilan Syariah, telah ada di Inggris sejak tahun 1996, ketika Undang-undang Arbitrase mulai memungkinkan berbagai hukum agama yang berbeda diterapkan dalam kasus-kasus seperti perceraian.

Berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah, syariah mencakup segala sesuatu, mulai dari diet dan kebersihan hingga masalah-masalah yang lebih besar, seperti kejahatan dan hubungan.

Diperkirakan ada sebanyak 85 pengadilan syariah di Inggris yang terutama mengeluarkan putusan dalam kasus perceraian, ketika pasangan Muslim hanya memiliki pernikahan secara Islam tanpa upacara sipil yang terdaftar secara hukum di negara itu.

Meskipun diizinkan oleh Undang-undang Arbitrase, putusan pengadilan syariah tidak diakui oleh sistem hukum Inggris. Tetapi penilaian para ulama membawa bobot moral dan budaya yang diperlukan untuk mengabulkan perceraian di hadapan Tuhan, menurut hukum syariah.

Seperti hal yang dihadapai oleh Ayesha Khan, seorang ibu 42 tahun dari Birmingham yang dikabulkan perceraiannya oleh Pengadilan Syariah di Birmingham.

“Jika saya pergi ke pengadilan Inggris, mantan suami saya dan keluarga yang lebih luas tidak akan menerima keputusannya, karena kami tidak memiliki upacara sipil Inggris,” katanya.

“Tetapi tidak seorang pun di komunitas saya dapat mengatakan apa pun jika keputusan telah diambil oleh Pengadilan Syariah, karena itu adalah otoritas tertinggi kami,” tambahnya.

Dr Bone sangat yakin bahwa Pengadilan Syariah dapat memberdayakan wanita Muslim dan memberikan layanan penting.

“Jika mereka belum memiliki pernikahan yang terdaftar dan hanya yang Islami, maka mereka tidak mendapat ganti rugi jika ada yang salah selain dari Pengadilan Syariah. Apa yang harus mereka lakukan?” katanya.

Di pengadilan Syariah Inggris, 90% dari para pemohon adalah perempuan dan hampir semua kasus melibatkan perceraian.

Menurut Kementerian Dalam Negeri Inggris, ada sekitar 100.000 pasangan Muslim Inggris yang tidak menikah secara sah, karena mereka hanya menjalani pernikahan Islam atau tanpa mendaftarkan perkawinan mereka secara sipil. (AT/RI-1/RS3)

 

Sumber: Huffington Post

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Bahron Ansori

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.