Inilah Pesan Nabi SAW untuk Umatnya

Oleh Bahron Ansori, Redaktur MINA

Suatu hari, Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda kepada Abu Dzar Jundub bin Junadah, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada. Ikutilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik niscaya kebaikan akan menghapusnya dan pergaulilah manusia dengan budi pekerti yang mulia.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Birri Washshilah, hadits no. 1987. At-Tirmidzi mengatakan: Hadits ini hasan shahih. Asy-Syaikh Al-Albani menghasankan dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Bila dihayati, tiga pesan Nabi di atas, sebenarnya adalah kunci dalam meraih berbagai kesuksesan hidup di dunia hingga akhirat. Namun, tidak semua insan di bumi ini tahu bahwa  pesan Nabi itu adalah kunci kemenangan.

Pesan-pesan di atas, sejatinya bukan hanya untuk seorang sahabat seperti Abu Dzar saja, tapi juga untuk seluruh kaum muslimin dimana pun berada, agar tunduk dan patuh kepada apa-apa yang dibawa dan disampaikan Nabi. Tujuan tiga dari wasiat Nabi itu adalah agar umat Islam bisa melaksanakannya sehingga ia akan selamat dunia akhirat.

Berikut adalah sekilas uraian tentang tiga wasiat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di atas.

Pertama, ittaqillah ‘bertakwa kepada Allah’ dimana saja berada. Sangat mudah bagi setiap lisan untuk mengucapkan kata ‘’, tapi tidak semudah mengucapkan saat kata ‘takwa’ itu mulai di amalkan. Takwa adalah alat untuk mengukur sejauh mana keyakinan seorang hamba dalam mengamalkan setiap perintah-Nya, dan meninggalkan larangan-Nya.

Dengan kata lain, rasa takwa di dalam diri seorang hamba akan menunjukkan sebenar dan sebesar keimanannya kepada Allah. Karena itu, takwa menjadi key word (kata kunci) dalam menyelesaikan setiap permasalahan hidup. Dengan takwa itu pula, manusia jadi punya kualitas dihadapan manusia terlebih lagi di hadapan Allah Ta’ala.

Banyak dalil dari al Qur’an dan as Sunnah yang meminta agar setiap hamba menjadi orang yang bertakwa. Takwa adalah sebuah wasiat yang mengandung inti pengamalan atas hak-hak Allah dan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan seorang hamba. Tentang takwa itu, Umar bin Abdul Aziz mengatakan, “Takwa kepada Allah adalah meninggalkan apa yang Allah haramkan dan melaksanakan apa yang Ia wajibkan.” (Jamiul Ulum wal Hikam, 1/400)

Allah berfirman juga telah berfirman tentang sifat orang-orang yang bertakwa dalam al Quran surat al Baqarah ayat 177 yang artinya, “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah: 177)

Kedua, melakukan amal kebaikan setelah melakukan dosa dan kesalahan. Beruntung sekali orang yang selalu punya niat baik di hatinya, dan berusaha untuk senantiasa berbuat baik kepada semua makhluk Allah Ta’ala. Sebagai manusia sempurna (banyak salah dan dosa), maka sewajarnya manusia itu selalu ingat kepada Allah Ta’ala dengan berzikir selepas melakukan kesalahan dan dosa. Salah satu zikir yang sangat dicintai Allah adalah mengucapkan ‘istighfar’ memohon ampunan kepada Allah Ta’ala.

Seperti disebut dalam sebuah hadis bahwa iman manusia itu kadang naik dan kadang turun. Maka saat iman itu turun, saat itu pula banyak manusia yang tergelincir dalam kubangan dosa dan maksiat. Dosa dan maksiat akan menjadi hijab (dinding pembatas) bagi seorang hamba untuk bisa dekat kepada Allah. Karena itu, berbuat baik (istighfar) atau melakukan kebaikan selepas melakukan kesalahan adalah jalan terbaik agar iman itu bercahaya kembali.

Tentang perbuatan baik itu, Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (Qs. Hud: 114).

Ayat di atas asbab turunnya karena ada sebuah kisah dari sahabat Ibnu Mas’ud yang mengatakan kala itu ada seorang lelaki mencium seorang wanita (bukan mahrom). Lalu orang itu berkata, “Wahai Nabi, apakah ayat itu khusus bagiku?” Nabi menjawab, “Bagi orang yang mengamalkannya dari umatku.” (HR. Bukhari, 4687)

Ketiga, miliki dalam setiap pergaulan. Manusia, tidak akan pernah bisa mengikat hati seseorang dengan hartanya, pangkat dan lain sebagainya. Kalau pun bisa, semua itu sifatnya hanya sementara saja (tidak langgeng). Tapi, manusia bisa mengikat hati manusia dengan akhlak mulia. Sebab akhlak mulia itu ibarat besi semberani, sekali ia menarik, maka benda-benda disekitarnya akan tertarik semua.

Begitu juga dalam kehidupan sehari-hari, seseorang akan dicintai oleh setiap manusi di manapun berada selama ia tetap mengedepankan akhlak mulia. Andai pun ia telah tiada, maka namanya akan tetap harum mewangi, dan tak pernah lekang di telan waktu. Lihat bagaimana akhlak Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Meski mereka sudah tidak hidup lagi di dunia ini, tapi cahaya akhlaknya masih terus dikenang dan diteladani oleh milyaran manusia sepanjang masa.

Tentang akhlak mulia itu, umat Islam tidak semestinya mencari contoh lain selain dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Kemuliaan akhlak Nabi sampai di puji dan diabadikan oleh Allah Ta’ala dalam al Quran. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik.” (Qs. Al-Ahzab: 21)

Bahkan, tentang akhlak mulia itu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri sudah bersabda, “Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad. Asy-Syaikh Al-Albani t menshahihkannya dalam Shahih Al-Adab)

Berakhlak mulia dalam kehidupan bermasyarakat adalah bukti nyata dari benarnya keimanan, lurusnya tauhid dan kokohnya amalan. Baik buruknya iman dan amal seseorang, akan terlihat bagaimana wujud akhlaknya. Maka tak heran, orang yang berakhlak mulia (berbudi luhur) akan mendapatkan kecintaan manusia lain.

Di antara contoh akhlak mulia antara lain; silaturahim, memaafkan kesalahan orang lain, berkata baik, benar dan lemah lembut, sopan santun dalam segala  hal, rendah hati, tidak banyak membuat-buat perkataan yang sifatnya ujub, termasuk selalu berwajah ceria dihadapan saudara sesama muslim lainnya merupakan akhlak mulia.

Ibnul Mubarak pernah berkata, “(Salah satu) bentuk akhlak mulia adalah wajah yang selalu berseri, memberikan kebaikan, dan mencegah diri dari menyakiti orang.” (Jamiul Ulum wal Hikam 1/457).

Semoga Allah Ta’ala menguatkan hati kita untuk selalu berakhlak mulia, walaupun dengan berwajah cerah, ceria saat berjumpa sesama muslim lainnya. Dengan begitu, rasa kasih dan sayang manusia kepada kita akan akan menjadi wasilah turunnya rahmat dari Allah, wallahua’lam. (A/RS3/RI-1)

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Wartawan: Bahron Ansori

Editor: Rudi Hendrik

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.