Jakarta, MINA – Dubes Sudan untuk Indonesia, Dr. Yassir Mohamed Ali Mohamed, mengatakan akan bertemu dengan Menteri Kesehatan RI membahas situasi kesehatan di negaranya.
Ia meminta komunitas internasional memberikan perhatian pada situasi kemanusiaan di Sudan yang makin memburuk, sejak lebih dari dua pekan terjadi perang di negara itu.
Dia menyampaikan, konflik yang terjadi telah mengubah krisis kemanusiaan di Sudan menjadi bencana dahsyat, khususnya pada krisis bidang kesehatan, seperti lumpuhnya rumah sakit, distribusi makanan, juga pasokan medis yang semakin menipis.
“Kami sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan yang mendesak, terutama bagi mereka yang terluka dan pasien di rumah sakit,” tegas Dubes Yassir saat temu media di Kediaman Resmi Duta Besar Sudan di Jakarta, Rabu (3/5).
Baca Juga: BRIN Kukuhkan Empat Profesor Riset Baru
Dia menjelaskan, sebanyak 69 persen dari total rumah sakit di Sudan telah berhenti beroperasi, akibat pasokan air, listrik dan fasilitas-fasilitas medis lainnya lumpuh.
Dubes Sudan juga menyatakan, dia sedang mengatur agenda pertemuan dengan Menteri Kesehatan Republkk Indonesia, dalam membahas situasi krisis kesehatan yang terjadi di Sudan.
“Insya Allah, saya berharap dapat segera bertemu dengannya dan kami akan berusaha mencari dukungan dari saudara-saudara kami dan negara-negara sahabat lainnya,”” ujarnya.
Dia menambahkan, sejauh ini hanya negara-negara tetangga di Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Mesir yang secara berkala memasok bantuan kemanusiaan ke negaranya.
Baca Juga: Jateng Raih Dua Penghargaan Nasional, Bukti Komitmen di Bidang Kesehatan dan Keamanan Pangan
“Oman dan Arab Saudi telah mengirimkan [bantuan], menurut saya, Arab Saudi dan UEA [Uni Emirat Arab] juga berjanji untuk memberikan USD 50 juta sebagai dukungan,” tutur Dubes Yassir.
Kementerian Kesehatan Sudan mengumukan, sedikitnya 528 orang tewas dan lebih dari 4.500 terluka akibat pertempuran sejak 15 April. Selain itu, banyak juga warga Khartoum yang mencari perlindungan ke negara lain, dan ribuan warga asing, termasuk dari Indonesia, telah dievakuasi.
Konflik bersenjata itu melibatkan dua jenderal yang bermusuhan: panglima militer Abdel Fattah al-Burhan dan komandan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) Mohammed Hamdan “Hemedti” Dagalo.
Perselisihan kedua pihak terjadi dalam beberapa bulan terakhir mengenai penyatuan RSF ke dalam militer, syarat utama tercapainya perjanjian dengan kelompok-kelompok politik tentang transisi di Sudan.
Baca Juga: Pakar Timteng: Mayoritas Rakyat Suriah Menginginkan Perubahan
Negara itu tidak memiliki pemerintahan sejak Oktober 2021 ketika militer membubarkan pemerintahan transisi Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan menyatakan keadaan darurat.
Tindakan pihak militer itu dianggap “kudeta” oleh kekuatan-kekuatan politik di Sudan.
Masa transisi Sudan, yang dimulai pada Agustus 2019 setelah Presiden Omar al-Bashir digulingkan, dijadwalkan akan berakhir dengan pemilu pada awal 2024.(L/R1/P1)
Baca Juga: Festival Harmoni Istiqlal, Menag: Masjid Bisa Jadi Tempat Perkawinan Budaya dan Agama
Mi’raj News Agency (MINA)