Jauhar Al Siqilli, Mantan Budak Pendiri Universitas Al Azhar

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

SIAPA yang tak kenal dengan Universitas Al Azhar? Universitas  Al Azhar adalah universitas kebanggaan umat Islam hingga hari ini. Dari universitas di itulah telah lahir banyak cendikiawan-cendikiawan muslim yang kiprahnya sudah tak terbilang di belahan dunia. Untuk Indonesia, salah satu ulama jebolan universitas ternama itu adalah Profesor Dr. H. Muhammad Quraish Shihab, MA. Quraish Shihab adalah seorang ulama kebanggaan Indonesia dalam tafsir Al Quran.

Al Azhar merupakan Universitas tertua, tidak hanya di dunia Islam, namun juga di seluruh dunia. Hal itu karena universitas-universitas di Amerika Serikat dan Eropa baru didirikan dua abad setelah berdirinya Al Azhar, seperti Universitas Paris didirikan pada abad ke-12 Masehi, Universitas Oxford di Inggris pada abad ke-13, demikian juga universitas-universitas Eropa lainnya. Universitas yang mengimbangi Al Azhar dari segi sejarahnya adalah Universitas Qairawan di Kota Fez, Maroko.

Pendiri Universitas Al-Azhar adalah Jauhar adalah mantan budak yang menjadi jenderal perang terkenal di masa Dinasti Fatimiyah.

Jauhar lahir di Mahdia, Tunisia, yang kala itu merupakan ibukota pemerintahan Dinasti Fatimiyah. Tidak ada catatan yang menyebutkan tahun berapa Jauhar lahir. Namun, catatan sejarah lain menyebutkan dia lahir di Sisilia, Italia. Bahkan ada yang menyebut tempat lahirnya di Kroasia.

Kisah hidup Jauhar sangat berliku. Mulai dari seorang budak hingga menjadi jenderal perang berpengaruh. Dia berprestasi membangun armada militer terkuat sepanjang sejarah Islam.

“Jauhar menjadi tokoh terkemuka kala itu karena kemampuan militernya, keberhasilannya mengonsolidasikan kekuasaan para Emir di wilayah yang luas dan juga membuka pusat pengembangan intelektual,” ujar Franco Cardini, Profesor Sejarah Pertengahan pada Universitas Florence, Italia, dikutip dari Al Arabiya.

Saat itu Sisilia kota kelahirannya  didominasi kekuasaan Arab. Hanya ada sumber catatan yang menyatakan bahwa dia lahir di abad ke-10 Masehi. Jauhar muda menjalani kehidupannya sebagai budak. Suatu hari, dia dibawa ke Afrika Utara dan diserahkan kepada Khalifah Al Mansur Billah. Saat pemerintahan diambil alih putranya, Al Muizz, Jauhar dimerdekakan. Segera setelah itu, dia bergabung dengan militer hingga kariernya melejit sebagai komandan pasukan dan menaklukkan daerah sepanjang Afrika Utara dari Maroko hingga Mesir.

Pada 929 M, dia menemukan kota Kairo, yang namanya diambil dari Al Qahira, artinya ‘sang pemenang’. Kota itu menjadi pusat pemerintahan Khalifah Fatimiyah selanjutnya.

“Kairo adalah kekaisaran, sebuah kota yang didirikan dengan tujuan untuk menembus Afrika dan membangun hubungan komersial yang hebat. Kairo sangat penting karena kota ini menjadi pusat pertemuan rute perdagangan,” kata Cardini.

Selain membangun Kairo menjadi kota yang besar, Jauhar juga menjadikannya sebagai pusat pengetahuan kala itu. Ini ditandai dengan didirikannya universitas kuno yang sangat terkenal di dunia hingga hari ini, Universitas Al Azhar.

“Universitas Al Azhar tidak hanya merupakan institusi akademik kuno, tapi juga perwujudan budaya dunia Islam di Abad Pertengahan. Setelah didirikan, kejayaan Al Azhar sempat meredup, tapi kembali menjadi rujukan sains pada abad ke-19,” kata Francesca Corrao, Profesor Bahasa dan Kebudayaan Arab pada Fakultas Ilmu Politik LUISS University di Roma.

Para mahasiswa di Al Azhar mempelajari Al Quran dan Hukum Islam, logika, tata bahasa, retorika, bagaimana menghitung peredaran bulan dan pengetahuan lainnya. Perpustakaan di universitas ini berisi ribuan buku yang menjadi rujukan para mahasiswa.

“Paralelisme antara institusi pendidikan dan keagamaan sangat kuat saat itu, sementara saat ini keduanya terpisah,” ucap Corrao.

Masjid Al Azhar sendiri disebut sebagai tempat favorit para Emir. Di tempat ini, pusat kendali pemerintahan dijalankan dan hingga kini masjid itu tetap berdiri.

Lembaga al-Azhar dalam perjalanan sejarahnya mengalami perubahan-perubahan sangat penting bagi pertumbuhan ilmu dan kemajuan hasil yang dicapainya, saat masjid itu mengalami tambahan fungsi, dari  tempat ibadah dan pusat propaganda ajaran Syi’ah, menjadi sebuah lembaga atau madrasah tinggi dengan sistem baru.

Khalifah Fathimiyah memberikan penghargaan kepada para guru Al-Azhar, mereka mendapat tunjangan rutin dari pemerintah, begitu juga para murid yang belajar di sana. Pasca runtuhnya Dinasti Fathimiyah pada tahun (1171 M).  Salahuddin al-Ayyubi menghapuskan dinasti tersebut dan secara jelas ia menyatakan dirinya sebagai penguasa baru atas Mesir, dengan nama Dinasti Ayyubiyah.

Dalam kekuasaan Dinasti Ayyubiyyah di Mesir (1171-1250 M), perkembangan aliran atau mazhab Sunni begitu pesat, pola dan sistem pendidikan yang dikembangkan tidak lepas dari kontrol penguasa yang beraliran mazhab Sunni, sehingga al-Azhar dan masa-masa berikutnya merupakan lembaga tinggi yang sekaligus menjadi wadah pertahanan Sunni.

Dinasti Fatimiyah berdiri pada tahun 909 hingga 1171 Masehi. Saat itu kondisi Dinasti Abbasiyah di Baghdad melemah dan tidak mampu lagi mengatur daerah kekuasaannya yang luas. Kelahiran dinasti ini dimulai dengan adanya gerakan dari cabang kaum Syi’ah Imamiyah, yaitu Syi’ah Ismailiyah.

Walau bagaimana pun, Dinasti Fatimiyah telah memberikan sumbangan peradaban yang besar bagi peradaban Islam, mereka memberikan ruang berkembangnya ilmu pengetahuan sehingga melahirkan banyak ilmuwan dengan didirikannya Dar al-Hikmah dan Dar al-Ilmi dan keberadaan Universitas al-Azhar sebagai pusat pengkajian ilmu yang masih terasa dan terjaga hingga kini. (A/RS3/P1)

dari berbagai sumber

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.