Isu Terminologi (Oleh: Shamsi Ali, New York)

Oleh: Imam Shamsi Ali/ Presiden Nusantara Foundation 

Seringkali sebuah terminologi membawa kepada pemahaman (understanding) yang kemudian melahirkan karakter (attitude). Sebuah kata itu punya makna yang kerap kali memiliki pengaruh besar dalam pertumbuhan karakter manusia. 

Di masa lalu Islam misalnya seringkali disampaikan dengan terminologi-terminologi yang punya nuansa negatif. Studi Islam di dunia Barat ketika itu biasa dinamai Mohammadanisme  atau ajaran Muhammad. Jika itu berarti bahwa Islam itu memang diajarkan oleh nabi Muhammad tidaklah salah. Tapi nuansa yang terbangun adalah bahwa Islam itu adalah “kreasi” Muhammad seorang Arab. 

Orang Arab dalam pandangan Barat kemudian membawa konotasi yang cukup negatif. Bahwa orang Arab itu keras, kaku, tidak bersahabat, tidak menghormati wanita, tidak menghargai minoritas dan HAM, terbelakang dan malas, tidak ada kebebasan, dan seterusnya. 

Maka jika Islam diartikan buatan Muhammad sang Arab maka Islam itu adalah agama seperti yang digambarkan di atas. Hati-hati wahai Barat. Jika Islam menjadi agama Barat maka semua prilaku dianggap anti modernitas itu akan mendominasi Barat. 

Selain Mohammadanisme studi Islam juga biasanya dilabeli dengan Middle Eastern studies (studi Timur Tengah). Tafsirannya mirip dengan yang pertama tadi. 

Selain kedua itu ada lagi yang lain. Salah satunya adalah orientalisme atau ajaran ketimuran. Konotasi yang timbul dengan terminologi ini adalah bahwa Islam adalah ajaran dari Timur. Sebuah ketidak jujuran intelektual yang nyata. 

Sejatinya semua agama-agama dunia itu asal usulnya dari Timur. Tapi ketidak jujuran intelektual Barat seolah mengatakan bahwa Islam khususnya adalah agama Timur. Sementara agama Kristen dan Yahudi adalah agama Barat. Padahal baik Yahudi maupun Kristen keduanya berasal dari Jerusalem. 

Terminologi Islam 

Dalam perjalanan sejarah umat juga tumbuh beberapa terminologi yang sering dianggap terminologi Islam. Padahal biasanya terminologi itu timbul karena sebuah atau beberapa kasus keadaan sejarah masa lalu. 

Ada beberapa istilah itu yang kiranya tidaklah salah jika kita lihat kembali. Toh istilah-istilah itu bukan dari Al-Quran, juga bukan dari hadits. Kalau sekiranya dari Al-Quran seperti kata “kafir, fasiq dan munafiq” tentu sami’na wa atho’na. Atau dari hadits misalnya “dzimmi” juga sami’na wa atho’na. 

Ada beberapa istilah yang kiranya perlu dilihat kembali apakah kiranya masih sesuai untuk dipergunakan? Atau seharusnya sudah masanya digantikan dengan terminologi lain? Di antara kata itu adalah kata “peperangan” idiologi dan darul “harbi”. 

Pertama, Darul-harbi. Darul harbi diambil dari sebuah situasi untuk membedakan mana negara-negara yang berdamai dengan negara Islam dan mana yang sedang memerangi dunia Islam. 

Jelas bahwa terminologi ini timbul karena adanya keterlibatan peperangan. Sebuah negara dilabeli dengan “al-harb” atau perang karena memang memerangi negara Islam. 

Lawan kata dari “Darul-harb” adalah “Darus-salaam” atau negara damai. Artinya negara yang tidak dalam situasi perang dengan negara Islam. 

Masalahnya di kemudian hari adalah pelabelan ini berubah konotasi atau makna. Kalau dulu perang dan damai menjadi kriteria pelabelan. Kini pelabelan itu bukan lagi pada “perangnya. Melainkan Islam vs non Islam. 

Akibatnya Darus-salam berarti negara Islam. Sementara Darul-harbi berarti negara non Islam. 

Akibat yang kemudian timbul adalah seolah semua negara non Muslim itu masuk dalam kategori “negara perang”. Maknanya negara non Muslim itu sedang dalam situasi memerangi negara Islam. 

Dilemanya sebuah kata dapat mempengaruhi prilaku manusia. Maka negara non Muslim yang dilabel negara perang boleh jadi melahirkan berbagai kecurigaan, kekhawatiran bahkan kebencian.

Kedua, peperangan idiologi. Pengistilahan ini dengan sendirinya melahirkan konotasi yang negatif. Kata perang sudah pasti melahirkan sikap yang kurang positif kepada orang lain. Bahkan boleh jadi melahirkan “kekhawatiran” dan “ketakutan” (phobia), bahkan permusuhan. 

Di sinilah saya menawarkan kedua kata itu diganti dengan Istilah baru. Tentu pergantian itu berdasarkan kepada realita dunia yang saat ini berbeda dari dunia di saat terminologi di atas timbul. 

Kata “Darul-harbi” sudah saatnya diganti menjadi “Daar-da’wah”. Artinya negara non Islam itu adalah negara di mana kewajiban dakwah menjadi sebuah keharusan. Dakwah melahirkan sikap positif. Pendekatan yang penuh bijak yanh dibangun di atas kasih sayang. Bukan ketakutan dan kebencian. 

Sementara kata “perang” idiologi menurut saya masanya diganti menjadi “kompetisi” idiologi. 

Dalam dunia keterbukaan saat ini, khususnya keterbukaan media, semua idiologi bebas menyampaikan ajarannya. Bahkan idiologi terlarang sekalipun tidak bisa dibatasi hanya oleh atur An-atur an formal. Aliran itu akan menerobos dinding-dinding kamar manusia. 

Oleh karenanya kata kompetisi akan lebih positif. Bahkan kompetisi akan membangun semangat positif dalam menampilkan idiologi yang diyakini kebenarannya. 

Sekali terminologi “peperangan” idiologi bisa melahirkan sikap negatif, seperti curiga, khawatir dan takut bahkan benci. Tapi kompetisi melahirkan sikap positif dan motivasi untuk menawarkan idiologi terbaik kita. 

Pada akhirnya manusia akan melihat, memilah dan memilih mana yang terbaik dari ragam idiologi itu. Dan saya yakin: liyuzhirahu aladdini kullih” itu pasti berlaku. Bahwa idiologi Yang benar dan terbaik pasti menjadi pilihan terbaik pula.

Gombara, 3 Desember 2018 

(R07/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.