Hakim Tolak Upaya Gedung Putih Blokir Penerbitan Buku Bolton

Washington, MINA – Hakim Federal Distrik Amerika Serikat Royce Lamberth pada Sabtu (20/6) memutuskan, mantan penasihat keamanan nasional AS John Bolton dapat terus bergerak  menerbitkan bukunya meskipun ada upaya Pemerintahan  Presiden Donald untuk memblokirnya.

Fihak Trump menuduh ketidakwajaran yang diajukan dalam persidangan impeachment presiden pada bulan Februari lalu dan kekhawatiran informasi rahasia dapat terbuka luas. Al Jazeera melaporkan, Ahad (21/6).

Buku ini direncanakan diluncurkan Selasa (23/6) tapi ribuan copynya sudah beredar di seluruh dunia termasuk ada pada redaksi-redaksi media mainstream.

Keputusan hakim itu merupakan kemenangan bagi Bolton dalam kasus pengadilan yang didasarkan Amandemen Pertama Konstitusi AS tentang Kebebasan Berpendapat dan masalah keamanan nasional.

Putusan itu berarti pembaca akan dapat mengetahui lebih luas tentang potret yang tidak menarik dari pengambilan keputusan kebijakan luar negeri Trump selama Bolton menjabat di Gedung Putih.

“Walapun tindakan Bolton dapat menimbulkan keprihatinan keamanan nasional. Namun pemerintah tidak menjelaskan bahwa perintah pengadilan untuk melarang merupakan solusi yang tepat,” kata Hakim Distrik AS Royce Lamberth dalam keputusannya.

Administrasi Trump meminta penangguhan buku berjudul The Room Where It Happened: A White House Memoir, dan mengatakan buku itu berisi informasi rahasia dan mengancam keamanan nasional.

Buku yang dijadwalkan akan diluncurkan pada hari Selasa (23/6), sudah ada lebih dulu di tangan media.

Namun hakim mengatakan perintah pengadilan terlambat untuk mencegahnya. “Dengan ratusan ribu salinan telah tersebar di seluruh dunia, dan banyak di ruang redaksi media massa,” kata Lamberth.

Bolton dalam bukunya menuduh Trump telah menunjukkan “perilaku yang secara fundamental tidak dapat diterima” yang mengikis legitimasi kepresidenan, dan didorong oleh kepentingan politiknya sendiri.

Bolton mengatakan Trump, yang akan maju pada pemilihan presiden kedua kalinya pada 3 November mendatang, pernah secara eksplisit meminta bantuan Presiden Cina Xi Jinping untuk memenangkan masa jabatan kedua.

Dalam sebuah tweet tak lama setelah keputusan itu dirilis, Trump menuduh Bolton merilis informasi rahasia.

“Dia harus membayar harga yang sangat besar untuk ini, seperti yang dimiliki orang lain sebelum dia,” kata Trump. “Ini seharusnya tidak pernah terjadi lagi.”

Bolton adalah staf kepercayaan Trump mengenai kebijakan luar negeri yang dipecat September lalu, setelah 17 bulan sebagai penasihat keamanan nasional (NSA). (T/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.