Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Tinju kecil melesat ke arah tenggorokan, lutut merangsek dari bawah gaun sampai ke tingkat pangkal paha, dan dua jari membidik mata temannya seraya berteriak “Jangan!”. Itulah bagian gerakan yang melatih anak-anak perempuan di SD Makankhula, Malawi.
“Kami menggunakan lutut untuk memukul pangkal paha penyerang, untuk menghentikan dia, dan kemudian kami lari,” jelas Alinafe Kambalane, pengajar bela diri untuk perempuan di 46 sekolah di seluruh distrik Dedza, Malawi. “Mereka harus berteriak ‘Jangan!’ dan mereka harus melarikan diri.”
Agak aneh ketika menonton wajah malu-malu para gadis kecil yang berlatih tersenyum malu-malu, lalu wajahnya mengeras menjadi cemberut atau meringis dengan mata ditajamkan atau mendelik, karena mereka membayangkan sedang diserang oleh seseorang.
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Di sepotong kecil negeri di Afrika Selatan itu, para pekerja perlindungan anak merasa jengkel dengan gambaran pemerkosaan anak di bawah umur yang seolah menjadi hal biasa atau membudaya.
Berdayakan anak lawan pelecehan seksual
Dalam satu tahun dengan 50 orang pelatih, badan amal kecil asal Kenya bernama Ujamaa telah melatih hampir 25.000 anak Malawi untuk melawan pelecehan seksual yang biasanya dilakukan oleh orang yang mereka paling percaya atau orang yang sangat mereka kenal.
“Kebanyakan gadis diperkosa atau diserang secara seksual oleh orang-orang yang mereka kenal,” kata Martin Ndirangu, orang yang menjalankan proyek Ujamaa di Malawi. “Pacar atau teman, anggota keluarga dan guru menjadi salah satu pelaku terbanyak.”
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Program Ujamaa dijalankan selama enam minggu dengan masa latihan dua jam dalam seminggu, meliputi kesadaran diri, reaksi diri dan keterampilan pertahanan.
Rabaan yang tidak diinginkan dan tindakan pemaksaan seksual merupakan penyalahgunaan yang terjadi kepada banyak anak perempuan.
Fazani Alikangel, 14 tahun, mengatakan bahwa ia mendapat pelecehan dari seorang pria yang sudah menikah dua tahun lalu ketika ia pergi ke sekolah yang membuatnya trauma. Anak laki-laki juga meraba-raba tubuhnya di sekolah, dia tidak tahu bagaimana caranya untuk menghentikan mereka.
Tiyamike Thole, 17 tahun, mengaku serangan seksual terhadapnya berakhir berkat apa yang telah ia pelajari di Ujamaa. Suatu hari, dia menusuk mata salah satu dari kelompok anak-anak laki-laki yang menunggunya hanya untuk melecehkannya dalam perjalanan pulang sekolah.
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
Anak-anak lain mencoba menyerang Thole di hari lain, tapi Thole kembali mencolok mata salah satu dari mereka. Sejak itu mereka berhenti.
Godfrey Ateftali, 17 tahun, mengatakan keterampilan di Ujamaa membantunya untuk menghentikan satu pemerkosaan ketika ia pulang sekolah.
“Saya menggunakan suara saya dan berteriak, ‘Hei! Polisi datang!’ dan lelaki itu meninggalkan gadis itu dan kabur,” kata Ateftali.
Jaringan badan amal Ujamaa didukung oleh Dana Anak-Anak PBB Unicef yang memulai programnya di beberapa kawasan kumuh di ibukota Kenya, Nairobi. Sekarang program kursus pertahanan diri itu telah meluas kepada 250 sekolah di tujuh distrik.
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global
Satu dari lima anak diperkosa
Dari hasil survey yang dilakukan oleh Ujamaa di Malawi terhadap 11.460 anak perempuan di bawah usia 18 tahun, menunjukkan bahwa rata-rata satu dari lima anak perempuan telah diperkosa. Angka tersebut saat ini sedang divalidasi oleh Universitas John Hopkins di Amerika Serikat.
Banyak gadis yang memberitahu kepada pelatih di Ujamaa dengan “cerita yang mengejutkan”. Pelatih Kambalane mengatakan, mereka mengaku terlalu takut atau malu memberitahu kepada teman-teman atau keluarga.
“Mereka hidup dengan trauma selama bertahun-tahun,” kata Kambalane.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Sementara itu, koran lokal selalu dipenuhi dengan berita kejahatan seks yang mencantumkan nama-nama korban atau orang tua mereka, sekolah dan desa asal mereka.
Berita tentang guru menghamili siswa, polisi memperkosa gadis di tahanan, hakim pedofil, dan penganiayaan oleh ayah tiri yang meluas, adalah di antara kasus-kasus yang menjadi langganan media lokal.
Namun di negeri itu, perkosaan anak dalam bentuk inses dapat dianggap diterima atas nama “praktek budaya”.
Di beberapa daerah, ayah diketahui tidur dengan anak perempuannya jika istrinya menolak berhubungan seks atau jatuh sakit, atau untuk menentukan berapa banyak biaya untuk “lobola” atau mas kawinnya.
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
Orang tua biasa menikahkan anak gadisnya dengan laki-laki yang lebih tua tanpa persetujuan si anak gadis di bawah praktek budaya yang disebut “kupumbira”, dalam pertukaran barter dengan satu benda berharga atau untuk membayar utang.
Pria membenarkan pemerkosaan dan dianggap tidak berdosa, terutama terhadap perawan untuk “membersihkan” penyakit, termasuk HIV, kutukan yang jelas, atau untuk membawa keberuntungan.
Brendan Ross, seorang di dewan Ujamaa mengatakan, orang yang menentang praktik budaya itu dianggap tidak menghormati orang yang lebih tua.
Pemerkosaan di Malawi meningkat
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Hakim perempuan dan polisi Malawi baru-baru ini menyuarakan keprihatinannya tentang lonjakan kasus pemerkosaan, yang tahun lalu menjadi kejahatan yang paling tertinggi yang dilaporkan oleh warga Malawi.
Peningkatan laporan bisa menjadi tanda positif dari orang tua yang ingin menempatkan pelaku di balik jeruji daripada mendiamkan masalah ini.
Unicef sedang mencoba untuk mendorong lebih banyak orang yang mau melaporkan pelanggaran seksual itu dengan melibatkan pekerja sosial, polisi, petugas medis dan petugas keadilan di bawah satu atap lembaga layanan One-Stop Centres.
Di pusat kota terbesar kedua Malawi, Blantyre, 90 persen kasus kekerasan adalah pelecehan seksual.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Berbicara mewakili jeritan seorang gadis kecil yang datang ke pusat layanan, pekerja sosial Winnie Salama mengatakan bahwa dia sering harus mengantar korban perkosaan pulang kembali ke rumahnya, padahal dia tahu bahwa hal itu tidak aman secara fisik dan psikologis bagi korban.
Dorothy, 14 tahun, datang ke pusat layanan perlindungan bersama ibunya untuk memberikan bukti medis yang diperlukan dan melaporkan kepada polisi tentang orang tua yang memperkosanya. Namun, polisi tidak datang dan lelaki itu belum ditangkap.
“Saya merasa sangat takut ketika saya melihat dia di sekitar (lingkungan). Saya ingin dia ditangkap karena apa yang dia lakukan kepada saya,” kata Dorothy.
Pemerkosa bebas berkeliaran
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Perwira polisi Emmanuel Kalumbu di pusat kota Blantyre mengatakan, antara 9 hingga 13 tahun adalah kelompok usia yang paling rentan menjadi korban perkosaan. Menurutnya banyak kasus di berbagai kantor polisi setempat yang tidak ditindaklanjuti dengan penangkapan.
Dia melihat beberapa pemerkosa anak yang polisi mendengar tentang kasusnya, bisa ditangkap dan memiliki bukti untuk menghukumnya, tapi berjalan bebas tanpa mendapat hukuman penjara percobaan atau beberapa bulan.
“Mereka harus dihukum sehingga kita bisa mengatakan, ‘OK, kami berusaha untuk melindungi anak-anak kita’,” kata Kalumbu.
Petugas pengadilan anak, Godfrey Chavula mengatakan, tahun lalu ia melihat kasus sebanyak dua puluhan setiap bulan di pusat Blanytre, tapi hanya 45 kasus yang masuk ke pengadilan.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam, tak Ada Jejak Yahudi Sedikit Pun
Korupsi dan penundaan sering membuat kasus tidak ditindaklanjuti, karena tidak ada saksi atau keluarga memilih menerima suap uang dari pemerkosa daripada membayar petugas di pengadilan.
Paman Elisa berbicara dengan nada tegang saat ia bercerita tentang keponakannya, seorang yatim piatu positif HIV dan menjadi korban dua pemerkosa pada usia 12 tahun.
Pemerkosa pertama memberi Elisa uang 50 kwacha (US 10 sen) dan menyuruhnya untuk tidak memberitahu siapa pun atau pemerkosa itu akan membunuhnya dengan pisau.
Pemerkosa kedua adalah tetangga yang suka menghadiri gereja lokal, berulang kali datang ke rumah Elisa dan memperkosanya. Sekali, ia memberi Elisa 20 kwacha. Di lain waktu memberi Elisa tujuh kacang macadamia. Namun, hingga kini orang itu masih bebas terlihat di gereja.
Kedua pemerkosa itu sudah memiliki anak. Mereka tidak menggunakan kondom.
Keluarga Elisa lalu menggunakan jasa pusat layanan untuk mengumpulkan bukti medis dan diserahkan kepada polisi.
Pencegahan adalah kunci menyembuhkan “epidemi perkosaan”
Lembaga amal Ujamaa yakin bahwa hanya pencegahan yang dapat menyembuhkan “epidemi pemerkosaan” yang banyak terdapat di negara-negara miskin seperti Malawi, dengan ratusan ribu korban dalam setahun.
“Tidak ada sistem di negara ini (Malawi) yang bisa menangani beban kasus itu,” kata aktivis Ujamaa.
Di Kenya, setengah murid perempuan telah menggunakan keahlian mereka untuk mencegah kekerasan seksual dalam setahun terakhir, dan insiden pemerkosaan di sekolah-sekolah turun jumlahnya sebanyak setengah dari angka sebelumnya.
“Saya merasa jauh lebih kuat sekarang, bahkan ketika saya sekolah, saya bisa mengatakan, ‘Tidak!’,” kata Alikangel, siswi berusia 14 tahun.
Ketika ia diminta untuk memperagakan keahliannya, Alikangel menunjukkan gerakan mencolok mata pelaku penyerangan seksual. (P001/P4)
Sumber: Al Jazeera
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)