Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hadits Arabin: Melaksanakan Perintah Sesuai Kemampuan (9)

Bahron Ansori - Rabu, 10 November 2021 - 07:25 WIB

Rabu, 10 November 2021 - 07:25 WIB

202 Views

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Dalam mengamalkan syariat Islam ini, seorang muslim tidak dipaksa harus mengamalkan syariat di luar batas kemampuannya. Artinya, Allah dan Rasul-Nya meminta agar setiap hamba-Nya mengamalkan syariat Islam ini sesuai dengan kesanggupannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عن أبي هريرة عبدالرحمن بن صخر رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ما نهيتكم عنه فاجتنبوه وما أمرتكم به فأتوا منه ما استطعتم , فإنما أهلك الذين من قبلكم كثرة مسائلم واختلافهم على أنبيائهم

Dari Abu Hurairah, ‘Abdurrahman bin Shakhr radhiallahu ‘anh, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Apa saja yang aku larang, hendaklah kamu jauhi dan apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu. Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka (tidak mau taat dan patuh).” [Bukhari no. 7288, Muslim no. 1337].

Penjelasan hadits

Baca Juga: Bahaya Zina dan Sebab Pengantarnya

Hadits ini terdapat dalam kitab Muslim dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah berkhutbah di hadapan kami, sabda beliau, Wahai manusia, Allah telah mewajibkan kepada kamu haji, karena itu berhajilah.’  Lalu seseorang bertanya, Wahai Rasulullah, apakah setiap tahun?  Rasulullah diam, sampai orang itu bertanya tiga kali, lalu Rasulullah bersabda, Kalau aku katakana “ya” niscaya menjadi wajib dan kamu tidak akan sanggup melakukannya.’

Kemudian beliau bersabda lagi, Biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan, karena kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka. Maka jika aku perintahkan melakukan sesuatu, kerjakanlah menurut kemampuan kamu, tetapi jika aku melarang kamu melakukan sesuatu, maka tinggalkanlah.’

Laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah adalah Aqra’ bin Habits, demikianlah menurut suatu riwayat.

Para ahli ushul fiqh mempersoalkan perintah dalam agama, apakah perintah itu harus dilakukan berulang-ulang ataukah tidak. Sebagian besar ahli fiqh dan ahli ilmu kalam menyatakan tidak wajib berulang-ulang. Akan tetapi yang lain tidak menyatakan setuju atau menolak, tetapi menunggu penjelasan selanjutnya.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-15] Berkata yang Baik, Memuliakan Tamu, dan Tetangga

Hadits ini dijadikan dalil bagi mereka yang bersikap menanti (netral), karena sahabat tersebut bertanya “Apakah setiap tahun?” Sekiranya perintah itu dengan sendirinya mengharuskan pelaksanaan berulang-ulang atau tidak, tentu Rasulullah tidak menjawab dengan kata-kata “Kalau aku katakan “ya”, niscaya menjadi wajib dan kamu tidak akan sanggup melakukannya.” Bahkan tidak ada gunanya hal tersebut ditanyakan. Akan tetapi secara umum perintah itu mengandung pengertian tidak perlu dilaksanakan berulang-ulang. Kaum muslim sepakat bahwa menurut agama, syariat haji itu hanya wajib dilakukan satu kali seumur hidup.

Kalimat, “Biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan” secara formal menunjukkan bahwa setiap perintah agama tidaklah wajib dilaksanakan berulang-ulang. Kalimat ini juga menunjukkan bahwa pada asalnya tidak ada kewajiban melaksanakan ibadah sampai datang keterangan agama. Hal ini merupakan prinsip yang benar dalam pandangan sebagian besar ahli fiqh.

Kalimat, “Kalau aku katakan “ya” tentu menjadi wajib” , menjadi alasan bagi pemahaman para salafush shalih bahwa Rasulullah mempunyai wewenang berijtihad dalam masalah hukum dan tidak diisyaratkan keputusan hukum itu harus dengan wahyu.

Kalimat, “Apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu”, merupakan kalimat yang singkat namun padat dan menjadi salah satu prinsip penting dalam Islam. Termasuk dalam prinsip ini adalah masalah-masalah hukum yang tidak terhitung banyaknya, di antaranya adalah shalat. Contohnya pada ibadah shalat, bila seseorang tidak mampu melaksanakan sebagian dari rukun atau sebagian dari syaratnya, maka hendaklah ia lakukan apa yang dia mampu.

Baca Juga: Masih Adakah yang Membela Kejahatan Netanyahu?

Begitu pula dalam membayar zakat fitrah untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya, bila tidak bisa membayar semuanya, maka hendaklah ia keluarkan semampunya. Juga dalam memberantas kemungkaran, jika tidak dapat memberantas semuanya, maka hendaklah ia lakukan semampunya dan masalah-masalah lain yang tidak terbatas banyaknya. Pembahasan semacam ini telah populer di dalam kitab-kitab fiqh.

Hadits di atas sejalan dengan firman Allah, Qs. At-Taghabun 64: 16, “Maka bertaqwalah kepada Allah menurut kemampuan kamu.  Adapun firman Allah, Qs. Ali ‘Imraan 3: 102, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan taqwa yang sungguh-sungguh”  ada yang berpendapat telah terhapus oleh ayat di atas.

Sebagian ulama berkata, ‘Yang benar ayat tersebut tidak terhapus bahkan menjelaskan dan menafsirkan apa yang dimaksud dengan taqwa yang sungguh-sungguh, yaitu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, dan Allah memerintahkan melakukan sesuatu menurut kemampuan, karena Allah berfirman, Qs. Al-Baqarah 2: 286, “Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya” dan firman Allah dalam Qs. Al-Hajj 22: 78, “Allah tidak membebankan kesulitan kepada kamu dalam menjalankan agama.

Kalimat, “apa+ saja yang aku larang kamu melaksanakannya, hendaklah kamu jauhi” maka hal ini menunjukkan adanya sifat mutlak, kecuali bila seseorang mengalami rintangan atau udzur dibolehkan melanggarnya. Seperti dibolehkan makan bangkai dalam keadaan darurat. Dalam keadaan seperti ini perbuatan semacam itu menjadi tidak dilarang. Namun, dalam keadaan tidak darurat hal tersebut harus dijauhi karena ada larangan.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-14] Tidak Halal Darah Seorang Muslim

Seseorang tidak dapat dikatakan menjauhi larangan jika hanya menjauhi larangan tersebut dalam selang waktu tertentu saja. Tentu berbeda dengan hal melaksanakan perintah, yang mana sekali saja dilaksanakan sudah terpenuhi. Inilah prinsip yang berlaku dalam memahami perintah secara umum, apakah suatu perintah harus segera dilakukan atau boleh ditunda, atau cukup sekali atau berulang kali, maka hadits ini mengandung berbagai macam pembahasan fiqh.

Kalimat, “Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka”  disebutkan setelah kalimat, “biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan kepada kamu.” Maksudnya ialah kamu jangan banyak bertanya sehingga menimbulkan jawaban yang bermacam-macam, menyerupai peristiwa yang terjadi pada bani Israil. Tatkala mereka diperintahkan menyembelih seekor sapi yang seandainya mereka mengikuti perintah itu dan segera menyembelih sapi seadanya, niscaya mereka dikatakan telah menaatinya.

Namun, karena mereka banyak bertanya dan mempersulit diri sendiri, maka mereka akhirnya dipersulit dan dicela. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam khawatir hal semacam ini terjadi pada umatnya. Begitu besar rasa cinta dan kasih Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya, wallahua’lam.(A/RS3/P1)

(Sumber: Hadits Arbain An-Nawawi. Penerbit: Darul Haq)

Baca Juga: Masih Kencing Sambil Berdiri? Siksa Kubur Mengintai Anda

i’raj News Agency (MINA)

 

 

 

Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-13] Mencintai Milik Orang Lain Seperti Mencintai Miliknya Sendiri

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Indonesia
Tausiyah