Hak Konsumen Atas Jaminan Produk Halal (Oleh: Dr. Ir. H. Hayu S. Prabowo)

Oleh: Dr. Ir. H. Hayu S. Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (Lembaga PLH & SDA MUI)

Setelah melalui beberapa pertemuan mengenai pengembangan wisata halal dengan Kementerian Pariwisata RI, Yayasan Perlindungan Indonesia (YLKI), Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), kalangan akademisi dan praktisi pariwisata, terlihat jelas bahwa salah satu hambatan utama pengembangan pariwisata halal atau wisata muslim Indonesia adalah karena rendahnya jaminan .

Kita bisa melihat di pusat perbelanjaan, hanya sebagian kecil penyedia produk dan makanan yang memiliki sertifikat jaminan halal. Jaminan halal belum menjadi tuntutan bagi masyarakat Indonesia sehingga para produsen dan penyedia layanan belum melihat urgensi untuk mendapatkan jaminan halal ini.

Halal dan haram, dalam Islam merupakan masalah fundamental, termasuk prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam kehidupan beragama. Wajib bagi setiap muslim memperhatikan aspek kehalalan ketika hendak mengkonsumsi atau menggunakan suatu produk.

Setiap muslim juga berkewajiban untuk menghindari produk-produk syubhat, yaitu produk yang tidak jelas kehalalannya. Hal tersebut merupakan bagian dari konsekuensi dalam menjalankan ajaran agama yang diyakininya.

Kebebasan serta jaminan untuk menjalankan ajaran agama di Indonesia dilindungi oleh konstitusi. Mengacu pada UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen pada pasal 4 bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

Konstitusi juga memberikan hak pada konsumen untuk memperoleh informasi yang benar tentang kualitas produk yang akan dikonsumsi ditinjau dari sudut kehalalannya, karena hal tersebut termasuk bagian dari jaminan menjalankan syariat agama.

Setiap produsen mempunyai tanggungjawab secara moral dan hukum memberikan informasi yang benar terhadap status kehalalan dari bahan yang diproduksinya. Secara moral keagamaan produsen wajib mencantumkan kehalalan produknya. Mengacu kaidah fiqih Maa Laa Yatimmul-Wajibu illa Bihi Fahuwa Wajibun atau“Suatu perkara yang menjadi penyempurna dari perkara wajib, hukumnya juga wajib”.

Sebagai contoh, pada mulanya berwudhu bukan merupakan kewajiban. Tetapi dalam mengerjakan sholat, tidak sah tanpa berwudhu, maka berwudhu itu pun menjadi wajib pula. Dengan analogi ini, mengkonsumsi dan menggunakan produk halal merupakan kewajiban bagi umat Islam. Dengan demikian, menjaga dan menjamin kehalalan produk menjadi kewajiban pula.

Secara hukum produsen diwajibkan mencantumkan label informasi yang benar, jelas dan jujur terhadap makanan ataupun produknya. Oleh karenanya, biaya atas sertifikasi halal haruslah menjadi biaya yang melekat dalam biaya produksi, sehingga produksi tidak dapat dijual bila belum mendapatkan jaminan kehalalan, karena produksi ini membahayakan konsumen dan bisa mendapat sangsi hukum karenanya.

Saat ini banyak produsen beranggapan bahwa biaya untuk mendapatkan jaminan kehalalan merupakan biaya tambahan sehingga, dengan alasan keuntungan, produk yang dipasarkan tidak memiliki jaminan kehalalan yang melanggar UU 8/1999 karena tidak memberikan informasi kehalalannya yang mengabaikan keamanan dan keselamatan konsumen.

Praktik penjaminan produk halal di Indonesia masih dirasakan sangat timpang, produsen secara tidak bertanggung jawab membiarkan konsumennya mengkonsumsi makanan yang membahayakan dirinya. Tentu ini sangat tidak adil. Praktik ini sangat berbeda di beberapa negara maju. Di Singapura misalnya, pada umumnya rumah makan mencantumkan kehalalannya, sebuah restoran akan menolak seorang muslim masuk ke restorannya bila produknya tidak halal.

Banyak orang beranggapan bahwa karena Indonesia adalah merupakan negara dengan mayoritas muslim, maka produknya sudah terjamin kehalalannya. Tentu pengertian ini tidak betul sama sekali karena produk yang diolah oleh seorang muslim tidak luput dari aspek yang dapat menimbulkan keraguan (mengandung nilai syubhat) karena bahan­-bahan yang diolah tidak semuanya bisa disediakan sendiri dari awal.

Fenomena globalisasi telah memunculkan masalah baru yaitu beredarnya produk­-produk pangan dari berbagai penjuru tanpa bisa dibatasi, termasuk yang diproduksi di wilayah-wilayah nonMuslim. Diantara produk yang beredar terdapat produk hewani dan turunannya seperti daging, lemak, dan bahan-bahan turunan lemak yang bagi umat Islam perlu perhatian tersendiri.

Persoalan menjadi semakin komplek karena bersamaan dengan itu, terjadi perkembangan teknologi pangan yang pesat, sedangkan yang mengendalikan tidak semua orang Islam, sehingga memunculkan peluang adanya pengolahan secara bersama-sama antara bahan-­bahan yang meragukan kehalalannya dengan bahan­-bahan yang jelas halal menjadi produk-produk olahan.

Dampaknya, produk-produk olahan yang sebelumnya halalnya jelas dan yang haram juga jelas, saat ini banyak produk olahan yang samar halal haramnya sehingga membutuhkan penelusuran untuk memastikan status kehalalannya.

Sertifikasi halal adalah cara untuk memastikan kehalalan terhadap produk-produk olahan yang sebelumnya masih ada kesamaran.

Sebagai konsumen kita perlu menggunakan hak mendapatkan kehalalan produk yang kita konsumsi. Atau kita tidak membeli produk yang meragukan tersebut yang membahayakan kita dan keluarga kita. Bahaya mengkonsumsi makanan haram, yaitu: doa-doa yang tidak terkabul, amalan yang tidak diterima, membawa ke neraka, mendzalimi diri sendiri, mengurangi iman, merusak hati dan akal serta rusaknya keturunan.

Dengan meningkatkan perhatian kita pada kehalalan produk, mudah-mudahan Allah menjadikan Indonesia terbebas dari azab yang mungkin Allah berikan kepada kita sebagai peringatan dan menjadikan Indonesia sebagai negara Baldataun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur(negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun). (AK/R01/B05)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.