Ibadah yang Sia-Sia (Oleh Hadi Susilo, Universitas Mathla’ul Anwar)

Oleh: Hadi Susilo, M.Si; Kepala Bidang Humas, Kerjasama, dan Pelayanan Pusat Kajian Produk Halal Universitas Mathla’ul Anwar Banten

Definisi Ibadah
Secara bahasa (etimologi),  ibadah berarti merendahkan diri serta tunduk,  adapun ibadah menurut syara’ (terminologi), mempunyai beberapa definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi ibadah antara lain adalah:

  1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
  2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
  3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.

Allah berfirman dalam Al-Qur”an, tentang  tujuan penciptaan manusia  termasuk jin adalah untuk beribadah:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58].

Syarat Diterimanya Ibadah

Islam sebagai agama yang memberi rahmat bagi seluruh alam memberikan pedoman tentang syarat diterimanya ibadah.  Ibadah adalah perkara tauqifiyah, yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”

Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:

  1. Ikhlas karena Allah semata.
    2. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah

Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.

Keutamaan Ibadah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” [Al-Mu’min: 60]

Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.

Di antara keutamaan ibadah adalah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah.

Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemungkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.

Ibadah yang Sia-Sia

Imam Abu Hanifah berkata, “Seandainya seseorang terus beribadah kepada Allah sehingga seperti tonggak, namun ia tidak peduli makanan apa yang masuk dalam perutnya, halal atau tidak, maka semua ibadahnya sia-sia tidak diterima.

Makanan yang haram membawa pengaruh yang besar, Imam Sahal menyatakan, orang yang makan makanan haram tidak akan terbuka hatinya. Sholat, puasa, dan sedekahnya tidak diterima oleh Tuhan. Bahkan, dengan makanannya itu, ia akan mendapat siksa.
Ali  Al-Khawas menyatakan, beribadah dengan modal makanan haram adalah seperti merpati yang mengerami telur busuk. Sia-sia belaka. Perbuatan yang menyusahkan diri sendiri, dengan diam lama di tempat, padahal tidak akan ada telur satupun yang menetas, dan sebaliknya, yang keluar justru bau busuk.Adapun dengan makan yang halal, Ali Al-Khawas menyatakan, seseorang yang makan yang halal, hatinya lembut, tipis, dan bersinar.

Nabi Muhammad saw bersabda, “Barang siapa makan dengan halal dan menjalankan sesuai dengan sunah dan manusia yang lain selamat dari gangguannya, niscaya ia masuk surga. “Kemudian para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya apakah ada orang semacam ini di tengah umatmu yang banyak?” Beliau menjawab,”Dan akan ada orang-orang itu pada waktu-waktu sesudahku.” (HR Tirmidzi dari Abu Sa’id Al Khudri).

Mari makan makanan yang halal, semoga ibadah kita tidak sia-sia.. …aamin.

(A/R01/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0