Israel Bangun Pertahanan dengan Kekuatan Energi Gas

Ladang gas Leviathan di Laut Mediterania. (Foto: Albatross via Getty Images)

Sebuah kesepakatan pipa gas antara Israel dan Eropa yang bertujuan mengubah Israel menjadi eksportir energi utama di kawasan Mediterania, mendapat kecaman dari bangsa Palestina, terutama karena Jalur Gaza yang terkepung terus mengalami krisis energi yang melumpuhkan kehidupan manusia di sana.

“Perjanjian pipa antara Israel, Italia, Siprus dan Yunani hanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan yang secara langsung memperoleh keuntungan dari pendudukan wilayah Palestina,” kata Shawan Jabarin, Direktur Umum Al-Haq, kepada Al Jazeera.

Al-Haq adalah organisasi hak asasi manusia independen non-pemerintah yang berbasis di Ramallah, Tepi Barat. Didirikan pada tahun 1979 untuk melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia dan peraturan hukum di Wilayah Pendudukan Palestina (DIID).

“Ini juga memberi insentif bagi Israel untuk melanjutkan penutupan pantai Palestina, sebuah persetujuan diam-diam Eropa mengenai blokade ‘Angkatan Laut Israel’ dan melanjutkan konflik bersenjata internasional di perairan di lepas Jalur Gaza. Pendudukan terhadap rakyat Palestina akan terus berlanjut menjadi lebih brutal dengan adanya ekspansi industri ,” ujarnya.

Menteri dari Israel, Yunani, Italia, Siprus, dan Komisaris untuk Tindakan Iklim dan Energi Uni Eropa, menandatangani sebuah deklarasi bersama pada bulan April untuk membuat komitmen rencana membangun jaringan pipa gas. Pipa nantinya akan membawa gas alam yang baru-baru ini ditemukan di Israel ke Siprus, Italia dan pasar Eropa melalui Yunani.

Pipa, yang oleh Menteri Energi Jepang Yuval Steinitz digambarkan sebagai pipa gas bawah laut terpanjang dan terdalam di dunia, diperkirakan akan beroperasi pada tahun 2025.

Menteri Steinitz memuji proyek tersebut sebagai awal persahabatan yang luar biasa antara empat negara Mediterania.

“Kami sangat mendukung pengembangan kawasan ini, baik dari segi pandangan umum dan khususnya sebagai pemasok gas masa depan,” kata Komisaris untuk Tindakan Iklim dan Energi Uni Eropa Miguel Arias Canete.

Canete mengharapkan, proyek tersebut memenuhi semua persyaratan yang diperlukan untuk menerima dana melalui Hubungan Fasilitas Eropa, sebuah program yang mendukung pengembangan infrastruktur trans-Eropa dan yang telah mendanai proyek komersial dan penelitian kelayakan teknis.

Ditunjuk sebagai “proyek kepentingan bersama” oleh Uni Eropa, pipa tersebut telah dipasarkan sebagai alternatif ketergantungan arus blok pada energi Rusia dan cadangan Laut Utara yang kian menipis.

Namun, pengamat skeptis. Biaya infrastruktur yang tinggi, ditambah dengan harga gas yang rendah, dipandang sulit untuk mampu bersaing dengan gas Rusia dan akan sulit menarik investor.

Brenda Shaffer, seorang senior di Pusat Energi Global Dewan Atlantik, mengemukakan, kesepakatan tersebut mewakili tujuan politik bersama empat negara.

“Pertimbangan dan tujuan mereka mungkin sangat berbeda dari tingkat politik. Pada tahap ini, proyek yang diusulkan adalah aspirasi politik dan jauh dari kenyataan komersial. Tidak bisa dipastikan bahwa tren permintaan gas saat ini di Eropa selatan secara komersial membenarkan proyek pasokan gas tambahan yang baru,” kata Shaffer.

Elio Ruggeri, Kepala Eksekutif IGI Poseidon, mengatakan, jaringan pipa akan berada pada jarak sekitar 3.500 km dan seharga 5,2 miliar euro ($ 5,6 miliar) sampai ke Yunani, dan 6,2 miliar euro ke Italia. Keputusan investasi akhir akan dilakukan pada 2020.

IGI Poseidon adalah perusahaan yang mengawasi pengembangan proyek tersebut, mitranya antara Edison dan DEPA yang didukung oleh Italia.

Pipa tersebut akan memompa gas dari ladang raksasa Leviathan Israel yang penemuannya pada tahun 2010 mengubah Israel dari importir energi menjadi pemain potensial di wilayah tersebut.

Leviathan diperkirakan memiliki sekitar 20 triliun kaki kubik gas. Noble Energy yang berbasis di Texas memiliki 39,7 persen dari ladang itu. Sementara Delek Drilling dan Avner Oil Exploration, kedua anak perusahaan Grup Delek Israel, masing-masing memegang 22,7 persen. Perusahaan Israel Ratio Oil memiliki 15 persen.

Peta posisi ladang gas Leviathan milik Israel di Laut Mediterania. (Gambar: dok. 2b1stconsulting.com)

Sementara itu, dalam perselisihan yang sedang berlangsung mengenai perbatasan maritim, pemerintah Lebanon berpendapat bahwa ladang Leviathan sebagian berada dalam perairan Lebanon.

Negara pertama yang mendaftar untuk membeli gas Leviathan adalah Yordania. Negara itu menyetujui kesepakatan gas senilai $ 10 miliar dengan Israel tahun lalu. Israel nantinya akan memasok gas sebanyak 8,5 juta meter kubik ke tetangganya tersebut selama 15 tahun.

Kesepakatan itu memicu gelombang protes rakyat di Yordania. Rakyat menganggap kesepakatan itu akan meningkatkan ketergantungan Yordania terhadap Israel, dan juga membiayai pendudukan Israel atas wilayah Palestina.

Susan Power, seorang dosen hukum dan penulis laporan tahun 2015 yang diterbitkan oleh kelompok hak asasi manusia Palestina Al Haq berjudul Annexing Energy, mengatakan bahwa tidak mungkin secara geografis mengisolasi ladang gas dari daratan Israel dan memisahkannya dari konflik dengan Palestina.

“Pada tahun 2011, Noble Energy, operator utama ladang Leviathan, secara sepihak mengekstraksi gas dari ladang gas Palestina/Israel tanpa izin pemerintah Palestina sebagaimana dipersyaratkan dalam hukum kebiasaan internasional dan Persetujuan Oslo,” kata Power.

Ia juga mengungkapkan bahwa Noble Energy juga mengoperasikan sebuah fasilitas penyimpanan gas, Mari-B, yang terletak 13 mil di laut lepas Jalur Gaza dan dihubungkan melalui pipa ke ladang lain yang beroperasi di lepas pantai Haifa, Tamar.

“Israel telah menggunakan operasi angkatan laut yang brutal dan ilegal untuk melindungi platform gas Noble Energy di samping Jalur Gaza. Secara rutin (AL Israel) menyerang, membunuh dan melukai nelayan sipil Palestina yang memancing di sekitar perairan tertutup teritorial Israel yang  ilegal sejauh enam mil,” kata Power.

Sementara itu, Gaza terus mengalami krisis listrik dan energi yang mencapai puncaknya pada awal tahun ini, ketika ribuan orang turun ke jalan untuk memprotes pemadaman listrik 12-18 jam, meningkat dari delapan jam yang biasa terjadi.

Laporan Al Haq menyimpulkan bahwa jika orang-orang Palestina diizinkan untuk mengembangkan sumber daya mereka sendiri, seperti lapangan gas di dekat Laut Gaza, tidak hanya kebutuhan energinya yang akan tertutupi, tapi juga akan mandiri secara ekonomi dan terbebas dari belenggu bantuan internasional.

Pembangkit listrik Gaza yang baru saja dibuka pekan lalu (pertengahan April), membuat Gaza hanya mendapat enam jam listrik sehari untuk layanan dasar, termasuk untuk rumah sakit sehingga menimbulkan risiko.

Pembangkit listrik yang telah dibeli oleh lembaga bantuan Qatar dan Turki untuk memadamkan krisis Jalur Gaza di awal tahun tersebut, kini kehabisan bahan bakar di tengah perselisihan mengenai pajak bahan bakar antara otoritas listrik di Gaza dan Otoritas Palestina di Ramallah.

Ladang gas Leviathan yang dikelola oleh perusahaan Noble Energy dan Delek juga merupakan subyek penyelidikan oleh anti-kepercayaan dan kasus di Mahkamah Agung Israel, karena para oposisi di pemerintahan berpendapat bahwa kedua perusahaan tersebut memiliki kendali yang terlalu besar atas cadangan gas negara tersebut. Kesepakatan Israel dengan negara Uni Eropa pun bukan berdasarkan kepentingan konsumen, tapi karena bisnis yang besar.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah mempertahankan kesepakatan tersebut karena pertimbangan geopolitik dan sebagai investasi untuk keamanan negara. Sejak ditemukannya ladang gas Leviathan, Israel telah melakukan pembicaraan untuk menegosiasikan kesepakatan ekspor gas dengan Turki dan Mesir.

Israel semakin banjir gas ketika ladang gas super raksasa baru, Zohr, ditemukan pada tahun 2015.

“Kemampuan untuk mengekspor gas membuat kita lebih kebal terhadap tekanan internasional. Kami tidak ingin rentan terhadap boikot,” kata Netanyahu. (RI-1/B05)
Sumber: tulisan Ylenia Gostoli di Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)