Oleh: Kate Mayberry, koresponden Al Jazeera di Asia
Dengan perasaan gembira setelah kelahiran anak pertama mereka, pasangan Za Tim (32) dan Sin Sin (29) bersiap meninggalkan Rumah Sakit Umum Kuala Lumpur. Tapi ketika suami isteri itu keluar dari lift, petugas imigrasi Malaysia sudah menunggu.
Za Tim, seorang pengungsi asal Myanmar yang terdaftar di Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi di Malaysia dipisahkan dari isteri dan anaknya.
Petugas imigrasi membawa ibu dan anak ke kendaraan yang menunggu dan mengantar mereka ke penjara yang gersang, di mana akses terhadap air terbatas dan tidak ada perawatan medis.
“Saya tidak bisa mengungkapkan apa yang ada di pikiran saya,” kenang Sin Sin dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera. Anaknya kini berusia enam bulan, berkaki gemuk, tersenyum dan lucu, tergendong di pinggul ibunya dengan sarung berwarna biru. “Saya menangis, bayi menangis. Itu sangat traumatis.”
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Sin Sin adalah salah satu dari sejumlah pencari suaka dari kebangsaan yang berbeda dan ditahan di Malaysia setelah melahirkan sejak awal tahun ini.
“Ini mengejutkan,” kata Katrina Maliamauv, aktivis yang bekerja untuk pengungsi dan migran perempuan di Tenaganita, sebuah LSM Malaysia. “Ada ketakutan dalam banyak komunitas. Hal ini bisa mendorong perempuan melahirkan dalam kondisi yang tidak aman.”
Buruknya layanan penjara Malaysia
Hukum imigrasi Malaysia tidak membuat perbedaan antara migran tidak berdokumen, pencari suaka atau pengungsi, semua dianggap ilegal dan rentan terhadap penahanan dan deportasi.
Malaysia adalah negara yang tidak menandatangani Konvensi PBB tahun 1951 tentang pengungsi. Sebagai orang asing, sebagian besar diwajibkan membayar biaya penuh untuk perawatan medis, meskipun mereka terdaftar sebagai pengungsi oleh UNHCR yang bisa mendapatkan keringanan 50 persen.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Sin Sin meninggalkan desanya di negara bagian Chin terpencil Myanmar pada 2013 untuk bergabung dengan suaminya yang telah melarikan diri ke Malaysia, menghindari kekejaman militer Myanmar. Suaminya telah meminta PBB untuk menambahkan Sin Sin ke kartu suaminya dan sedang menunggu janji.
“Saya merasakan sakit luar biasa dalam hati saya,” kata Za Tim saat mengingat hari di mana istri dan anaknya diambil darinya.
Sementara di penjara, Sin Sin tidak memakaikan anaknya pakaian atau popok. Sebaliknya, ia membungkusnya dengan longyi – sebuah sarung khas Burma – yang dibawanya ke rumah sakit untuk melahirkan.
Ibu anak itu tidur bersama di lantai beton selnya bersama sekelompok wanita Indonesia. Setelah empat hari, ia dipindahkan ke Pusat Penahanan Bukit Jalil di pinggiran Kuala Lumpur.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Meskipun dianggap sebagai salah satu fasilitas penahanan imigrasi yang lebih modern di negara itu, Sin Sin mengatakan kondisinya memprihatinkan. Para tahanan diharuskan membeli makanan. Namun bagi Sin Sin yang tanpa uang, terpaksa mengandalkan kebaikan wanita lain yang berbagi sel dengannya.
Di sisi lain, Za Tim suaminya yang adalah seorang pria kurus dan bekerja sebagai tukang servis AC, merasa putus asa.
“Saya sangat khawatir,” katanya dalam sebuah wawancara di apartemennya yang berbagi bersama dua keluarga lainnya di pusat kota. “Saya tidak bisa memikirkan. Saya tidak bisa makan atau tidur.”
Pada akhirnya, Za Tim mencari bantuan orang-orang di komunitasnya, yang kemudian menghubungi PBB. Butuh sebulan setengah sebelum akhirnya keluarganya dibebaskan.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Kelompok masyarakat dan LSM yang mewakili orang-orang dari Myanmar, Timur Tengah dan Sri Lanka mengatakan, mereka menyadari sejumlah kasus perempuan tanpa dokumentasi resmi ditahan, setelah melahirkan di rumah sakit umum dengan menghabiskan lebih dari tiga bulan masa tahanan.
Masalah ini diharapkan menjadi agenda Dainius Puras, Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Kesehatan, selama kunjungannya ke Malaysia yang dijadwalkan pada awal Desember.
Sin Sin mengatakan kepada Al Jazeera, pola makan yang buruk dalam tahanan mencegahnya dan wanita lain untuk menyusui. Sin Sin tidak punya pilihan, ia memberikan air kepada anaknya di usia satu bulan, karena tidak ada susu formula yang baik. Ibu-ibu lain mengatakan, kebutuhan dasar seperti popok jatahnya digilir.
Lambatnya respon perubahan dari pemerintah
Wakil Menteri Dalam Negeri Malaysia, Wan Junaidi Tuanku Jaafar mengakui, penahanan perempuan dan anak-anak yang rentan tersebut bertentangan dengan Konvensi Hak Anak, di mana Malaysia turut berandatangan.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Dia mengatakan, pemerintah ingin meninjau kasus penahanan tersebut secepat mungkin.
“Kami ingin melakukan yang terbaik,” katanya kepada Al Jazeera dalam sebuah wawancara. “Tapi karena keterbatasan ruang, waktu dan hal-hal lainnya, itu tidak vvbisa secepat yang kita inginkan merubahnya.”
Sementara staf rumah sakit menolak membahas penahanan tersebut kepada Al Jazeera.
Secara pribadi, administrator kesehatan merasa khawatir terhadap non-warga negara Malaysia. Migran yang tidak memiliki dokumen ada sekitar dua juta orang, menciptakan masalah tersendiri bagi Malaysia.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
“Kebijakan Imigrasi untuk menangkap dan menahan wanita tersebut, terutama pada saat melahirkan, membuat Malaysia dan kebijakannya tampak kejam dan tidak manusiawi,” tulis lembaga kesehatan Health Equity Initiatives yang berbasi di Kuala Lumpur dalam sebuah pernyataan persnya pada bulan April.
Pernyataan tersebut didukung oleh delapan LSM lainnya yang bekerja di bidang kesehatan, pengungsi dan hak-hak perempuan.
Kelompok yang bekerja membantu para migran, menasihati para wanita yang tanpa kartu pengungsi untuk menghindari rumah sakit umum. Mereka menilai penahanan hanya menambah kesulitan mereka yang berusaha untuk bertahan hidup di sebuah negara yang nyaris tidak mengakui keberadaan mereka.
“Ini membuat orang sangat takut,” kata Josie Tey, Koordinator Kantor Keuskupan Agung untuk Pembangunan Manusia, yang diawasi oleh Gereja Katolik, dan memberikan bantuan kepada para migran dan pengungsi.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
“Apa yang terjadi dengan hati kepedulian kita? Ke mana itu pergi?” protesnya. (P001/R03)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Sumber: Al Jazeera
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel