Pada 5 Mei 2019, pesawat terbang Israel menyerang sasaran di Gaza.
Seperti biasa, pemboman datang dengan konsekuensi tragis, jatuh korban, 25 warga Palestina terbunuh, di antaranya 14 warga sipil, sementara empat warga sipil Israel yang juga tewas karena serangan roket dari Gaza.
Itu adalah salah satu dari “lonjakan ketegangan” yang untuk sesaat bersinar dalam sorotan media di Gaza.
Sorotan itu tidak bertahan cukup lama untuk melihat apa yang terjadi. Ketika tenang kembali, seorang kontraktor, Muhammad Abu Jebah, mengumpulkan sekelompok pekerja untuk mengambil logam dari puing-puing bangunan Abu Qamar, yang dihancurkan dalam salah satu serangan pemboman.
Baca Juga: Zionis Israel Serang Pelabuhan Al-Bayda dan Latakia, Suriah
Abu Jebah menganggapnya sebagai industri baru, industri yang muncul setelah Operation Cast Lead, serangan Israel di Gaza pada akhir 2008 dan awal 2009, dan industri yang menggambarkan sejauh mana warga Palestina di Gaza harus bertahan hidup.
Truk dan buldoser bergerak terlebih dahulu membersihkan puing-puing. Kemudian sekelompok pria menyisir gedung untuk menghancurkan beton dan mengekstraksi logam di dalamnya.
Setelah selesai, mereka meluruskan logam dan menyusun kembali batu-batu besar.
Ini adalah pekerjaan parut tangan yang melelahkan. Ini juga berpotensi beracun, menurut ahli lingkungan.
Baca Juga: Majelis Umum PBB akan Beri Suara untuk Gencatan Senjata ‘Tanpa Syarat’ di Gaza
Tapi hal itu perlu karena Israel melarang baja dan bahan bangunan lainnya memasuki Gaza.
“Sebagian besar pria yang bekerja untuk saya memberi makan untuk selusin kerabatnya,” kata Abu Jebah kepada The Electronic Intifada.
“Ini adalah pekerjaan putus asa bagi orang-orang yang putus asa,” ujarnya.
Dia mengakui, keadaan ekonomi yang mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan ini.
Baca Juga: Sudah 66 Hari Israel Blokir Bantuan Kemanusiaan ke Gaza Utara
Pekerjaan Berbahaya
Abu Jebah telah melakukan pekerjaan ini sejak serangan Israel yang dimulai pada Desember 2008. Meskipun ada bahaya yang melekat, ia menganggap kegiatannya sebagai inovasi. Mereka memulai sebagai operasi pembersihan sebelum beralih ke bisnis daur ulang.
Tetapi prosesnya lebih dari sekadar kerja keras. Menurut Ahmed Hilles, seorang ilmuwan lingkungan di Universitas Al-Azhar di Gaza, bahan dari bangunan yang hancur dapat mengandung polutan yang berbahaya bagi manusia maupun lingkungan.
Hilles telah melakukan beberapa pengujian pada sampel beton di reruntuhan. Dia menemukan jejak nikel, timah dan arsenik, serta bahan peledak
Baca Juga: Smotrich: Israel Tolak Normalisasi dengan Saudi jika Harus Ada Negara Palestina
“Ini berbahaya bagi mereka yang bekerja dalam daur ulang yang menghancurkan beton atau mengekstraksi logam,” ujar Hilles.
“Meskipun ia memenuhi syarat dengan mencatat bahwa karena pembatasan impor, kemampuan penyaringan di Gaza tidak sepenuhnya dapat diandalkan,” tambahnya.
Hilles, yang juga bertanggung jawab atas departemen kesadaran publik di kantor kualitas lingkungan Otoritas Palestina, memantau kerusakan yang disebabkan oleh pendudukan Israel, terutama dalam kasus ketika bangunan atau lahan pertanian ditembaki.
Sesudah serangan Israel t ahun 2014 di Gaza, Departemen Lingkungan Otoritas Palestina meminta PBB mengirim tim ke Gaza dengan peralatan untuk menguji materi yang digunakan Israel, guna mengukur dampaknya terhadap lingkungan dan manusia.
Baca Juga: Hamas Kutuk Agresi Penjajah Israel terhadap Suriah
Hilles mengungkapkan, PBB menerima undangan itu, tetapi Israel menolak untuk bekerja sama dengan PBB, selama atau setelah serangan itu, dan delegasi itu tidak pernah memasuki Gaza, .
“Pendudukan Israel tidak ingin dunia melihat kejahatannya,” kata Hilles.
Dia mengatakan setiap pemboman skala besar akan selalu membawa risiko kontaminasi serta polusi dan bukan hanya karena bahan beracun dapat dilepaskan dari beton yang dihancurkan. Tanah menjadi teriradiasi di bawah pemboman dan ketika hujan radiasi ini dapat meresap ke dalam pasokan air bawah tanah, kata Hilles.
Hilles mengatakan dia telah memperingatkan kontraktor dan pekerja di lapangan, tetapi tidak ada yang menghiraukan.
Baca Juga: Pemukim Yahudi Ekstremis Rebut Rumah Warga Yerusalem di Silwan
Sebagaimana Abu Jebah yang mengatakan dia telah mendengar peringatan racun dan bahan berbahaya lainnya, tetapi ia justru mengatakan hal yang wajar bahwa kehidupan keras dan berbahaya di Gaza.
“Pekerja di Gaza adalah korban dari kondisi ekonomi dan pendudukan Israel, dan satu-satunya pilihan sekarang adalah antara tetap aman atau menyelamatkan keluarganya dari kelaparan,” ujar Jebah.
Fadel Dawood, seorang dokter kulit Rumah Sakit Indonesia di Gaza, merawat empat orang pekerja daur ulang beton dan besi dalam praktik pribadinya, yang mereka semua menderita infeksi kulit dan retak di tangan. Ia memperingatkan mereka untuk tidak kembali ke pekerjaannya setelah perawatan intensif.
“Bahan beracun dari roket Israel ada di mana-mana. Jika kulit terus menerus terpapar pada bahan-bahan ini, beberapa di antaranya juga bersifat karsinogenik, sangat rentan terhadap infeksi, ” kata Fadel.
Baca Juga: Media Ibrani: Netanyahu Hadir di Pengadilan Atas Tuduhan Korupsi
Mereka bekerja keras siang dan malam untuk mengambil beton dan logam dari bangunan yang telah dilontarkan oleh rudal karena mereka tidak punya pilihan selain bekerja, dia mengakui, tetapi mereka juga “tidak tahu bahayanya.”
Tidak ada pilihan selain bekerja
Di antara tumpukan logam cair di bengkel khusus di Jabaliya di Gaza utara dan di bawah terik matahari, Ahmed Naser (40) menyingkirkan palu yang ia gunakan untuk meluruskan logam.
Dia telah mengamankan pekerjaan untuk dua putranya, Ayman dan Ali, dengan melakukan pekerjaan yang sama. Keluarganya berasal dari Jabaliya, dan dia telah melakukan pekerjaan semacam ini selama sepuluh tahun.
Baca Juga: Hamas Sayangkan Terbunuhnya Pejuang Perlawanan di Tepi Barat, Serukan Faksi Palestina Bersatu
Dia meyakinkan putra-putranya untuk mengikuti jejaknya hanya karena tidak ada pekerjaan lain di sekitarnya.
“Tidak ada yang suka bekerja dengan logam panas sepanjang waktu,” kata Ahmed.
Setiap harinya, ia membawa pulang antara delapan hingga 10 Dolar AS.
“Tapi aku merawat sepuluh kerabat, yang tidak punya penghasilan” katanya.
Baca Juga: Penjajah Israel Serang Sejumlah Desa dan Kota di Tepi Barat
Putranya, Ayman, bekerja dengan ayahnya dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore. “Kami tidak punya pilihan. Ini pekerjaan. ”
Pekerja logam lainnya, Ahmed Dogmush (28) berada di posisi yang sama, dari penghasilannya ia harus memberi makan lima anak.
Terlepas dari jam yang panjang dan kerja keras, tubuh menjadi terbiasa kelelahan, katanya, meskipun dia juga mengatakan akan mengambil pekerjaan alternatif jika ada.
“Saya pernah mendengar bahwa ini adalah pekerjaan berbahaya yang bisa membuat kita sakit. Saya tinggalkan selama sebulan sebelumnya, tetapi saya kembali karena saya butuh uang,” ungkapnya. (AT/Ast/P1
Baca Juga: WHO: Serangan Bertubi-tubi Israel ke RS Kamal Adwan Tak Dapat Diterima
Sumber : The Elektronic Intifada
Mi’raj News Agency (MINA)