ADA HIKMAH DI BALIK KAA (Penuturan Walikota Bandung, Ridwan Kamil)

Walikita Bandung, Ridwan Kamil. (Foto:Putri/MINA)
Walikota , Ridwan Kamil. (Foto:Putri/MINA)

Oleh : Ridwan Kamil, Walikota Bandung

Sudah lama sekali saya tidak menulis. Karena kesibukan sebagai walikota selama 18 bulan, banyak hal yang ingin dituliskan. Ini adalah renungan saya terkait hikmah-hikmah perhelatan puncak acara di Bandung kemarin. Selamat menyimak.

SOLIDARITY REBORN: 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung.

Semalaman itu saya gelisah. Bangun pagi dengan rasa cemas hadir menyergap. Otot bahu terasa lebih keras. Ciri badan sedang berontak kurang istirahat. Hanya senyum dan pelukan 20 detik istri yang sedikit membangkitkan semangat. Pagi itu, Jumat tanggal 24 April telah tiba.

Ditemani sepeda kesayangan, saya menyusuri Jalan Asia Afrika dari arah berlawanan. Cuaca Bandung pagi itu begitu sempurna, tidak terik dan tidak hujan. Semua terlihat lengang. Mengingatkan pada pagi saat lebaran, semua perabot di jalan dan trotoar terlihat sudah siap. Kursi, pot bunga, poster, baliho, semuanya harmoni seperti apa yang saya imajinasikan.

Pagi itu, di jalan bersejarah, Jalan Asia Afrika, selain deretan patung Maung Bandung di atas lampu-lampu jalan, terlihat pria-pria cepak berpakaian batik pun sudah berjajar rapi. Tanda perhelatan sudah siap dimulai.

Jam menunjukkan pukul 7.30 pagi, masih luang untuk melakukan banyak hal sebelum para kepala negara hadir melakukan ‘historical walk‘ di pukul 9 pagi. Tiba-tiba Bapak Presiden yang sudah menginap dari semalam, memutuskan untuk menyapa warga Bandung di sepanjang rute kedatangan tamu kenegaraan. Dimulai dari Bandara Husein Sastranegara, menyusuri jalanan Kota Bandung sampai berakhir di Hotel Homann.

Di sepanjang jalan, yang terlihat adalah wajah-wajah sumringah, gestur-gestur tubuh warga Bandung yang menyiratkan kegembiraan. Tidak ada yang cemberut, terdengar sana-sini lagu Halo-halo Bandung bersahutan menyertai teriakan dari anak-anak sekolah. Di sepanjang rute, Baliho Sukarno, Mandela dan tokoh-tokoh lainnya seolah menyapa di sela-sela kibaran bendera-bendara negara Asia Afrika.

Senyum dan tawa warga sepanjang jalanan itu menenangkan kegelisahan saya, pagi itu Tuhan, berbaik hati, memberkahi kota Bandung dengan kegembiraan.

Di hari ke duapuluhempat di bulan April 2015 itu, Kota Bandung kembali menjadi tuan rumah puncak perhelatan 10 tahunan untuk memperingati peristiwa lama dan mencari relevansi baru dari sebuah momen bersejarah 60 tahun silam: Konferensi Asia Afrika.

Tahun 1955, negara-negara Asia Afrika, yang senasib diiris oleh sejarah kolonialisme yang kelam, berkumpul untuk pertama kalinya. Di bawah kepemimpinan sang proklamator, Bung Karno, negara-negara Asia Afrika menyuarakan perlawanan pada kolonialisme.

Di bawah payung manifesto Dasasila Bandung, bangsa-bangsa kulit berwarna itu menggelorakan perlawanan pada penindasan geografis dan kemanusiaan. Sejarah juga mencatat di kemudian hari ibu ini melahirkan anak yang bernama Gerakan Non Blok.

Namun, apa relevansinya peringatan KAA di 2015 ini? Saat isu kolonialisme sudah jadi bagian masa lalu. Apa kira-kira nilai baru yang bisa terus menjadikan Indonesia sebagai lokomotif perubahan dunia mewakili dua benua ini. Bagaimana memosisikan semangat Bandung sebagai kota yang harus tetap relevan dalam geopolitik Asia dan Afrika.

Dalam diskusi dengan para duta besar negara-negara Asia dan Afrika di sebelumnya, saya mendapatkan kesimpulan. Mereka menekankan harus lahir perjuangan baru atau nilai yang relevan dengan situasi geopolitik dunia. Mereka tidak mau perhelatan ini hanyalah seremonial belaka. Nilai itu disepakati bernama Solidaritas Baru. Lahirlah gagasan ‘New Asia Africa Solidarity‘.

Solidaritas baru berarti kita berbagi semangat perlawanan terhadap bentuk kolonialisme baru seperti yang terjadi di Palestina. Solidaritas baru berarti kita berbagi sesuatu, inovasi pembangunan misalnya, yang kita anggap penting dalam konteks negara-negara Asia Afrika. Solidaritas baru berarti Bandung juga harus bersemangat menjadi pemimpin kota-kota Asia Afrika.

Para duta besar juga menyepakati agar simbol-simbol perhelatan KAA tidak hanya nostalgia, tapi melahirkan pesan dan ikon yang paling relevan sesuai konteksnya. Karena itu disepakati dari Asia tetap diwakili oleh Bung Karno sebagai ikonnya dan Nelson Mandela, walau Mandela tidak hadir tahun 1955, diusulkan mereka sebagai ikon yang mewakili Afrika baru.

Karenanya saya mendukung Presiden Joko Widodo, memberikan pesan-pesan kuat yang mengritik relevansi PBB dan lembaga-lembaga donor yang dianggap kurang relevan dan berkeadilan dari perspektif negara Asia Afrika. Namun di Bandung, kami bersemangat memperkuatnya dengan menyeleggarakan 60-an kegiatan sebagai jawaban terhadap tantangan para duta besar Asia dan Afrika itu.

Di Bandung, dengan semangat Solidaritas Baru kami mengadakan Human Rights City Conference, Asia Africa Smartcity Summit, Asia Africa NGOs summit, Asia Africa Students Conference, Creative Cities Network, Asia Africa Carnival dan 50-an sisanya yang saya tidak hapal semuanya. Inilah sumbangan Bandung bagi setengah penduduk dunia ini, nilai-nilai baru yang relevan dalam peradaban kekinian Asia dan Afrika.

Di hari-hari menjelang hari H, saya melihat banyak fenomena yang menggugah batin saya. Di Jalan Otista, saya lihat sekelompok tentara sedang menyiapkan tambang-tambang untuk mengatur massa. Di sebelah mereka, beberapa orang dewasa berjaket kulit lusuh, berambut gondrong dan bercincin akik sana sini, sedang merapikan barisan pot bunga. Mungkin mereka preman-preman Pasar Baru, raut mereka penuh tawa, pemandangan langka.

Di hari Ahad, tanggal 19 April, kota Bandung melakukan kerja bakti bersama. Terlihat sepasang suami istri dan dua anaknya mengecat batu kanstin jalan Asia Afrika. Para ibu-ibu yang entah kenapa warna jilbabnya merah semua, sibuk menyapu trotoar di sana-sini. Mereka terlihat ceria, lengkap dengan aksi-aksi selfie-nya di sana sini.

Kegiatan mereka ini melengkapi kerja bakti di minggu sebelumnya di mana 3000-an relawan KAA bersama TNI/Polri bekerja bakti mengecat bangunan-bangunan lusuh yang ada di radius dekat Gedung Merdeka. Relawan KAA adalah fenomena luar biasa. Dibutuhkan hanya sekitar 2 ribu orang, eh yang daftar sekitar 15 ribu orang. Semangat volunteerism ini membuat saya optimis dengan masa depan sosiologis Bandung. Mereka punya moto “We are not paid, not because we are worthless, but because we are priceless”. Keren, terharu. Bandung saat itu terbuat dari kekompakan dan kolaborasi.

Kolaborasilah yang menyelamatkan Bandung. Di kota yang diciptakan Tuhan saat sedang tersenyum ini, kolaborasi begitu kental. Indah sekali. Deretan batu bulat bertuliskan nama-nama negara Asia Afrika adalah sumbangan jemaat gereja di Jalan Gardu Jati. Pengecatan bangunan-bangunan lusuh adalah hasil saweran ibu-ibu arisan Kecamatan Regol. Gerbang Pasteur, Monumen Simpang Lima, Air Mancur Cikapundung Timur, Jembatan Asia Afrika dan Monumen 69 tahun KAA dibantu oleh pengusaha lokal dan nasional.

Ketika ribuan ibu-ibu mendatangi masjid-masjid setempat ba’da isya di malam sebelumnya untuk berdoa bagi kelancaran acara dan ketika 2000-an warga dari ormas dan LSM secara sukarela begadang menjadi relawan ketertiban dan ketika seorang Pastor dan para pemijat tuna netra menyisihkan pendapatannya dengan ikhlas untuk KAA, di situlah saya menemukan hikmah perhelatan KAA yang sebenarnya. Hikmah akan hadirnya sabilulungan atau gotong royong. Lahirnya kembali rasa cinta pada kota bersejarah ini. Lahir kembali kekuatan rasa persaudaraan. ‘Solidarity reborn‘.

Masih teringat dengan jelas, Presiden memberi tugas saya, sebagai ketua panitia lokal, untuk menyiapkan puncak perhelatan ini di pertengahan Februari. Artinya saya hanya diberi waktu 60 hari untuk menyiapkan segala sesuatu nya, sedang dahulu saat peringatan 50 tahun KAA di 2005, persiapannya dilakukan selama satu tahun. Sesuatu yang mustahil jika menggunakan logika matematika. Apalagi tidak tersedia dana negara yang cukup dan mudah diakses karena keterbatasan waktu.

Namun saya selalu percaya, Tuhan selalu bersama mereka yang berupaya. Berkat kebaikan hati pertemanan sana sini, 20-an pekerjaan infrastruktur dan 60-an acara kecil sampai kolosal, seperti pemecahan rekor dunia 20 ribu orang bermain angklung, berhasil dilaksanakan dengan relatif lancar dan aman. ‘Networking is everything

Bagi saya, perhelatan KAA ini membuktikan, bahwa bangsa kita ternyata bisa bekerja dengan kecepatan tinggi saat kondisinya memungkinkan. ‘No crack under pressure’. Jangan-jangan, aturan main berbangsa dan bernegara kita sendiri yang membuat perubahan di negeri ini begitu lambat.

Di malam-malam nan panjang, saya menjadi saksi betapa para pekerja jalan bangunan dan staf Pemkot Bandung, bekerja siang-malam, mengaduk semen memasang granit, mengelas besi, bergantian mengejar target yang tidak mungkin, menjadi mungkin. Tepukan ke pundak dan saling sapa adalah hal rutin yang saya lakukan untuk menyemangati energi hidup para pekerja ini. Saat melakukannya, saya sering teringat Ibu yang rutin menasehati saya untuk selalu memanusiakan manusia.

Perhelatan KAA sudah berakhir. Banyak hal baik datang bersahutan. Dibuka oleh prosesi upacara adat Sunda tarawangsa, dilanjutkan oleh lautan kegembiraan dan keseriusan, dan diakhiri oleh konser solidaritas Metalhead di Balai Kota dan pengajian di majelis taklim. Secara ekonomi, KAA ini mengalirkan devisa sebesar Rp. 480 miliar, di mana Rp. 100 Miliar-nya untuk kota Bandung. Belum lagi nilai ekonomi masa depan dengan banyaknya publikasi mendunia oleh lebih dari 1000-an jurnalis dunia.

Alhamdulillah juga, konferensi Human Rights City menghasilkan deklarasi HAM yang ditandatangani para walikota se Asia dan Afrika. Juga Smartcity Summit menyepakati lahirnya organisasi baru Asia Africa Smartcity Alliance untuk berbagi teknologi, di mana Bandung terpilih sebagai ketua pertamanya. Asia Africa NGOs Summit berlangsung sukses dengan komitmen berjejaring untuk pengentasan kemiskinan dengan cara-cara baru. Lahir pula manifesto kota-kota kreatif se Asia Tenggara yang berkomitmen untuk menjadikan kawasan sisi tenggara Asia ini sebagai simpul kreativitas utama dunia di masa depan.

Ada yang mengkritik bahwa perhelatan 60 tahun KAA hanya seremonial. Saya kira itu kurang tepat dalam konteks Bandung. Bandung khususnya menemukan relevansinya lagi sebagai pelopor nilai-nilai solidaritas baru di kota-kota Asia dan Afrika. Namun sesungguhnya, yang terpenting untuk Bandung adalah lahirnya lagi semangat berkolaborasi warganya. Lahir lagi semangat kebersamaan.

Perhelatan ini memberi hikmah, tidak ada kesuksesan tanpa kerja keras. Tidak ada keberhasilan tanpa kekompakan. Tidak ada perlindungan tanpa doa dan pertolongan Tuhan.

Terima kasih warga Bandung yang sudah mendukung. Terima kasih untuk semua yang sudah membantu. Terima kasih untuk semangat bekerja kerasnya.

Cintaku untuk setiap dirimu.

HATUR NUHUN

(P007/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0