Hindari Sengketa, Tanah Wakaf Harus Disertifikasi

Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency (MINA)

Jalan masuk ke kompleks perkavlingan PWI Bogor di kelurahan Sukahati, kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, suatu pagi tiba-tiba saja dipagar dengan batang-batang kayu oleh oknum mantan Ketua DKM sebuah masjid – dalihnya karena ujung jalan memotong tanah .

Padahal pada peta yang terdapat dalam sertifikat kavling yang bersebelahan dengan tanah wakaf tersebut, jelas-jelas ujung jalan ini sudah masuk dalam dokumen berkekuatan hukum itu. Jika pagar ingin dibuka, pemilik kavling harus membayar tanah wakaf yang terkena jalan seluas 4×5 meter –  dengan harga yang ditentukan sendiri oleh oknum tersebut.

Kata wakaf berasal dari bahasa Arab, yaitu Waqafa berarti menahan atau berhenti, atau berdiam di tempat, atau tetap berdiri. Wakaf dalam Kamus Istilah Fiqih adalah memindahkan hak milik pribadi menjadi milik suatu badan yang memberi manfaat bagi masyarakat (Mujieb, 2002:414).

Wakaf menurut hukum Islam dapat juga berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf), baik berupa perorangan maupun badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan syariat Islam (M. Zein, 2004:425).

Dalam Undang-Undang RI No. 41 Tahun 2004  tentang wakaf pasal 5, dijelaskan bahwa fungsi wakaf adalah mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis. Harta benda wakaf digunakan untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Tentunya termasuk untuk jalan.

Pasal 67 memuat ketentuan: Ayat (1) setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41dipidana dengan pidana paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000 ( Lima ratus juta rupiah).

Dalam prakteknya banyak wakaf terutama yang berbentuk tanah akhirnya melahirkan yang menurut pejabat dari Kankemenag Kota Tegal, Drs. Abdul Ghofir disebabkan banyaknya tanah wakaf yang tidak ditindaklanjuti dengan pembuatan ikrar wakaf, wakaf dilakukan secara agamis atas dasar saling percaya sehingga tidak memiliki dasar hukum dan bukti kepemilikan.

Wakaf juga kerap diminta kembali oleh ahli waris yang menyimpang dari akad wakaf, pengetahuan masyarakat yang minim terhadap wakaf, penggunaan secara konsumtif dan tidak produktif, ahli waris mengingkari ikrar wakaf dan ahli waris tidak diberi tahu orang tuanya sehingga menjualnya, tidak ada bukti otentik dan dokumen tertulis dan lainnya.

Contoh surat sertifikat tanah wakaf. (Gambar: IMCQ)
Contoh surat sertifikat tanah wakaf. (Gambar: IMCQ)

Terkait dengan bukti otentik dan dokumen tertulis, untuk menghindari sengketa wakaf terutama tanah harus disertifikasi. Di Jawa Barat misalnya, 74.156 lokasi tanah wakaf dengan luas mencapai 215 juta meter2 rentan digugat. Pasalnya, dari jumlah tersebut sebagian besarnya belum disertifikasi.

Menurut pejabat di Kakanwil Kemenag Jabar, Saeroji, ahli waris yang masih menginginkan tanah wakaf menjadi satu kendala dalam melakukan sertifikasi tanah wakaf. “Itu tanah lama, orangtua mewakafkan, ketika akan sertifikasi ahli warisnya tidak mau.”

Saeroji menyebutkan, sudah ada beberapa kasus gugatan terhadap tanah wakaf yang dilakukan dan dimenangkan ahli waris di pengadilan, karena tidak ada bukti tertulis. “Persoalan lainnya, pengelolaan wakaf masih dilakukan secara tradisional dan belum optimal.”

Dia merinci, dari 74.156 lokasi sebagai besar tanah wakaf digunakan untuk rumah ibadah 38.548 lokasi, pendidikan 7.468 lokasi, pondok pesantren 3.634 lokasi, untuk usaha dan jasa 51 lokasi, makam 1.855 lokasi, dan panti asuhan sebanyak 105 lokasi. Masih ada 22.495 lokasi yang belum dimanfaatkan dan inilah yang rentan akan gugatan ahli waris.

Sementara itu Kemenag Kota Dumai Riau menyerahkan 28 sertifikat tanah wakaf dari masyarakat kepada para pengurus masjid, musala dan tanah pekuburan untuk menghindari konflik di belakang hari –  terutama dari para ahli waris masyarakat yang mewakafkan tanah tersebut.

Kepala Kemenag Dumai Darawi mengatakan, “Tanah wakaf harus diamankan dengan cara dibuat sertifikat agar tidak muncul klaim dari ahli waris yang ingin mengambil kembali.”

Ia menambahkan bahwa harta yang sudah diniatkan wakaf untuk kepentingan masyarakat banyak atau ibadah umat maka lepaslah hak kepemilikan atas tanah tersebut.

“Dengan sertifikat ini tanah telah memiliki kekuatan hukum yang kuat dan ahli waris tidak bisa menggugat pengurus masjid, musalla atau tanah perkuburan dan pihak pengelola tidak lagi terusik dengan tuntutan atau upaya dari pihak tertentu yang berusaha mengambil kembali wakaf tersebut,” ujarnya.

Penyelesaian sengketa

Jika akhirnya terjadi juga sengketa antara pengelola tanah wakaf dengan ahli waris menurut pejabat Kankemenag Kota Tegal, Drs. Abdul Ghofir, penyelesaiannya dapat dilakukan dengan merujuk PP. No. 28 tahun 1977 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah secara legitasi dengan diajukan ke Pengadilan Agama setempat.

Atau berdasar UU No. 41 Tahun 2004 penyelesaian sengketa wakaf dapat ditempuh secara non legitasi melalui musyawarah jika tidak bisa ditempuh dengan cara mediasi, seperti diatur dalam  Pasal 62   Ayat (1) : “Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mufakat”

Ayat (2): “Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan. Ketentuan pasal tersebut diberi penjelasan, bahwa yang dimaksud pengadilan tersebut adalah Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar‟iyyah.

Adapun pihak-pihak yang berperan penting dalam menjalankan hukum wakaf adalah Menteri Agama yang wajib membina, mengawasi dan mengikutsertakan Badan Wakaf Indonesia (BWI), memperhatikan saran, pertimbangan MUI dalam membina dan mengawasi penyelenggaraa wakaf.

Kemudian Nadhir bertugas mengadministrasikan harta benda wakaf, mengelola, mengembangkan harta wakaf sesuai fungsi, mengawasi dan melindungi serta melaporkan tugasnya kepada BWI dan dilarang mengubah pendayagunaan harta wakaf, status harta wakaf tanpa ijin.

Wakaf harus produktif

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara berpendapat, sudah saatnya aset wakaf kini dimanfaakan secara produktif. Selain positif bagi masyarakat berpenghasilan rendah, pengembangan pengelolaan zakat juga akan ikut menarik pertumbuhan keuangan syariah dan sektor riil berbasis syariah.

Hasil sebuh studi menunjukkan beda pendapatan masyarakat makin lebar. Program pengentasan kemiskinan sudah digelar oleh semua pihak untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dari keuangan komersial hingga dana sosial yang kelola lembaga kemanusiaan.

Masyarakat berpenghasilan rendah menurut dia, tidak dapat memenuhi risiko dari jasa keuangan komersial. Di sisi lain pemerintah juga punya keterbatasan. Wakaf adalah raksasa tidur yang mampu mendorong pergerakan ekonomi jika diarahkan pada kegiatan produktif seperti infrastruktur multifungsi.

Wakaf, kata Mirza, jadi instrumen penting di masa Turki Usmani dalam pendidikan, ibadah dan layanan umum. Banyak fasilitas umum yang dibangun menggunakan aset wakaf, Universitas Al Azhar di Kairo contohnya.

Aset wakaf nasional terbilang besar. Data BWI menunjukkan, saat ini ada sekitar 400 miliar meter persegi tanah wakaf.  Pengelola wakaf (nazir) harus mengelola aset sesuai amanat wakif. Aset ini memberi peluang keuangan Islam untuk berperan mengentaskan kemiskinan.

”Tapi masih banyak yang menafsirkan wakaf secara konservatif dan tradisional. Padahal, ulama sudah mengembangkan wakaf lebih produktif sehingga wakaf tak cuma aset fisik tapi lebih produktif dan meningkatkan kesejahteraan umat,” ujarnya.

Tentunya seperti diyakini Mirza, kehadiran BWI diharapkan bisa membuat fungsi dan peran wakaf meningkat signifikan. Untuk itu dibutuhkan pengembangan inovatif agar peran wakaf terhadap pembangunan bisa lebih besar. ”Dapat dibayangkan, pengembangan wakaf secara sistematis bisa beri efek bola salju termasuk untuk masyarkat berpenghasilan rendah.” (R01/P001)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)