GURU BESAR UI: BELANDA HARUS HATI-HATI ADILI PKI

Orang-orang menghadiri Pengadilan Rakyat Internasional yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda, Selasa (10/11). Acara itu dilaksanakan untuk menguak tuduhan pembunuhan massal 50 tahun yang lalu oleh pihak berwenang Indonesia terhadap ratusan ribu orang yang diduga Komunis (Foto: AP)
Orang-orang menghadiri Pengadilan Rakyat Internasional yang diselenggarakan di Den Haag, , Selasa (10/11). Acara itu dilaksanakan untuk menguak tuduhan pembunuhan massal 50 tahun yang lalu oleh pihak berwenang Indonesia terhadap ratusan ribu orang yang diduga Komunis (Foto: AP)

Jakarta, 28 Muharram 1437/10 November 2015 (MINA) – Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, meminta pemerintah Belanda bersikap hati-hati karena menjadi tuan rumah pengadilan () tahun 1965.

Negara Kincir Angin itu menjadi tuan rumah penyelenggaraan Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal/IPT) pada 10-13 November untuk mengulik dan menguak kasus yang sangat sensitif bagi bangsa Indonesia tersebut.

“Ini dapat dipastikan mengundang kemarahan publik di Indonesia. Terlebih lagi tanggal 10 Nopember sebagai Hari Pahlawan di Indonesia dijadikan sebagai hari pembukaan persidangan,” ungkap Hikamahanto dalam pesan yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Selasa (10/11) malam.

Meski hasil persidangan ini tidak ada makna hukumnya dan pemerintah di Jakarta dapat mengabaikan, namun ia melihat langkah itu akan mengundang kontroversi di publik Indonesia.

Belanda sebagai tempat penyelenggaraan IPT juga bisa terkena imbasnya, termasuk terhadap hubungan bilateral dua negara. Selain itu, dikhawatirkan negara yang pernah menjajah Indonesia itu dituduh merusak stabilitas di Tanah Air.

“Publik Indonesia akan mempermasalahkan, mengapa tidak ada International People Tribunal atas kekejaman tentara Belanda terhadap rakyat Indonesia? Apakah ada muatan politis dari pemerintah Belanda dengan membiarkan International People Tribunal pembantaian PKI 1965 dilaksanakan di Den Haag? Apakah ada keinginan dari pemerintah Belanda untuk memecah belah rakyat Indonesia?” tukasnya.

“Semua pertanyaan dan kecurigaan ini akan muncul dibenak publik Indonesia. Ini akan berdampak pada hubungan yang sudah terjalin dengan baik antara Indonesia dan Belanda,” imbuhnya.

Oleh karena itu, tegas Hikamahanto, pemerintah Belanda perlu berpikir ulang untuk dijadikan tempat dilaksanakannya IPT terkait dengan kasus pembantaian PKI tahun l965.

“Jangan sampai pemerintah Belanda menggunakan standar agenda. Ketika berbicara kekejaman pemerintah Indonesia, Belanda bersedia dijadikan ajang, sebaliknya ia tidak bersedia ketika itu menyangkut kekejaman yang dilakukan Belanda dan tentaranya,” tandasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, para pegiat hak asasi manusia (HAM) dari pelbagai latar belakang meyakini pembantaian PKI yang dipicu intrik politik Gerakan 30 September 1965 itu sebagai kejahatan kemanusiaan.

Ketua Panitia IPT Nursyahbani Katjasungkana mengatakan, kegiatan mereka lebih mirip seminar yang diikuti sejarawan, eksil politik, hingga saksi ahli. Namun ia menggarisbawahi acara itu bukan sekadar bincang-bincang ilmiah, tetapi serius menguak apa yang terjadi di balik pembersihan anasir PKI. (L/P022/P001)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Syauqi S

Editor: Rudi Hendrik

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0