ISRA Mi’raj merupakan peristiwa penting dalam Islam yang menggambarkan perjalanan luar biasa Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Palestina (Isra), dan kemudian menuju Sidratul Muntaha di langit ketujuh (Mi’raj).
Isra Mi’raj tidak hanya memiliki dimensi spiritual tetapi juga menarik perhatian dari perspektif ilmiah. Perjalanan yang melibatkan waktu, ruang, dan dimensi yang tidak biasa ini membuka ruang diskusi antara para ulama, filosof, dan ilmuwan kontemporer.
Peristiwa ini dijelaskan dalam Al-Qur’an, seperti dalam Surah Al-Isra’ [17] ayat 1: “Maha Suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Penjelasan Ulama Terdahulu
Baca Juga: Menjaga Sam’i wa Tha’at sebagai Landasan dalam Hidup Berjama’ah
Ulama seperti Imam Al-Nawawi dan Imam Al-Ghazali memandang Isra Mi’raj sebagai salah satu mukjizat Nabi Muhammad SAW yang tidak dapat dijelaskan dengan hukum alam biasa.
Mereka menekankan bahwa peristiwa ini adalah kehendak Allah yang berada di luar jangkauan pemahaman manusia.
Imam Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa Isra Mi’raj adalah perjalanan fisik sekaligus spiritual. Dalam pandangannya, Allah menunjukkan kekuasaan-Nya dengan membawa Nabi melalui dimensi-dimensi yang tidak dapat diakses oleh manusia biasa.
Hal ini menunjukkan bahwa mukjizat ini bukanlah hal yang bisa dicerna hanya dengan logika, tetapi harus diterima dengan iman.
Baca Juga: 15 Fakta Masjid Al-Aqsa yang Harus Diketahui Setiap Muslim
Beberapa ulama juga menafsirkan “perjalanan malam” ini sebagai simbol hubungan manusia dengan Allah, di mana Nabi Muhammad SAW diberi kesempatan untuk menyaksikan kebesaran Allah secara langsung.
Hal itu mengandung pesan penting tentang kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya melalui ibadah, khususnya shalat, yang diwajibkan saat peristiwa ini.
Perspektif Ilmiah
Dalam sains modern, peristiwa Isra Mi’raj sering dikaitkan dengan konsep relativitas waktu dan dimensi ruang-waktu. Albert Einstein, melalui teori relativitasnya, menunjukkan bahwa waktu adalah relatif dan dapat melambat dalam kondisi tertentu, seperti dalam perjalanan yang mendekati kecepatan cahaya.
Baca Juga: Hari Holocaust Internasional dan Genosida Gaza
Perjalanan Nabi Muhammad SAW yang berlangsung dalam satu malam namun mencakup jarak yang luar biasa jauh dapat dibandingkan dengan fenomena dilatasi waktu.
Dalam teori relativitas khusus, waktu bagi seseorang yang bergerak sangat cepat (mendekati kecepatan cahaya) berjalan lebih lambat dibandingkan dengan waktu di bumi. Hal ini memberikan analogi ilmiah tentang bagaimana waktu dapat “melambat” atau “berbeda” dalam konteks tertentu.
Selain itu, teori dimensi tambahan yang diajukan dalam fisika kuantum dan string theory juga relevan. Beberapa fisikawan percaya bahwa alam semesta ini memiliki lebih dari empat dimensi (tiga dimensi ruang dan satu dimensi waktu).
Jika perjalanan Isra Mi’raj melibatkan dimensi-dimensi ini, maka peristiwa tersebut dapat melampaui batasan hukum fisika yang kita pahami saat ini.
Baca Juga: Mengapa Seorang Muslim Harus Memiliki Pemimpin? Penjelasan Surat An-Nisa Ayat 59
Pendapat Para Ahli Kontemporer
Dr. Zakir Naik, seorang ahli perbandingan agama, menyatakan bahwa Isra Mi’raj adalah peristiwa mukjizat yang melibatkan campur tangan langsung dari Allah. Ia menekankan bahwa, meskipun sains modern mencoba memberikan analogi, mukjizat tetap berada di luar batasan ilmu pengetahuan.
Sheikh Yusuf al-Qaradawi, seorang ulama kontemporer, menyatakan bahwa Isra Mi’raj adalah peristiwa unik yang tidak harus sepenuhnya dijelaskan melalui sains.
Menurut al-Qaradawi, Isra Mi’raj adalah salah satu tanda kebesaran Allah yang ditujukan untuk memperkuat iman umat Islam. Namun, ia juga mengapresiasi upaya ilmuwan untuk memberikan analogi ilmiah sebagai sarana memahami keajaiban Allah.
Baca Juga: Kumandang Surah Al-Isra’ dari Jakarta untuk Palestina
Pelajaran Spiritual dan Keilmuan
Isra Mi’raj memiliki pelajaran mendalam bagi umat Islam. Perintah shalat lima waktu yang diterima Nabi Muhammad SAW selama Mi’raj adalah inti dari hubungan manusia dengan Allah.
Shalat menjadi sarana untuk “naik” mendekati Sang Pencipta, seperti halnya perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW.
Dari perspektif sains, Isra Mi’raj mengajarkan kita bahwa banyak fenomena di alam semesta yang belum sepenuhnya dipahami. Pengetahuan manusia terus berkembang, namun tetap memiliki batas. Hal ini seharusnya mendorong manusia untuk tetap rendah hati dan mengakui kebesaran Allah.
Baca Juga: Isra Miraj dan Pembebasan Masjidil Aqsa
Isra Mi’raj adalah peristiwa luar biasa yang menggabungkan dimensi spiritual, teologis, dan ilmiah. Para ulama terdahulu menekankan aspek keimanan dan kebesaran Allah, sementara ilmuwan kontemporer mencoba menjelaskan peristiwa ini melalui pendekatan sains modern.
Meskipun sains memberikan wawasan baru tentang kemungkinan dimensi ruang-waktu dan relativitas, Isra Mi’raj tetap menjadi mukjizat yang melampaui batas pemahaman manusia.
Bagi umat Islam, peristiwa ini tidak hanya memperkuat iman, tetapi juga menginspirasi untuk terus menggali ilmu pengetahuan sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT. []
Baca Juga: Tak Ada Tempat Bersembunyi: Kisah Penyandang Disabilitas Gaza di Tengah Genosida
Mi’raj News Agency (MINA)