Jakarta, MINA – Setidaknya 68 peserta dari delapan negara berkumpul di Jakarta pada Kamis (16/11) untuk membahas perubahan muka air laut dan dampaknya terhadap lingkungan pesisir di Laut Cina Selatan.
Para peserta datang dari negara seperti Cina, Indonesia, Laos, Myanmar, Filipina, Singapura, Taiwan, dan Vietnam untuk membahas studi tersebut. Pertemuan diselenggarakan Badan Informasi Geospasial (BIG) di Indonesia dan difasilitasi oleh Kementerian Luar Negeri.
Studi dibahas oleh Dr. Ibnu Sofian dari Indonesia. Ibnu melaporkan, gas rumah kaca yang disebabkan oleh aktivitas manusia telah menyebabkan pemanasan global yang dapat mengubah suhu dan permukaan laut. Hal ini dapat menyebabkan percepatan proses erosi, perubahan garis pantai, dan penurunan luas lahan basah di zona pesisir.
“Pada akhirnya, fenomena ini dapat merusak ekosistem lahan basah di daerah pesisir. Oleh karena itu, integrasi adaptasi kenaikan muka air laut ke dalam perencanaan tata ruang diperlukan untuk mengurangi risiko dampak kenaikan permukaan air laut,” katanya sebagaimana disiarkan Kemlu dalam sebuah pernyataan yang diterima MINA.
Baca Juga: Menag RI dan Dubes Sudan Bahas Kerja Sama Pendidikan
Pembicara lainnya, Vu Tien Thanh dari Administrasi Laut dan Kepulauan Vietnam, mempresentasikan studi tentang pasang surut dan perubahan permukaan laut Vietnam dan dampaknya terhadap wilayah pesisir Vietnam dan Teluk Tonkin.
Dalam presentasi tersebut, ia membahas proyek yang baru saja dimulai pada bulan Juli 2017 namun hasilnya masih terbatas. Hasil yang lebih komprehensif akan dipresentasikan pada pertemuan kelompok kerja berikutnya. Dia juga menegaskan kembali pentingnya berbagi hasil penelitian serupa dari pihak lain yang mengelilingi Laut Cina Selatan.
Pertemuan yang dibentuk dalam beberapa sesi itu juga menampilkan laporan Prof. Yu-heng Tseng dari Universitas di Taiwan. Dalam presentasinya tentang “Outlook of the South China Sea Ocean Dynamic“, dia melaporkan bahwa variabilitas permukaan laut di Laut Cina Selatan lebih besar daripada perubahan rata-rata global dalam dua dekade terakhir.
“Menggunakan model samudra dapat membantu kita memahami mekanisme fundamental dan penyebab variabilitas. Namun, model samudra mutakhir masih memerlukan perbaikan lebih lanjut saat ini,” katanya.
Baca Juga: Mendikti Sampaikan Tiga Arah Kebijakan Pendidikan Tinggi Indonesia
Dia juga mencatat peran penting interaksi laut dan atmosfer serta anggaran air tawar di Laut Cina Selatan mengenai sistem iklim global. Kerja sama lebih lanjut antara pihak-pihak di sekitar Laut Cina Selatan perlu ditekankan pada aspek-aspek ini agar lebih memahami hasil perubahan muka air laut di masa depan. (R/RE1/RI-1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Kedutaan Besar Sudan Sediakan Pengajar Bahasa Arab untuk Pondok Pesantren