IHW Soroti Pembentukan Komite Fatwa Halal di bawah Kemenag

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW), Ikhsan Abdullah.(Foto: Istimewa)

Jakarta, MINA – Direktur Eksekutif Indonesia Watch (), , menyoroti rencana pembentukan Komite Fatwa di bawah Kementerian Agama (Kemenag).

Hal tersebut tertuang dalam pasal pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 yang hingga kini masih menjadi persoalan untuk diterbitkan.

“Fatwa Produk Halal mestinya tetap harus berada di MUI, sementara Komite Fatwa hanya untuk penetapan sertifikasi halal dengan pernyataan pelaku usaha (self declare) bagi produk usaha mikro dan kecil saja,” kata Ikhsan saat melakukan kunjungan ke Kantor Berita MINA, Jakarta, Jumat (10/2).

Dia menyampaikan usulan tersebut sudah masuk di draft rancangan Perppu. Terlebih, DPR belum juga mengesahkan produk pengganti undang-undang ini menjadi undang-undang.

Perppu Nomor 2 Tahun 2022 menjadi polemik dan menimbulkan berbagai spekulasi di tengah masyarakat.

Sedikitnya enam kelompok masyarakat mengajukan permohonan uji materiil terhadap Perppu tersebut.

Pada Pasal 33B Ayat 1 Perppu Nomor 2 Tahun 2022, dinyatakan bahwa pemerintah membentuk Komite Fatwa di bawah Kementerian Agama (Kemenag).

“Fatwa atas produk halal yang semula menjadi otoritas tunggal Majelis Ulama Indonesia (MUI) kini sebagian diambil alih oleh negara,” ujarnya.

Dengan kata lain, lanjut Ikhsan, fatwa penetapan produk halal saat ini tidak lagi menjadi otoritas tunggal MUI, tapi telah direduksi dengan dibentuknya Komite Fatwa, di mana negara juga memberikan kewenangan kepada Komisi Fatwa Kemenag untuk menerbitkan fatwa.

Dia menilai, terbentuknya Komite Fatwa dipicu oleh adanya beberapa asumsi yang berkembang, antara lain tingginya volume permintaan sertifikasi halal tidak sebanding dengan rasio fatwa yang dihasilkan Komisi Fatwa MUI.

“Karena itu, negara dianggap perlu intervensi dengan membentuk Komite Fatwa. Namun, faktanya tidaklah benar. Berdasarkan data per 28 Desember 2022, tidak ada satu pun permintaan sertifikasi halal tertunda yang diajukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) ke MUI,” ungkapnya.

Ikhsan mengatakan, hampir semua fatwa produk halal dapat dituntaskan sesuai dengan frame atau tenggat waktu waktu yang ditetapkan BPJPH.

Sebanyak 2.547 dapat diproses dalam tiga hari, 2.709 data dapat diproses selama 2 hari, bahkan 5.637 data dapat diproses hanya dalam satu hari.

Selain itu, dari jumlah pelaku usaha sebanyak 105.326, jumlah sidang yang dilakukan di 2022 hanya 114 kali.

Padahal, kapasitas MUI dalam melaksanakan sidang penetapan halal jauh di atas angka 100.000.

Menurut Ikhsan. Kalaupun saat ini masih tersebar informasi mengenai jutaan produk yang belum memperoleh sertifikasi halal, hal tersebut bukan disebabkan karena proses penetapan fatwa produk halal di MUI yang lambat, melainkan karena sistem pendaftaran di BPJPH yang tidak mudah diakses oleh pelaku usaha UMKM khususnya.

Akibatnya jumlah data yang berhasil teregistrasi jauh lebih sedikit ketimbang yang mengajukan permohonan pendaftaran.

Data yang sudah teregistrasi inilah yang kemudian sampai kepada tahapan proses pemeriksaan produk oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).

Selanjutnya apabila hasil pemeriksaanya dinyatakan tidak mengandung cemaran babi, maka hasilnya disampaikan kepada BPJPH untuk diajukan permohonan fatwa kepada MUI.

“Sekali lagi, data tersebut menunjukan bahwa Komisi Fatwa MUI dapat menyelesaikan permohonan Fatwa Produk Halal yang diajukan oleh BPJPH sesuai tenggat waktu yang telah ditetapkan, bahkan masih sangat banyak idle (waktu tersisa) yang seharusnya dimanfaatkan,” ujarnya.

Ikhsan menambahkan, persoalannya adalah lebih pada sistem registrasi online di BPJPH yang tidak ramah akses bagi industri kecil maupun menengah.(L/R1/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)