HRW: Reformasi Hak Asasi Harus Jadi Prioritas Pemerintah Baru Myanmar

New York, 27 Rajab 1437/5 Mei 2016 (MINA) – Pemerintah baru yang dipimpin oleh Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) harus mengisyaratkan dan menempatkan masalah ke dalam agenda prioritas reformasi yang akan dilakukan.

Hal itu diungkapkan oleh Human Right Watch () dalam sebuah surat yang disampaikan kepada Presiden Myanmar Htin Kyaw, Kamis (5/5), seperti dijelaskan dalam pernyataan pers yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA).

“Pemerintah yang dipimpin NLD telah mengambil langkah tepat dengan melepaskan banyak tahanan politik dan menghapus dakwaan terhadap ratusan aktivis,” kata Brad Adams, Direktur Divisi Asia HRW.

“Tapi masih banyak masalah rumit yang harus disentuh, terkait dengan isu-isu seperti hak-hak minoritas, sengketa tanah, dan kebebasan berekspresi, yang memerlukan rencana yang jelas dan tindakan spesifik untuk dipecahkan dengan sukses,” tambah Adams.

NLD, partai yang dipimpin tokoh prodemokrasi Aung San Suu Kyi, menang telak dalam pemilu 8 November lalu dan sekaligus mengakhiri era pemerintahan militer yang telah berkuasa di negara mayoritas Buddha itu selama lima dekade atau sejak 1962.

Namun meski menguasai parlemen, pemerintahan sipil NLD yang dikomandoi oleh Htin Kyaw tetap menghadapi hambatan struktural yang serius untuk melembagakan reformasi. Hal yang mengganjal itu termasuk keberadaan konstitusi 2008, yang memungkinkan militer mempertahankan kontrol signifikan atas pemerintahan sipil.

Militer masih mengontrol posisi-posisi strategis di eksekutif, yakni membawahkan kementerian pertahanan, dalam negeri, dan urusan perbatasan, dan diberi kewenangan untuk membubarkan pemerintahan. Militer juga memiliki jatah 25% kursi di parlemen.

Tantangan lainnya, lanjut HRW, adalah peradilan yang kurang terlatih dan tidak profesional, minimnya penegakan hukum, dan militer dan polisi yang tidak akuntabel. Pasukan keamanan terus menangkap pengunjuk rasa damai dan kritikus pemerintah, sementara sekitar 61 tahanan politik masih ditahan.

“Setengah abad kekuasaan militer tidak dapat hanyut dalam semalam, tetapi ada banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah baru dalam jangka pendek untuk mengatur nada dan arah baru,” ujar Adams.

“NLD harus menggunakan mandat luas yang diamanatkan untuk menjamin hak-hak semua rakyat Burma (Myanmar-red) dihormati dan kekuasaan demokratis yang sejati memegang kendali,” tegasnya.

Kelompok militan Buddha dan sejumlah kelompok mayoritas lainnya telah menghasut atau berpartisipasi dalam kekerasan dan diskriminasi terhadap agama dan etnik minoritas, termasuk tergadap etnik Rohingya dan komunitas Muslim.

Ketika sebagian besar negara-negara Asia Tenggara telah melihat perkembangan ekonomi signifikasn selama setengah abad terakhir, puluhan tahun kekuasaan militer di Myanmar telah membuat sebagian besar warga negara itu terjerembab ke jurang kemiskinan ekstrem, yang diperparah oleh korupsi skala besar.

Konflik bersenjata yang sedang berlangsung antara pemerintah dan kelompok etnis bersenjata juga telah melahirkan pelanggaran kejam, kesulitan ekstrem, dan arus perpindahan jutaan warga sipil.

HRW meminta pemerintah Presiden Htin Kyaw untuk segera melakukan reformasi terhadap aturan represif dan tindakan penyalahgunaan hukum yang masih dilakukan oleh para pejabat lokal untuk membungkam kritik.

Pemerintah baru menghadapi tantangan besar untuk memperbaiki hak asasi manusia dan kondisi kemanusiaan Muslim Rohingya. Mengakhiri diskriminasi dan ancaman kekerasan terhadap semua komunitas minoritas Muslim amat krusial untuk mencegah ketegangan komunal dan agama lebih lanjut.

“Pembatasan yang telah lama dibebankan terhadap hak-hak dasar Rohingya dan minoritas lainnya harus segera dihapus,” kata lembaga hak asasi yang berbasis di New York, Amerika Serikat tersebut.

Kebijakan pembatasan kebebasan bergerak turut berkontribusi pada insiden terbaru tewasnya sekitar 20 warga Muslim Rohingya di laut pada 19 April lalu. Kapal yang mereka tumpangi terbalik dihempas ombak saat akan mendekati Sittwe, ibu kota Negara Bagian Rakhine.

“Undang-Undang Kewarganegaraan 1982, yang telah secara efektif membuat orang Rohingya tak berkewarganegaraan, harus menjadi prioritas. Pemerintah baru juga harus mencabut empat undang-undang yang bersifat mendiskriminasi ‘ras dan perlindungan agama’ yang disahkan oleh pemerintah sebelumnya,” tegas HRW.

HRW mendesak militer untuk menghentikan blokade reformasi konstitusi. Pada saat yang sama, pemerintah harus membuat komitmen untuk mencabut atau mengubah ketentuan dan aturan diskriminatif yang termaktub dalam konstitusi 2008.

“Pemerintah baru memiliki kesempatan bersejarah untuk menunjukkan kepada rakyat Burma bahwa pemilu baru-baru ini akan membawa perubahan yang nyata,” kata Adams. “Tapi yang sangat krusial adalah militer perlu menepi dan memungkinkan pemerintah melakukan reformasi yang sangat diperlukan,” pungkasnya. (L/P022/R05)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.