JEJAK JIHAD PEMUDA INDONESIA DI JALUR GAZA

Muqorrobin Al Fikri, Relawan Rumah Sakit Indonesia di Gaza (Foto: Jamilah/MINA)
Muqorrobin Al Fikri, Relawan Rumah Sakit Indonesia di Gaza (Foto: Jamilah/MINA)

Oleh: Shobariyah Jamilah dan Imtenan Ibrahim/ Wartawati Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Jauh meninggalkan keluarga untuk beberapa tahun tinggal di negeri konflik, Jalur Gaza Palestina, tidak membuat pemuda itu merasa kesepian. Pasalnya, selain dirinya, ada juga beberapa relawan lain asal Pesantren Al Fatah yang tergabung dalam tim Mer C untuk membantu pembangunan RS Indonesia di Jalur Gaza.

Jejak jihad pemuda alumni Pondok Pesantren Al Fatah Cileungsi Bogor itu sudah terekam sejak beberapa tahun lalu saat ia memutuskan untuk bergabung dengan tim Mer C yang menjadi motor utama pembangunan RS Indonesia di Jalur Gaza. Kini, pemuda dengan tinggi badan 170 cm itu berbagi cerita tentang suka dukanya selama beberapa tahun menetap di Jalur Gaza kepada Mi’raj Islamic News Agency (MINA).

Menurut Muqorrobin Al Fikri, nama pemuda itu, untuk bisa berangkat ke Jalur Gaza Palestina bukan hanya sekedar rasa ingin dan mimpi belaka, tapi harus mempunyai tekad yang kuat dan mujahadah (kesungguhan). Apalagi disana (Gaza, red.) ia tak hanya menjadi relawan tapi juga terdaftar sebagai mahasiswa dari Universitas Islam Gaza (UIG). “Tapi intinya, semua itu terjadi atas takdir dan karunia Allah saja,” katanya.

Menurut anak kedua dari 5 bersaudara itu, niat awal ia berangkat ke Gaza sebenarnya untuk menuntut ilmu dien di UIG, namun karena proses pembangunan RS Indonesia di Gaza juga sedang berlangsung, maka ia pun tak mau ketinggalan untuk ikut ambil bagian. “Mulanya saya ke Gaza hanya untuk menuntut ilmu. Tapi, setelah melihat para relawan yang membangun RS Indonesia, maka saya pun ikut membantu. Tentu saya tak ingin tinggal diam,” jelas Fikri.

16 Februari 2013, itulah awal keberangkatannya meninggalkan tanah air dan memantapkan niatnya untuk pergi ke negeri konflik yang diblokade oleh penjajah Zionis Yahudi. Meski di Jalur Gaza sedang terjadi konflik, namun hal itu tak menyulutkan semangatnya yang sudah terlanjur menyala-nyala.

“Saya tahu di Jalur Gaza sedang terjadi konflik. Tapi, saya sudah mempunyai tekad yang bulat untuk pergi ke sana,” ungkapnya mantap.

Antara Kuliah dan Tugas

Selama berada di Jalur Gaza, pemuda yang juga sempat beberapa waktu lalu kuliah di LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta itu harus pandai-pandai membagi waktunya. Pasalnya, selain belajar di kampus, ia juga diamanahi menjadi Ketua Mer C cabang Gaza. “Bagi saya, kuliah sambil menjadi relawan adalah keberuntungan. Bagaimana tidak, di Gaza selain kuliah, saya juga harus memenej waktu sebagai ketua Mer C di Gaza,” jelasnya.

Tak jarang, Fikri harus merelakan jam kuliahnya ‘terbuang’ karena harus membantu relawan lain menyelesaikan pembangunan RS Indonesia. “Ya, sesekali saya memang meninggalkan kuliah karena harus membantu teman-teman relawan,” ungkapnya tersenyum.

Menurutnya, bukan hanya sekali dua kali ia harus meninggalkan jam kuliahnya. Apalagi jika ada pekerjaan pengerjaan bangunan RS Indonesia yang harus segera dikerjakan. “Jika jam kuliah bentrok dengan pekerjaan mendadak lainnya yang harus dikerjakan segera, maka saya lebih memilih pekerjaan,” katanya.

Ia berkisah, suatu hari saat sedang menuju ruang kuliah dimana hari itu ada ujian kampus, tiba-tiba ada yang menelponnya meminta bantuan untuk mengurus perizinan dan melobi ke instansi pemerintahan terkait. “Akhirnya, saya meninggalkan ujian hari itu dan tidak masuk kuliah,” ceritanya.

Karena seringnya meninggalkan kuliah, di akhir semester nilainya pun tak muncul, terutama pada saat ujian. Mempertimbangkan kejadian yang dialaminya itu, akhirnya ia memutuskan untuk pindah jurusan. Semula ia mengambil jurusan Syariah tapi akhirnya pindah ke jurusan Tarbiyah Islamiyah.

“Harusnya saya hanya fokus menuntut ilmu, tapi itu tidak mungkin karena saya juga harus bekerja. Selama kuliah, saya sudah pindah jurusan tiga kali. Pertama, jurusan Syariah Islamiyah, kedua Usuluddin dan ketiga Tarbiyah Islamiyah,” jelasnya.

Di bumi para Nabi itu, ia bertekad bisa menyelesaikan studinya hingga meraih gelar doktor dengan fokus program Syariah Islamiyah. “Kedepan, jika saya diberikan kesempatan lagi, maka saya harus fokus untuk kuliah hingga meraih gelar doktor. Apalagi pembangunan RS Indonesia Gaza ini sudah selasai,” tuturnya.

Menurut Fikri, banyak sekali pengalaman dan pelajaran baru yang diperolehnya selama tinggal di Jalur Gaza. Ia melihat, semangat menuntut ilmu warga Gaza begitu tinggi, meski negeri itu terblokade oleh Zionis Yahudi. “Belajar itu intinya ilmu, bukan pada nilai. Jika kita hanya mengejar nilai yang tinggi itu mudah,” pungkasnya.

Ia mengisahkan, warga Gaza lebih maju dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, terutama dalam menghafal Al Qur’an. Hal itu menurutnya, sangat berbeda sekali dengan Indoneseia yang jauh lebih aman, tanpa konflik.

Ia mencontohkan di antara perbedaan itu antara lain seperti halnya system perkuliahan di Gaza. “Di Gaza, bangunannya jauh lebih megah dan harus memenuhi standar bangunan Eropa, dengan system online. Mungkin kita mengira warga Gaza begitu banyak tertinggal dalam segala hal termasuk pendidikan karena negerinya terblokade. Justru sebaliknya, mereka lebih tajam melihat jauh kedepan untuk bangkit dan maju dalam mengatasi semua masalah,” terangnya.

Fikri mengisahkan, saat ada serangan penjajah Israel, secara otomatis kegiatan belajar mengajar diliburkna sementara sampai serangan itu berakhir. Menurutnya, bagaimana tidak diliburkan, sebab beberapa gedung kuliah terkena bom Israel hingga hancur.

Sambutan Warga Gaza

Fikri berfoto bersama dengan keluarganya saat menyambut kedatangannya di Bandara Soekarno Hatta, Kamis (25/6)
Fikri berfoto bersama dengan keluarganya saat menyambut kedatangannya di Bandara Soekarno Hatta, Kamis (25/6)

Fikri menceritakan, sambutan warga Gaza kepada para relawan Mer C begitu tinggi. Menurutnya, warga Gaza menyambut dengan hangat dan gembira. Terutama anak kecil yang langsung bisa akrab dengan para relawan itu. Yang juga tak kalah berkesan, warga Gaza berlomba-lomba memberikan undangan untuk makan siang atau makan malam ke rumah mereka.

“Saking banyaknya undangan, kami tidak bisa pergi atau membagi tugas menghadiri undangan tersebut. Kadang, ada juga undangan makan itu datang bersamaan. Karena semua relawan diminta tuan rumah harus menghadiri undangannya, maka kita terpaksa memilih salah satu,” ucapnya.

Hal menarik lain yang bisa dipetik sebagai pelajaran adab dari warga Gaza menurut Fikri adalah menitipkan salam dan doa. Setiap bertemu, orang Gaza selalu menitipkan salam dan doa agar mereka juga bisa berkunjung ke Indonesia. “Atau sebaliknya, mereka mendoakan kita agar selalu bisa berkunjung ke Gaza lagi,” terang Fikri.

Meski Syahid, Tetap di RS Indonesia

Hal yang tak kalah menegangkan bagi Fikri adalah saat terjadi perang di Jalur Gaza. Sebagai relawan, Fikri dan teman-teman sesama relawan lainnya tak mampu berbuat banyak. Yang mampu mereka lakukan adalah tetap tinggal di RS Indonesia apa pun yang terjadi. Menurutnya, RS Indonesia adalah amanah seluruh rakyat Indonesia dan itu harus terus dijaga hingga pembangunan itu selesai.

Menurutnya, tak sedikit warga Gaza yang menawarkan kepada para relawan agar pindah ke tempat yang jauh lebih aman. Bahkan, Kedubes Mesir pun menawarkan untuk evakuasi, tinggal di Mesir atau kembali ke Indonesia. Apalagi semua warga Gaza yang tinggal di sekitar RS Indonesia sudah mengungsi mencari tempat yang aman.

“Karena banyak tawaran kepada kami untuk pindah ke tempat yang lebih aman, maka kami para relawan memusyawarahkannya terlebih dulu, apakah perlu pindah atau tetap bertahan di RS Indonesia. Dengan segala resiko, para relawan memutuskan untuk tetap berada di RS Indonesia,” katanya.

Suatu malam, saat perang sedang berlangsung, diluar RS Indonesia terdengar suara roket dan bom penjajah Israel keras sekali, mengguncang kota Gaza. Semua relawan tidak bisa tidur. Bukan hanya itu, rasa takut pun sempat menyelimuti para relawan sebab khawatir jangan-jangan mereka pun jadi korban kebiadaban penjajah Israel. Serangan bertubi-tubi yang dilancarkan pasukan Israel malam itu semakin menambah rasa tawakal para relawan. Di antara sekian banyak serangan, bangunan RS Indonesia pun sempat terkena sasaran.

“Kami tetap bertahan dan selalu berzikir kepada Allah agar dilindungi dari bahaya tersebut. Bagi para relawan, Allah-lah satu-satunya pelindung yang bisa melindungi kami. Hidup dan mati hanya Allah yang mengetahui. Jika kematian itu datang, maka walau kita bersembunyi di manapun tidak bisa lari dari takdir-Nya,” ceritanya.

Para relawan juga merasa bersyukur sebab selama perang berlangsung, stok makanan masih ada. “Alhamdulillah sebelum perang terjadi  kami masih punya stok makanan. Jadi kami tidak sampai kelaparan menunggu hingga perang berakhir,” ucapnya penuh syukur.

Setelah perang usai, beberapa orang temannya sempat bertanya dimana keberadaan Fikri saat perang berlangsung. Ia menjawab, “Saat perang berlangsung saya dan para relawan masih bertahan di RS Indonesia.” Teman yang mendengar jawabannya terkejut dan dengan berkomentar, “Kamu masih bertahan di situ (RS Indonesia, red.). Apakah kamu cari mati!”

Keterkejutan temannya itu ia jawab dengan santai, “Alhamdulillah, kami selamat, buktinya kami masih hidup dan Allah melindungi kami.”

Menurut pemuda berjenggot itu, meski perang sudah usai, tapi bukan berarti Gaza aman. Sewaktu-waktu perang bisa saja terjadi tanpa diduga. “Kemarin, saat saya dan teman-teman relawan tiba di Mesir mendapat kabar di Gaza baru saja terjadi penembakan. Yah, begitulah situasi di Gaza, perang bisa terjadi kapan dan dimana saja,” jelasnya.

Pulang ke Indonesia

Kini ia sudah berada di Indonesia. Kepulangannya bersama 13 relawan lainnya berjalan lancara. “Alhamdulillah proses kepulangan kami ke tanah air lancar dan  tidak ada hambatan hanya pemeriksaan biasa dan itu merupakan proses yang normal. kami berangkat dari RS Indonesia pada Selasa  pukul 06.00 pagi waktu Gaza. Lalu menunggu di perbatasan Rafah jam 09.00 kemudian melanjutkan perjalanan ke Mesir,” katanya menjelaskan.

Sekitar pukul 01.00 siang Fikri dan para relawan tiba di Mesir. Di Mesir, ia dan rombongan menginap di hotel sampai Rabu jam 08.00 pagi. Hari itu juga, tim relawan melanjutkan perjalanan ke bandara di Kairo. Para relawan transit di bandara Dubai  sekitar 5 jam dan kemudian menuju ke Jakarta selama 12 jam penerbangan.

“Alhamdulillah, kami 14 orang relawan telah tiba di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta pada Kamis (25/6) jam 3 sore. Semua ikhwan, teman-teman dan keluarga telah menunggu penyambutan kepulangan kami dengan rasa bahagia. Perjalanan panjang selama dua setengah tahun tidak akan pernah terlupakan, dan itu jadi sejarah hidup saya,” katanya. (L/P005/Imt/R02)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Comments: 0