IDEAS Ingatkan Pemerintah Soal Utang Luar Negeri

Jakarta, MINA – Lembaga Indonesia Development and Islamic Studies () mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati soal (ULN) yang telah mencapai angka 395,3 miliar dolar AS atau setara Rp 5.545 triliun (kurs Rp 14.038/dollar) per Juli 2019 lalu.

“Kita melihat dengan pola (pengelolaan anggaran) seperti ini, kita melihat tidak ada perubahan dalam pengelolaan anggaran kita, sehingga kurva utang luar negeri dalam enam tahun terakhir terus bergerak naik,” kata Direktur IDEAS dalam sebuah seminar di Jakarta, Senin (16/9).

Dalam seminar bertajuk “(Mimpi) Anggaran untuk Rakyat, Mengukir Asa, Melambung Utang” Yusuf mengungkapkan, stok utang luar negeri Indonesia sejak Juli 2009 hingga Juli 2019 mengalami peningkatan, khususnya enam tahun terakhir sejak pertengahan 2013 dengan kecepatan signifikan.

“Sejak pertengahan 2013 ini perubahannya sangat besar sekali sampai sekarang, kisarannya antara 80 sampai 100 triliun pertambahan utang. Berarti hampir empat kali lipat pertambahannya dari tahun sebelum itu. Sama sekali tidak menunjukkan angka penurunan,” katanya.

Menurut dia, pemerintah selalu mengeluarkan statement standar terkait utang luar negeri, yang paling sering adalah bahwa utang luar negeri Indonesia masih dalam kategori aman terkendali dengan indikator utama stok utang terhadap PDB.

“Asumsi standar internasional, stok utang yang aman itu adalah di bawah 60 persen terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). Ini adalah kesepakatan internasional. Tetapi menurut kami, ini adalah indikator yang spekulatif,” ujarnya.

Pemerintah, kata dia, selalu menggunakan argumen tersebut sebagai bandingan bahwa utang masih aman, sebab utang sekarang masih di kisaran 30 persen terhadap PDB. Jumlah itu masih jauh di bawah asumsi standar internasional yang menetapkan 60 persen terhadap PDB.

“Ini kita katakan spekulatif kenapa? Karena PDB itu sumber penerimaan pemerintah dalam bentuk penerimaan pajak. Ketika stok utang masih 30 persen, artinya kita masih memiliki peluang yang besar untuk menarik pemasukan perekonomian dari PDB untuk bayar utang,” katanya.

Dalam kenyataannya, kata dia, pemerintah justeru berharap pada pertumbuhan ekonomi dalam negeri bisa tinggi, lalu kemudian menerima pendapat perpajakan. Tapi masalahnya adalah kapasitas pemerintah untuk menarik pemasukan sangatlah rendah.

“Sejak 2013 atau dalam enam tahun terakhir, tax ratio itu selalu menurun. Output 2019 dan 2020 memang sedikit menanjak, tapi itu masih asumsi, belum faktanya nanti bagaimana pertumbuhan ekonomi dan berapa penerimaan pajak. Mudah-mudahan draft yang disampaikan Bu Menkeu betul,” katanya.

Menurut Yusuf, kalau target pemerintah tercapai, tax ratio tetap tidak akan jauh dari 10 persen saja. Kalau di nota keungan pemerintah, tax ratio tahun 2019 berada pada angka 11,5 persen. Jumlah itu termasuk penerimaan SDA. Jika perpajakan, tax ratio hanya pada kisaran 10 persen saja.

“Jadi sebetulnya ini tidak aman juga menurut kami. Utang negara yang berada di kisaran 30 persen terhadap PDB menjadi tidak aman kalau tax rationya rendah. Ini menurut kami satu indikasi yang sangat mengkhawatirkan bahwa dalam enam tahun terakhir ini stok utang pemerintah menunjukkan angka yang semakin meningkat jika dibandingkan dengan pola sebelum 2013,” paparnya.

Yusuf kemudian membandingan utang Indonesia dengan Amerika dan Jepang. Amerika, kata dia, memiliki utang lebih dari 100 persen terhadap PDB. Sementara Jepang mencapai 200 persen dari PDB. Keduanya memiliki kemampuan menarik penerimaan pendapatannya cukup tinggi.

“Tax ratio kedua negara tersebut berada di kisaran 30 persen. Nah jadi ini perlu disikapi dengan hati-hati. Apalagi tren negara kita, stok utang terhadap PDB terus mengalami kenaikan. Betul memang naiknya tidak tinggi, tapi konsisten naik,” katanya. (L/R06/RI-1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)