Israel Tunda RUU “Aneksasi” Permukiman

Permukiman ilegal Yahudi di Tepi Barat Palestina (Foto: File)

 

Tel Aviv, MINA – Perdana Menteri Israel memutuskan menunda pemungutan suara atas sebuah RUU tentang “aneksasi” permukiman yang kontroversial.

Para kritikus menganggap RUU tersebut berisi tentang aneksasi secara de facto terhadap permukiman Israel di sekitar Yerusalem.

Sebelumnya, RUU tersebut dijadwalkan akan ambil suara oleh sebuah komite menteri pada Ahad (29/10) untuk mempercepat kemajuannya melalui parlemen.

Para pengamat menilai, penundaan itu adalah sinyal bahwa Netanyahu ingin terlebih dahulu membahas RUU tersebut dengan pemerintah Amerika Serikat yang sedang berusaha untuk memulai kembali perundingan damai Israel-Palestina yang terhenti.

“Undang-undang tersebut juga memerlukan persiapan diplomatik dan dengan demikian akan ditunda untuk saat ini,” kata sumber pejabat Israel yang berbicara dengan syarat anonim. Demikian Nahar Net memberitakan yang dikutip MINA.

RUU tersebut akan menyerap permukiman besar Israel yang saat ini berada di Tepi Barat yang diduduki pindah ke Yerusalem dengan memperbesar batas kota.

Para penentang RUU berpendapat bahwa itu adalah langkah menuju aneksasi sepihak terhadap permukiman Tepi Barat, sebuah langkah yang pasti akan memicu kemarahan internasional.

Bagi sebagian besar masyarakat internasional, status permukiman Israel yang dibangun di atas tanah rakyat Palestina harus diputuskan dalam perundingan damai.

RUU tersebut telah menarik kritik keras dari orang-orang Palestina dan pihak yang berharap dapat menyelamatkan solusi dua negara.

Permukiman yang terkena dampak adalah Maale Adumim, Beitar Illit, Efrat, Givat Zeev, dan blok permukiman Gush Etzion.

Menteri Intelijen dan Transportasi Yisrael Katz adalah orang yang mendorong RUU tersebut. Ia mengatakan akan menambah 150.000 orang lagi menjadi penduduk Yerusalem, memperkuat warga mayoritas Yahudi.

Israel menduduki Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, dalam Perang Enam Hari 1967. Kemudian menganeksasi Yerusalem Timur dalam sebuah langkah yang tidak pernah diakui oleh masyarakat internasional.

Israel menganggap seluruh Yerusalem sebagai ibu kota yang tak dapat dibagi, sementara bangsa Palestina menginginkan sektor timur sebagai ibu kota negara masa depan mereka. (T/RI-1/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)