Idul Adha Dalam Pemahaman Konseptual

Oleh Rifa B. Arifin, Wartawan MINA

Hari raya tahun ini jatuh pada tanggal 12 September, Umat Islam akan menyembelih hewan untuk memperibadati kisah kesediaan Nabi Ibrahim alaihissalam untuk mengorbankan anakanya Ismail sebagai sikap abdi dan penyerahan Ibrahim kepada Allah SWT.

Menyembelih hewan selama Idul Adha mempunyai nilai spiritual ubudiyah sebagai ciri kesalehan yang mendekatkan seorang hamba pada RabbNya. Maka nama lain dari Idul Adha (Idul Kurban) secara etimologis berarti qurb yaitu dekat dan lebih dekat.

Di dengan populasi Muslim terbesar di dunia, ada hal menarik dari Idul Adha tahun ini, meskipun dengan ketertarikan itu menimbulkan kekhawatiran.

Semakin dekatnya hari libur maka harga hewan kurban (biasanya kambing, domba dan sapi) meningkatkan secara signifikan. Kambing dibandrol dengan harga minimal Rp 2 juta (US $ 151) bahkan bisa lebih.

Idul Adha tampaknya telah menjadi ladang bisnis yang menjanjikan bagi para pedagang hewan ternak.

Hal ini terjadi karena permintaan hewan qurban yang tinggi, Indonesia yang dalam pertumbuhan ekonomi menengah bertumbuh pesat. Banyak orang saat ini mampu membeli hewan, bahkan di beberapa daerah dilaporkan mengalami kekurangan  stok hewan kurban.

Poin penting yang perlu ditekankan bahwa di Indonesia, setiap desa bahkan kecamatan bisa menyembelih puluhan hewan untuk diqurbankan, uang yang berjumlah besar ini dihabiskan untuk membeli hewan yang disembelih hanya selama 1-4 hari Idul Adha dan “manfaatnya” hanya bisa dirasakan tidak lebih dari keempat hari itu. Seandainya uang yang dihabiskan itu disisihkan untuk keperluan pendidikan yang manfaatnya berlangsung lebih lama, tentu akan ada perbedaan yang signifikan.

Ini harus menjadi perhatian, dengan pertimbangan bahwa dalam beberapa tahun terakhir banyak orang memiliki kebutuhan yang lebih mendesak daripada membeli  hewan kurban.

Benar bahwa menyembelih hewan kurban bersifat ritual murni atau disebut Ibadah mahdah yang ditekankan untuk sempurnanya Idul Adha. Tapi di sisi lain, perlunya kita melihat ibadah dalam penekanan yang sifatnya subtansional, tidak hanya sekedar memilki makna spiritual.

Keyakinan yang berasal dari pandangan sebagian ulama Muslim bahwa pengorbanan Idul Adha tidak bisa digantikan oleh sedekah uang tunai, hanya terbatas pada hewan seperti kambing, sapi, domba atau unta.

Bahkan, pendapat berbeda dalam fiqh tradisional (hukum Islam). Ya, sebagian besar fuqaha klasik (ahli fiqh) berpendapat hal seperti yang umum diyakini.

Meskipun demikian, ada posisi minoritas senilai mempertimbangkan bahwa simbolis ritual itu bukan pada binatang yang disembelih tetapi pada tindakan pemotongan itu sendiri. Dengan kata lain, bagian penting adalah penumpahan darah, bukan jenis hewan.

Pandangan ini kemudian dianut oleh beberapa ahli fikih klasik, seperti al-Sha’bi dan Abu Thaur, dan itu mungkin telah juga diadopsi oleh Sunan Kudus, salah satu legendaris sembilan orang kudus (Wali Sanga atau dai pertama Islam di Jawa), ketika ia dan pengikutnya diganti sapi dengan kerbau untuk kurban untuk menghormati tetangga Hindu mereka.

Ada pandangan lain berasal dari Ulama modernis tetapi untuk tingkat tertentu memiliki dasar di salah satu perkataan Aisyah, istri termuda Nabi.

Seperti dicantumkan oleh Ibnu Qudamah (al-Mughni, 12/450), Aisyah pernah berkata ia lebih suka bersedekah dalam bentuk cincin berharga sebagai hadiah kepada warga Mekkah daripada menyembelih 1.000 hewan.

Pandangan ini pernah dikategorikan sebagai pendekatan kontekstual oleh almarhum Kyai Ali Mustafa Ya’qub, mantan imam dari Masjid Agung Istiqlal di Jakarta Pusat.

Tentu akan ada argumen keberatan diajukan: jika saja kurban dalam bentuk uang tunai lebih baik dari menyembeih hewan selama Idul Adha, tentu Nabi dan para sahabatnya akan contohkan itu.

Argumen kontra untuk keberatan ini menunjukan bahwa konteks sosial pada waktu itu berbeda secara signifikan dengan hari ini. Berbeda karena kebutuhan masyarakat kontemporer sekarang yang jauh lebih banyak daripada mereka di masa lalu.

Ini hanya opini, karena pada akhirnya semuanya kembali pada Ulama dan Cendikiawan Muslim itu sendiri. Karena mereka yang memegang manuver khalayak Muslim di sekitarnya.

Tapi baru-baru ini ada upaya di kalangan cendikia Muslim, yang mengembangkan kaidah yang disebut fiqh al-waqi ‘atau fikih realitas, sebuah fikih dengan pendekatan pragmatis yang mengambil kondisi sosial kontemporer sebagai salah satu dasar yurisdiksi.

Pandangan kontekstualis tersebut berdasar pada ayat Al-Qur’an surah al-Hajj ayat 37 yang mengingatkan umat Islam bahwa ” Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. ”

Hal terakhir tanpa mengesampingkan konteks ubudiyah, selain menyadari akan adanya manfaat yang lebih subtansif, pendekatan pragmatis ini juga dapat menjadi opsi bagi umat Islam untuk berdialog demi terbangunnya pemahaman syariat yang konseptual. (P013/R02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.