Gadis Muslim Inggris Lawan Islamofobia dengan Anggar

Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Di bawah sorotan lampu yang terang di dalam gedung olahraga sebuah sekolah di London Timur, sekelompok gadis-gadis Muslim duduk di bangku kayu, menunggu dimulainya kelas.

Biasanya sesi pendidikan jasmani yang diwajibkan adalah netball atau atletik, tapi hari ini berbeda, siswa akan belajar olahraga anggar.

Gadis-gadis itu terlihat antusias berbaris, sementara masker (topeng) pelindung dan pedang replika plastik di letakkan berderet di lantai.

Kemudian seorang instruktur yang mantan pemain anggar Olimpiade, Linda Strachan, meniup peluitnya dan memberi tanda kepada anak-anak untuk berkumpul di depan peralatan.

En garde,” teriak Strachan.

Gadis-gadis cepat mengambil pedang mereka dari lantai dan masuk ke posisi menyerang, siap untuk menyergap maju.

“Saya ingin kalian memastikan kalian mempunyai pegangan yang kuat pada pedang kalian, dan ingat untuk memastikan bahwa ketika kalian melangkah maju, senjata kalian turut menyerang,” kata Strachan kepada mereka.

Setelah mengajarkan beberapa langkah dasar tentang praktek anggar, para gadis belia itu kemudian dibagi menjadi berpasangan dan mempraktekkan teknik yang telah mereka pelajari pada pasangan mereka.

“Ketika saya bermain anggar, saya mengambil langkah ke depan untuk menyerang lawan saya,” kata gadis 13 tahun, Seher Chohan. “Saya juga berpikir bahwa itu seperti apa yang Anda lakukan dalam hidup. Anda melangkah maju untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan.”

Teman sekelasnya yang bernama Sarah Saeed berpendapat senada.

“Saya suka bermain anggar karena berbeda dari semua olahraga lain,” katanya. “Ini adalah tentang postur tubuh Anda dan bagaimana Anda melihat. Hal ini bukan kekerasan seperti beberapa olahraga lainnya, karena ini lebih berkaitan dengan pikiran Anda daripada kekuatan fisik Anda sendiri. Itu satu hal yang saya sukai tentang ini ketika kita memulai pelajaran.”

Melawan Kesalahan Persepsi

Chohan dan Saeed memiliki kelompok pemain anggar yang lebih berpengalaman setelah berlatih keterampilan selama beberapa bulan. Sekarang mereka membantu sebagai mentor dalam seri tambahan lokakarya, sebagai bagian dari proyek Muslim Girls Fence yang diluncurkan oleh masyarakat berbasis LSM bernama Maslaha.

Bekerja sama dengan British Fencing and Sports England, program itu telah berhasil melawan stereotip dan mengubah persepsi terhadap perempuan muda Muslim yang terkesan bahwa anggar adalah olahraga elit yang didominasi oleh masyarakat kulit putih.

“Secara sederhana, kami bertujuan untuk menantang persepsi dan meningkatkan aspirasi kalangan perempuan muda Muslim yang dengan jelas mengalami diskriminasi kompleks dari kelompok ini (masyarakat kulit putih) atas dasar iman dan gender,” kata Latifa Akay, manajer proyek Mashlaha.

Selama bulan Maret, setelah skema percontohan awal berakhir, Mashlahah menampilkan potret gadis-gadis pemain anggar dalam pameran khusus wanita tingkat dunia di Southbank Centre, London.

Mashlaha juga ingin menjangkau anak muda lainnya di sekolah-sekolah di seluruh Inggris, sehingga proyek diperluas di mana gadis-gadis Muslim bisa lebih berpartisipasi dalam sesi pemula.

“Ini menyegarkan ketika kita bermain anggar di saat orang lain tidak begitu berminat,” kata Chohan. “Jika gadis-gadis Muslim melakukannya, hal itu menunjukkan bahwa kita dapat melakukannya, karena itu di kalangan atas (masyarakat elit), masuk daftar hal-hal yang Anda tidak akan berpikir bahwa seorang gadis Muslim bisa melakukannya.”

Menurut Chohan, menguasai olahraga Anggar akan meningkatkan harapan bagi gadis-gadis Muslima bahwa stereotip akan berubah.

“Ini tidak akan menjadi gambar dunia yang sempurna, tapi kami selalu bisa bertujuan untuk membuat tempat yang lebih baik, kurang menindas dan menghakimi,” katanya.

Ibtihaj Muhammad, atlet anggar wanita Amerika Serikat yang berjilbab dan yang pertama masuk tim olimpiade.
Ibtihaj Muhammad, atlet anggar wanita Amerika Serikat yang berjilbab dan yang pertama masuk tim olimpiade. Sosok inspiratif bagi Sarah Saeed dan Seher Chohan.

Tak Kenal Lelah

Kedua gadis ini mengatakan, mereka terinspirasi oleh atlet anggar Amerika Serikat, Ibtihaj Muhammad, yang menjadi wanita Muslim berjilbab pertama yang memenuhi syarat untuk masuk tim Olimpiade Amerika Serikat.

Ibtihaj Muhammad harus mengatasi banyak rintangan, beberapa di antaranya dari anak-anak yang berpartisipasi dalam lokakarya anggar dan harus berinteraksi dengannya.

Di Inggris, penyalahgunaan Islamofobia dan serangan meningkat 326 persen tahun lalu dan dalam mayoritas insiden ini, perempuan Muslim adalah target utama, menurut laporan oleh organisasi pemantauan Tell MAMA (Measuring Anti-Muslim Attacks).

Sebagian gadis dan anak perempuan Muslim merasa semakin percaya diri dan harga dirinya telah terpengaruh sebagai hasil dari belajar olahraga anggar.

“Islamofobia meresap dan tak kenal lelah,” kata Latifa Akay. “Dalam menghadapi tantangan baru, kita perlu datang dengan tanggapan baru dan radikal yang dapat membuat orang berpikir lagi, mendidik dan memberikan platform untuk suara yang sedang dibungkam dan diabaikan. Gadis dan anak perempuan Muslim sering berbicara tentang ‘melawan’ dengan berbicara.”

Menurutnya, menentang program ini berarti sama saja mendukung kelompok-kelompok dan individu yang tidak mau mendengar. Program ini justeru membangun ketahanan masyarakat, mendidik dan menentang sikap dan praktik diskriminatif.

Chohan dan Saeed mengatakan, mereka telah mengalami atau menyaksikan Islamofobia. Mereka ingat salah satu teman mereka yang diserang secara lisan karena mengenakan jilbab.

“Seorang biarawati diperbolehkan memakai penutup kepala dan tidak bisa disebut tertindas karena dia mengabdikan hidupnya untuk Kristen, tetapi segera setelah seorang wanita Muslim mengenakan jilbab, tiba-tiba itu disebut penindasan dan rasis dengan mengatakan perempuan ini dipaksa untuk melakukannya, tapi orang lupa bahwa itu pilihan mereka sendiri,” kata Saeed. “Kami bebas untuk melakukan apa yang kami inginkan. Kami tidak dipaksa untuk menutupi rambut kita. Ini pilihan saya.”

Kedua remaja itu seringkali tertawa dan bercanda saat mereka saling membantu memasang rompi pelindung mereka dalam latihan.

Mashlaha memiliki target akhir di mana mereka bisa memiliki kelas anggar di seluruh sekolah di Inggris. (P001/P2)

Sumber: Tulisan Zab Mustefa di Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.