Israel Ingin Melegalkan Perluasan Pemukiman Di Tepi Barat

Para pembuat undang-undang asal di dan wilayah Palestina yang diduduki telah memperingatkan konsekwensi-konsekwensi berbahaya jika parlemen Israel meloloskan sebuah rancangan undang-undang (RUU) untuk melegalisasikan tanah-tanah yang diserobot di .

Bicara kepada Al Jazeera, Hanin Zoabi, seorang pembuat undang-undang asal Palestina di   Knesset (parlemen) Israel mengatakan, RUU itu adalah “undang-undang aneksasi” dan bagian dari rencana-rencana perluasan Israel untuk “mengembangkan pemukiman dan Judaize Jerusalem”.

Zoabi, seorang anggota koalisi elektoral Arab Joint List yang berkuasa berpendapat bahwa Perdana Menteri Israel garis keras, Benjamin Netanyahu sekarang “tidak lagi khawatir akan kecaman internasional” karena Donald Trump telah menjadi presiden Amerika Serikat (AS).

“Netanyahu tak ingin ada pemikiran rasional di sana dan tak ada alasan untuk bernegosiasi dengan orang-orang Palestina,” kata Hanin.

Senin (30/1) malam, menurut media lokal Knesset menunda sidang pleno dan pemungutan suara atas RUU tersebut hingga Selasa (31/1) pagi.

Jika RUU itu lolos, UU tersebut akan “mengatur pemukiman di Judea dan Samaria (Tepi Barat) dan memungkinkan pemukiman itu dibangun dan dikembangkan” dengan mengijinkan pengambil-alihan tanah-tanah milik orang-orang Palestina seperti yang tercantum dalam teks rancangan itu. UU tersebut akan berlaku bagi 16 pemukiman dan pos-pos pengawalan terdepan.

Lebih dari setengah juta orang Israel tinggal di satu-satunya pemukiman Yahudi di seberang Tepi Barat yang diduduki, termasuk Jerusalem Timur, kata kelompok hak azasi manusia Israel,  B’Tselem.

Meskipun semua pemukiman dianggap ilegal menurut hukum internasional, namun ada lebih dari seratus pos keamanan terdepan yang telah dibangun tanpa otorisasi dan dinilai tidak sah bahkan oleh pemerintah Israel sendiri.

Pada prakteknya, Israel telah menyerobot tanah-tanah milik orang Palestina sejak pendudukan Tepi Barat oleh militer, termasuk Jerusalem dan Jalur Gaza yang terjadi sebagai akibat perang Timur Tengah tahun 1967.

Blok bangunan terakhir rejim apartheid

Walaupun pada awalnya PM Netanyahu menentang RUU itu, kini dia malah menyatakan dukungannya. Menulis dalam twitter dari Ahad, dia mengatakan RUU tersebut akan “mencegah upaya-upaya yang berulang-ulang untuk membahayakan kegiatan pemukiman.”

Mustafa Barghouti, seorang anggota Dewan Legislatif Palestina menggambarkan RUU itu sebagai “blok bangunan terakhir dari rejim rasis apartheid”.

“RUU itu sangat berbahaya karena berarti melegitimasi penyerobotan tanah milik orang Palestina,” katanya kepada Al Jazeera. “Mereka telah melakukan kegiatan itu sejak lama, tetapi tidak berarti sekarang pemukiman-pemukiman itu menjadi perdebatan dalam dan dari mereka sendiri.”

Barghouti mendesak agar Otoritas Palestina (PA) yang berkedudukan di Tepi Barat mengajukan  Israel ke Pegadilan Kejahatan Internasional (ICC) dan mengakhiri seluruh koordinasi keamanan dengan tentara Israel.

Untuk melakukan hal itu, katanya, Fatah, partai yang didominasi PA dan Hamas, yang secara de facto menguasai Jalur Gaza yang dikepung, harus membuat perjanjian persatuan nasional guna membangun sebuah strategi buat melawan ekspansi pemukiman Israel.

“Israel telah menetapkan kemauan mereka, akhir dari sebuah negara Palestina sebagai gagasannya,” katanya. “Adanya penundaan akan berarti Israel benar-benar memiliki keleluasaan untuk melakukan apa yang diinginkannya, menyerobot tanah dan melenyapkan kemungkinan status sebagai negara bagian.”

Sibuk membangun pemukiman

Ekspansi pemukiman telah makin menjadi-jadi dalam beberapa pekan terakhir ini, terutama sejak Dewan Keamanan PBB memungut suara atas sebuah resolusi yang menginginkan dihambatnya kegiatan pemukiman oleh Israel di Tepi Barat tahun lalu, di mana AS di bawah pemerintahan Barrack Obama abstain.

Setelah pemungutan suara itu, Trump, yang dilantik menjadi presiden AS 20 Januari lalu, bersumpah untuk mengubah hal-hal yang ada di PBB.

Dalam sebuah rencana untuk memperluas pemukiman, otoritas Israel baru-baru ini memberikan persetujuan akhir bagi pembangunan 153 rumah di Jerusalem Timur yang diduduki, dengan ribuan lebih orang mengikuti langkah itu.

Di bawah pemerintahan Netanyahu, perluasan pemukiman mencapai 23 persen dari tahun 2009 hingga 2014.

Meski Trump belum membuat pernyataan-pernyataan resmi tentang perluasan pemukiman itu, tetapi orang-orang Palestina di Tepi Barat telah melihat dampak-dampak dari kepresidenannya terhadap wilayah yang diduduki.

Najwan Berekdar, seorang aktivis dari Nazareth yang berkedudukan di  Ramallah menyebutkan kepada Al Jazeera: “Saya tidak mengira Trump akan mengecam pemukiman-pemukiman itu. Dia tidak menyuarakan keberatan atas proyek pemukiman.”

Dia menambahkan, “UU (jika lolos) menguntungkan apartheid, langkah-pangkah yang diambil oleh Israel, merusak reputasi mereka sendiri. Jika RUU itu lolos, itu akan  memperkuat target nyata mereka – mencaplok seluruh tanah Palestina.

Gedung Putih juga mengumumkan bahwa AS berada dalam tahap-tahap awal guna memenuhi janji Trump untuk memindahkan kedutaan Amerika dari Tel Aviv ke Jerusalem, sebuah langkah yang ditentang oleh para pemimpin Palestina serta warga Palestina di Israel dan Tepi Barat.

“UU itu, seperti juga beberapa UU Israel, melanggar prinsip-prinsip demokrasi,” kata Berekdar. “Itu akan merusak hubungan Israel dengan Eropa dan bahkan AS karena pembangunan pemukiman itu ilegal menurut hukum internasional.” (RS1/P1)

Ditulis oleh Daoud Kuttab, seorang jurnalis penerima penghargaan dari Palestina.

Sumber: Al Jazeera

Miraj Islamic News Agency/MINA

Wartawan: illa

Editor: illa

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.