Bogor, 10 Jumadil Akhir 1437/19 Maret 2016 (MINA) – Imaamul Muslimin Yakhsyallah Mansur mengatakan, perjuangan untuk memajukkan Islam tidak bisa dilakukan melalui partai politik beserta unsur-unsurnya.
“Sejarah kepartaian Islam adalah sejarah pertentangan dan perselisihan. Hal ini menyadarkan Wali Al-Fattaah (1908-1976), Wakil Ketua II dalam pengurusan Partai Masyumi tahun 1945, yang menyatakan bahwa memperjuangkan Islam tidak mengkin dilakukan lewat partai politik bahkan Islam itu sama sekali tidak mengandung unsur politik,” kata Imaam Yakhsyallah.
Hal itu disampaikan Imaamul Yakhsyallah saat acara Talkshow bertema “Siapa Bilang Islam Non-Politik” yang diselenggarakan oleh Syubban Fatayat Jama’ah Muslimin (Hizbullah) bekerjasama dengan Pesantren Al-Fatah Bogor dan Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency) di Masjid At-Taqwa Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (19/3).
Sebagai konsekuensi Islam sebagai ajaran Non-Politik, kata Imaam Yakhsyallah, maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diutus bukan sebagai figur politik, hal ini antara lain dibuktikan ketika ditawari menjadi penguasa beliau tidak bersedia.
Baca Juga: Tim SAR dan UAR Berhasil Evakuasi Jenazah Korban Longsor Sukabumi
“Kalau beliau seorang politikus tentu bersedia menerima tawaran tersebut karena di dalam dunia politik terdapat doktrin ‘kuasa dulu baru dokrin dijalankan’. Beliau diutus bukan untuk mengejar dan merebut kekuasaan, begitu juga ketika beliau menerima Perjanjian Hudaibiyah tahun 6 Hijriyah yang secara lahiriyah merugikan umat Islam,” ujarnya.
Menurutnya, perjanjian yang dilakukan oleh Rasullullah bukanlah tindakan politik, tetapi merupakan fathonah yang dikaruniakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
“Perjanjian yang tampaknya merugikan itu ternyata merupakan langkah yang strategis yang sangat menguntungkan bagi pengembangan Islam pada masa selanjutnya,” tegasnya.
Lebih lanjut, ketika mengomentarai pandangan Wali Al-Fattaah yang dinilai sebagian orang berdasar pada pola sistem politik, Imaam Yakhsyallah menegaskan, Syaikh Wali Al-Fattah berpandangan bahwa Islam sebagai wahyu Allah telah sempurna.
Baca Juga: BKSAP DPR Gelar Kegiatan Solidaritas Parlemen untuk Palestina
“Pada awal tahun 50-an, Syaikh Wali Al-Fattah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama yang sempurna sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3, tidak memerlukan formulasi teori politik yang merupakan produk akal manusia. Oleh karena itu, pada tanggal 3 Januari 1955 beliau secara resmi mengundurkan diri dari kancah politik dengan keluar dari partai Masyumi,” ujarnya.
Hadir pada kesempatan itu, tampil sebagai narasumber : KH Abul Hidayat Saerodjie (Penasihat Pondok Pesantren Al-Fatah), Qomaruddin Basyuni (Pakar Sejarah Islam dari Jama’ah Muslimin (Hizbullah), dan Adnan Fairuz, Lc. bin Zubaidi Ardani (da’i muda Jama’ah Muslimin (Hizbullah), serta dihadiri ratusan tamu undangan yang datang dari Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Lampung. (L/ima/P011/P4).
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Warga Israel Pindah ke Luar Negeri Tiga Kali Lipat