ISIS BANGUN NEGARA, BUKAN KHILAFAH

Tentara kelompok Islamic State (ISIS) sedang berlatih di sekitar Mosul, Irak Utara. (Foto: AP)
Tentara kelompok Islamic State () sedang berlatih di sekitar Mosul, Irak Utara. (Foto: AP)

Oleh Rudi Hendrik, wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Sebuah rahasia setebal 24 halaman milik kelompok Islamic State (ISIS/Daesh) bocor dan dipublikasikan oleh The Guardian, media internasional yang berbasis di Inggris, pada Senin, 7 Desember 2015.

Isi dokumen manual itu menunjukkan bagaimana ISIS secara matang merencanakan pembangunan sebuah di Irak dan Suriah, lengkap dengan berbagai departemen pemerintahnya dan program ekonomi untuk swasembada. Termasuk cetak biru membangun hubungan luar negeri, operasi propaganda dan mengontrol pusat minyak, gas dan bagian-bagian penting lain perekonomian.

Secara manual dokumen tersebut ditulis pada 2014 dengan judul “Prinsip Administrasi Negara Islam”.

Pada singkatnya, diambil kesimpulan bahwa kelompok bersenjata terkaya dan paling stabil itu sedang membangun sebuah negara.

Meski pejuang-pejuang pro-ISIS terlihat mereka berjanji setia untuk “berjihad”, namun seiring itu mereka sama-sama mengatur tentang hal-hal yang lebih sederhana seperti kesehatan, pendidikan, perdagangan, komunikasi dan pekerjaan.

ISIS  Membangun Negara

Meskipun pada 28 Juni 2014 Abu Bakr Al-Baghdadi menyatakan diri sebagai “khalifah” di Irak dan Suriah, diperkuat oleh para anggota ISIS yang kerap menyebut kelompoknya sebagai “”, tetapi sejak awal nama kelompok ini – baik versi Inggris maupun Arab – berarti “negara” bukan khilafah.

Dalam versi Inggris, ISIS bernama “Islamic State” yang diterjemahkan sebagai “Negara Islam”.

Kata “negara” –sama dengan “staat” dalam bahasa Jerman atau “state” dalam bahasa Inggris – mempunyai dua arti. Pertama, negara adalah masyarakat atau wilayah yang mempunyai kesatuan politis. Kedua, negara adalah lembaga pusat yang menjamin kesatuan politis itu, yang menata dan dengan demikian menguasai wilayah itu.

Sementara itu dalam ilmu politik, istilah “negara” adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dan dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat.

Dari beberapa pengertian, ringkasnya negara adalah suatu wilayah yang terdiri dari penduduk yang diperintah untuk mencapai satu kedaulatan.

Dalam kajian Islam sebagian umat Islam telah mengakrabkan istilah negara bermakna daulah, khilafah, hukumah, imamah dan kesultanan, meskipun tidak sepenuhnya benar.

Adapun dalam versi Arab, ISIS bernama al-Dawla al-Islamiya al-Iraq al-Sham (Negara Islam Irak dan Mediterania/Syam).

Istilah daulah berasal dari bahasa Arab, dari asal kata dala – yadulu – daulah yang berarti bergilir, beredar, dan berputar. Kata ini dapat diartikan kelompok sosial yang menetap pada suatu wilayah tertentu dan terorganisir oleh suatu pemerintahan yang mengatur kepentingan dan kemamfaatan.

Menurut sejarah, istilah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam ketika dinasti Abbasiyyah meraih tampuk kekuasaan pada pertengahan abad kedelapan.

Pada masa tersebut, kata daulat diartikan dengan kemenangan, giliran untuk meneruskan kekuasaan dan dinasti. Atau, jika sebelum masa Abbasiyyah pernah ada daulah Umayyah atau “giliran keluarga Umayyah”, maka selanjutnya adalah “giliran keluarga Bani Abbas” (daulah Abbasiyah).

Dien Syamsudin menyebutkan, berpangkal pada penisbatan dengan kekuasaan Abbasiyyah kemudian Ustmaniyyah, maka kata daulah mengalami transformasi makna menjadi “negara” atau “kekuasaan negara”. Dengan tegas Syamsuddin bertujuan menunjukan konsep negara atau negara-bangsa, pemikiran politik Islam mengajukan kata daulah, seperti terdapat dalam istilah din wa daulah yang berarti “agama dan negara”.

Faktanya adalah ISIS mencoba membangun sebuah negara dengan cara merampas negara lain.

Set cetakbiru dokumen rahasia kelompok Islamic State (ISIS) yang bocor kepada The Guardian. (Foto: The Guardian)
Set cetakbiru dokumen rahasia kelompok Islamic State (ISIS) yang bocor kepada The Guardian. (Foto: The Guardian)

ISIS adalah Khilafah?

Istilah khilafah mengandung arti “perwakilan”, “pergantian”, atau “jabatan khalifah”. Istilah ini berasal dari kata Arab “Khalf” yang berarti “wakil”, “pengganti” dan “penguasa”.

Dalam Islam, istilah ini telah tercantum di dalam Al-Quran dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Pernyataan yang salah jika kata ini pertama digunakan pada masa ketika Abu Bakar menjadi khalifah pertama setelah Nabi Muhammad.

Pemerhati politik dan sejarah Islam, Yayan DNS, menguraikan dalam satu tulisannya bahwa dalam sejarah Islam, para pelaku  Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (khilafah pengikut jejak kenabian) adalah Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyyin. Mereka dalah empat sahabat Rasulullah yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai ahli surga. Mereka adalah Khailfah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Ustman Bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Dari keterangan  hadits dan sejarah Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin tersebut dapat disimpulkan bahwa sunnah Nabi Muhammad itu meliputi juga sunnah Khulaur Rasyidin Al Mahdiyyin yang mengikuti jejak kenabian.

Yayan menulis, khilafah adalah satu-satunya sistem sosial dari Allah untuk mengurus dan menggembala umat manusia di muka bumi dengan segala isinya, berlandaskan Al-Islam yang menebarkan rahmat bagi semesta alam. Sebab Allah menyebut karakter dan tujuan kepemimpinan Nabi Muhammad dalam Al-Quran.

“Tidaklah aku utus engkau (Muhammad), kecuali untuk menebar rahmat bagi semesta alam.” (terjemah Qs. Al-Anbiya [21] ayat 107).

Karenanya, sesuai dengan fungsi dan kapasitasnya, khalifah disebut juga sebagai Imaamul Muslimin atau pemimpin Muslimin di seluruh muka bumi, atau ulil amri minkum yaitu orang yang memimpin urusan orang-orang beriman, atau Imaamah linnas yaitu pemimpin semua umat manusia, atau Ro’in yang artinya penggembala umat.

Visi yang hendak dicapai oleh khilafah yang mengikuti sunnah Rasulullah adalah mewujudkan perdamaian dunia yang hakiki dan abadi berdasarkan petunjuk Allah dan Rasul-Nya serta rahmat bagi semesta alam. Visi lainnya adalah mengharap ampunan dan rida Allah di akhirat nanti.

Ada pun misi khilafah adalah meneruskan estafet kepemimpinan para nabi untuk mengembala umat dalam beberapa hal, di antaranya:

  1. membangun aqidah yang bersih, bebas dari unsur-unsur kemusyrikan yang menodainya,
  2. meluruskan ibadah sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
  3. mengikuti teladan Rasulullah dalam membangun akhlak mulia dan terpuji, menjauhkan diri dari segala bentuk akhlak yang tercela,
  4. membangun ukhuwah Islamiyah dengan sesama Muslim sebagai saudara seiman, dan membangun ukhuwah insaniyah,
  5. santun, toleran dan adil terhadap sesama manusia ciptaan Allah walaupun berbeda latar belakang agama dan keyakinan,
  6. memperlakukan flora dan fauna sesuai dengan hak dan kodratnya,
  7. memberikan pendidikan tentang kaidah hukum-hukum Islam,
  8. mewajibkan mencari ilmu-ilmu lain yang manfaat bagi manusia, dan
  9. tidak boleh perang, kecuali diserang atau diperangi musuh.

Faktanya adalah ISIS membangun khilafah versi mereka sendiri dengan mengabaikan umat Islam lainnya yang sangat jauh lebih banyak jumlahnya.

Khilafah Sumber Perdamaian

Secara aksiomatis, umat terbaik akan menjadi sumber perdamaian dunia yang hakiki dan abadi dalam kehidupan sosial, bukan perdamaian dunia yang semu ala semboyan doktrinal yang dikumandangkan oleh PBB dan Amerika Serikat yang tendensius, mengusung sebuah kepentingan terselubung penuh misteri.

Dalam praktiknya, PBB bukan mencegah atau menghukum negara agresor, tapi malah melegalisirnya melalui hak veto.

Ir. Soekarno pernah meyebut “the new emerging force’s”, kekuatan baru yang sedang bangkit dan mengusung misi kemerdekaan, perdamaian dunia dan mengangkat derajat kemanusiaan.

Dan itulah khilafah, sekali pun Presiden RI pertama itu tidak mengatakan secara eksplisit seperti itu.

Jadi, kekhilafahan adalah sumber perdamaian dunia yang hakiki dan abadi yang universal.

ISIS adalah satu bagian dari banyaknya bagian lain dari jamaah muslimin yang tersebar di seluruh dunia dengan berbeda mazhab, pemahaman dan penafsiran, meski semuanya dalam satu akidah.

Namun, bagaimana bisa ISIS mengaku sebagai khilafah atau Abu Bakr Al-Baghdadi sebagai khalifah sendiri dengan cara mengabaikan banyaknya bagian umat Islam yang lain di seluruh dunia?

Bagaimana mungkin ISIS berperang atas nama Islam melawan negara-negara di dunia yang bukan wilayah perang dengan mengabaikan rasa damai saudaranya di belahan dunia lain?

Bagaimana mungkin, khilafah yang seharusnya menjadi sumber perdamaian dunia justeru berupaya menciptakan perdamaian dengan ingin memusnahkan semua orang yang tidak sepemikiran dengan mereka?

Bagaimana mungkin sekalangan orang yang mengaku Muslim menunjukkan prilaku perang yang sama seperti prilaku perangnya orang-orang tidak beriman? (T/P001/R02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0