Hari Pertama Ramadhan, Ribuan Muslim Padati Al-Aqsha

Lebih dari 100.000 warga , banyak dari mereka dari wilayah Tepi Barat yang diduduki, datang berbondong-bondong ke kompleks Masjid Al-Aqsha di (Yerusalem) Jumat (18/5), hari pertama bulan suci .

Orang-orang Palestina dari wilayah-wilayah pendudukan, yang tidak dapat mengakses Al-Quds, biasanya diizinkan memasuki kota dalam kondisi yang ketat selama hari Jumat pada bulan suci Muslim.

Hampir setiap hari, pos pemeriksaan Qalandiya, gerbang utama di Tepi Barat ke Al-Quds dan sekitarnya dijaga tentara Israel lengkap dengan pintu putar dan detektor keamanan di pintu masuknya.

Kali ini, pria Palestina berusia di atas 40 tahun dan wanita dari segala usia diizinkan untuk melintas, kebanyakan melewati penghalang beton tanpa dihentikan, ketika tentara Israel berdiri dan berjaga di sekitar.

Kadang-kadang, seorang pria akan dihentikan dan diminta untuk menunjukkan kartu identitas yang dikeluarkan oleh militer Israel untuk menentukan apakah dia sudah cukup umur untuk melintas atau tidak.

Al-Quds yang paling penting

Beberapa ibu membawa putra-putra remaja mereka yang lebih muda bersama.

mereka, berharap mereka akan diabaikan dan tidak dikenakan pemeriksaan yang ketat.

Munira Abu Nasra, 40, berjalan dengan percaya diri melewati para prajurit, memegang tangan putranya yang berumur sembilan tahun di satu tangan, dan tas di tangan yang lain.

“Saya punya perasaan bahwa Jumat ini tidak akan ada banyak orang yang melintasi Qalandiya,” katanya kepada Al Jazeera, matanya menyapu kerumunan orang.

“Itu sebabnya saya memastikan untuk datang hari ini.”

Pada hari Senin, beberapa ratus warga Palestina berkumpul di Al-Quds untuk memprotes relokasi kedutaan Amerika Serikat ke kota suci itu, sebuah langkah yang dikecam secara luas oleh masyarakat internasional.

Upacara relokasi berlangsung ketika tentara Israel menewaskan sedikitnya 62 orang Palestina di Jalur Gaza yang yang melakukan pawai sebagai bagian dari gerakan Great March of Return yang menyerukan hak pengungsi untuk kembali ke daerah-daerah dari mana mereka diusir pada tahun 1948 ketika negara Israel diciptakan.

“Orang-orang tidak yakin apakah situasinya cukup stabil dan masih takut pergi ke Al-Quds, mengingat peristiwa pekan lalu,” kata Abu Nasra.

Izin perjalanan biasanya diberikan kepada orang Palestina dari segala usia selama Ramadhan, tetapi sejauh ini administrasi militer Israel belum mengeluarkan langkah apapun.

Abu Nasra berasal dari Kota Bir Nabala, yang merupakan pinggiran Al-Quds yang terputus dari kota suci oleh tembok pemisah dan sekarang dianggap sebagai bagian Tepi Barat.

“Penting untuk pergi ke Al-Quds kapan pun kita bisa,” kata Abu Nasra, ketika ia mencapai sisi lain pos pemeriksaan tempat bus sedang menunggu untuk mengangkut orang ke Al-Quds. “Aku punya putra lagi yang berusia 16 tahun, dan tidak mungkin dia bisa menyeberang melalui Qalandiya.”

Perjalanan singkat setelah melintasi pos pemeriksaan berakhir di awal Jalan Salah al-Din, pusat utama di Al-Quds yang diduduki, tempat barikade logam didirikan di berbagai titik.

Helikopter dan pesawat nirawak mengudara di langit, dan ada peningkatan kehadiran penjaga perbatasan Israel dan pos-pos pemeriksaan penerbangan – tempat pemeriksaan militer sementara.

Memasuki salah satu gerbang Kota Tua, orang-orang Palestina menuju Masjid Al-Aqsa, beberapa orang meletakkan sajadah mereka di atas kepala mereka untuk melindungi diri dari terik matahari.

Di dalam masjid, setiap ruang penuh, pria, wanita dan anak-anak mencari perlindungan di bawah naungan pepohonan, menunggu azan.

Sheikh Azzam al-Khatib, direktur jenderal Wakaf Al-Quds dan Masjid Al-Aqsa, mengatakan kepada media setempat sebanyak 120.000 jamaah berhasil mencapai kompleks Masjid Al-Aqsa untuk shalat Jumat.

Hadeel Dabaas, 23. (Al Jazeera)

“Datang ke Al-Quds adalah mimpi yang menjadi nyata,” kata Hadeel Dabaas, seorang wanita muda dari Tulkarem. “Saya berencana datang setiap Jumat, selama situasi tetap tenang dan tidak ada komplikasi di pos-pos pemeriksaan.”

Ketegangan mereda

Saat banyak warga Palestina telah menekankan pemindahan kedutaan AS ke Al-Quds memberikan sedikit perbedaan dalam kehidupan mereka – mengingat kota itu sudah diduduki – mereka tetap berhati-hati memasuki Al-Quds, bahkan untuk beribadah.

Menyusul penembakan yang mematikan terhadap puluhan warga Palestina di Jalur Gaza pekan ini, pemerintah Israel menyatakan kekhawatiran bahwa protes akan menyebar ke seluruh Al-Quds dan Tepi Barat – tetapi untuk saat ini, hanya sedikit yang mengindikasikan itu akan terjadi.

Hanya segelintir orang yang mengindahkan panggilan beberapa komite populer Palestina, yang menyerukan protes di titik-titik panas dengan pendudukan Israel setelah salat Jumat. Tidak mengherankan, kehadiran mereka tidak menimbulkan konfrontasi.

Namun, signifikansi Al-Quds masih sangat membebani pikiran orang Palestina.

“Tanpa Al-Quds, tidak ada kehidupan,” ujar Juma Abed Sa’sa, yang lahir di Yafa pada 1941, mengatakan kepada Al Jazeera.

Juma Abed Sa’sa, 77. (Al Jazeera)

Duduk di dekat Gerbang Damaskus, lelaki tua itu, yang dipaksa keluar dari kampung halamannya pada usia tujuh tahun dan sekarang tinggal di Jericho, berencana untuk menghabiskan Jumat Ramadhannya di Al-Quds.

“Tanpa Al-Quds, tidak akan ada kedamaian,” ia menekankan.

“Jika pemimpin Palestina menyerah, maka apa lagi yang tersisa untuk dinegosiasikan?,” ia menutup dengan pertanyaan berisi harapan sekaligus kekhawatiran yang mengelayut di pikirannya. (AT/R11/P2)

Miraj News Agency (MINA)

 

 

 

 

 

Comments: 0