Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) apapun bentuknya sesungguhnya merupakan tindakan yang telah melanggar syari’at Islam. Karena Islam adalah agama yang mengajarkan kemaslahatan dan keadilan dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Termasuk mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan.
KDRT itu sendiri, menurut ahli sosial terbagi menjadi kekerasan fisik, seperti : pemukulan, pencekikan, bantingan, pemerkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi tenaga kerja, dsb. Lainnya adalah kekerasan non-fisik, seperti : teror, intimidasi, direndahkan posisinya dalam keluarga, ditinggal begitu saja tanpa alasan.
Faktor penyebab terjadinya KDRT pun bermacam-macam, mulai dari memang karakter pribadi pelakunya yang bermoral rendah, pemabuk, penjudi, frustasi, atau kelainan jiwa. Kondisi korban juga dapat memancing terjadinya KDRT, seperti: suami tidak
memberikan nafkah lahir dan batin kepada isteri, isteri tidak berpengertian kepada suami, isteri yang sengaja berperilaku hingga suaminya marah.
Baca Juga: Muslimah Produktif: Rahasia Mengelola Waktu di Era Digital
Kondisi lainya adalah keadaan rumah tangga yang sudah mencapai titik rentan, sudah berlangsung lama, sehingga kondusif untuk terjadinya KDRT, seperti; perselingkuhan, pertengkaran yang terus-menerus, sudah tidak ada kepercayaan, dan salah satu pasangan sudah tidak merasa aman dan tak nyaman lagi.
Hal itu ditambah faktor lainnya seperti kondisi masyarakat sekitar, atau faktor ekonomi keluarga.
Adapun di dalam Islam, terkandung nilai-nilai yang sangat indah dalam kehidupan berumah tangga. Allah menyebutkan di dalam ayat:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS An-Nisa/4: 34).
Baca Juga: Ibu Rumah Tangga Bahagia: Kunci Kesuksesan Muslimah di Rumah
Pada ayat ini disebutkan bahwa lelaki (suami) itu adalah pemimpin, pengurus, pendidik, pelindung dan pembina kaum wanita (isterinya). Bagaimana mungkin sang suami dikatakan sebagai pelindung, kalau sang isteri yang berlindung di rumah suami malah mendapatkan perlakuan KDRT?
Sementara seorang isteri berkewajiban taat kepada suaminya dalam hal-hal yang diperintahkan Allah, yang mengharuskan seorang istri taat kepada suaminya. Taat kepada suami ialah dengan berbuat baik kepada suami dan menjaga harta suami, serta mampu menjaga diri dari berbuat maksiat.
Ayat ini, walaupun ada penggunaan kata “dan pukullah mereka“, itu bukan berarti memperbolehkan KDRT.
Namun yang dikedepankan adalah, “nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka”.
Baca Juga: Peran Muslimah di Akhir Zaman: Ibadah, Dakwah, dan Keluarga
Itupun dengan catatan, kalau memang si isteri itu bersikap membangkang terhadap suaminya (an-Nusyuz ). An-Nusyuz yakni sikap tinggi diri atau sombong terhadap suaminya, tidak mau melakukan perintah suaminya, berpaling darinya dan membenci suaminya.
Apalagi pada ujung ayat, diperkuat dengan kalimat, “Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.”
Di dalam Kitab Sunan dan Kitab Musnad disebutkan dari Mu’awiyah ibnu Haidah Al-Qusyairi, bahwa ia pernah bertanya :
يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا حَقُّ امْرَأَةِ أَحَدِنَا؟ قَالَ: “أَنْ تُطعمها إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلَا تَضْرِب الوَجْهَ وَلَا تُقَبِّح، وَلَا تَهْجُر إِلَّا فِي البَيْتِ”
Baca Juga: Kesabaran Seorang Istri
Artinya: “Wahai Rasulullah, apakah hak seorang istri di antara kami atas diri suaminya?” Nabi menjawab: Hendaknya kamu memberi dia makan jika kamu makan, dan memberinya pakaian jika kamu berpakaian, dan janganlah kamu memukul wajah dan jangan memburuk-burukkan, janganlah kamu mengasingkannya kecuali dalam lingkungan rumah.”
Berkaitan dengan ini, Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa jika si istri berbuat Nusyuz, hendaklah si suami memisahkan diri dari tempat tidurnya. Jika si istri sadar dengan cara tersebut, maka masalahnya sudah selesai. Tetapi jika cara tersebut tidak bermanfaat, maka diizinkan untuk memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai, hingga ia kembali taat.
Ujung ayat, mengandung ancaman terhadap kaum laki-laki (suami), yang berlaku aniaya terhadap istrinya tanpa sebab. Karena sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar yang akan menolong para istri. Allahlah yang akan membalas terhadap lelaki (suami) yang berani berbuat aniaya terhadap isterinya.
Dalam beberapa Kitab Tafsir malah banyak yang menjelaskan bahwa makna “pukullah” kata tersebut adalah majaz, artinya perumpamaan, kiasan. Sehingga kata di atas diartikan mendidik atau memberi pelajaran yang tegas, simbol dari peringatan keras.
Baca Juga: Muslimat dan Dakwah, Menyebarkan Kebaikan Lewat Akhlak
Menurut ulama kontekstual, memukul isteri dalam kehidupan rumah tangga hakikatnya tidak diperkenankan. Karena Nabi tidak pernah melakukan demikian, dan memaafkan adalah lebih baik.
Jikapun memukul secara fisik itu terpaksa atau darurat itu dilakukan, setelah berbagai upaya sebelumnya dilakukan belum berhasil. Pemukulan itupun hanya dilakukan dalam rangka
mendidik, dengan memperhatikan beberapa ketentuan yang digariskan ulama, yakni: dilarang memukul dengan menggunakan benda tajam atau benda keras yang membahayakan, dilarang memukul pada bagian wajah, dilarang memukul pada tempat yang membahayakan, dan pukulan tersebut pun tidak menyakiti, tidak menyebabkan bekas.
Begitulah indahnya ajaran Islam yang penuh kasih sayang (rahmatan lil ‘alamin), yakni menjadi rahmat bagi semesta, dari mulai lingkup individu, keluarga, masyarakat dan peradaban dunia.
Dengan demikian, segala bentuk KDRT jelas tidak relevan dengan ajaran Islam. Jikapun ada permasalahan, selesaikanlah dengan cara yang ma’ruf, bijak dan dapat diterima. Diskusikan dengan cara yang baik untuk keutuhan rumah tangga. Bila perlu menghadirkan pihak ketiga, seperti orang tua, ulama, ustadz atau tokoh pendamai, untuk memberikan pencerahan kebaikan rumah tangga.
Justru hadirnya rumah tangga adalah untuk menciptakan keluarga yang harmonis, sakinah, mawaddah warahmah, penuh kenyamanan dan ketenangan di dalamnya, dalam rangka beribadah mencari ridha Allah. Aamiin. (A/RS2/P1)
Baca Juga: Belajar dari Ibunda Khadijah RA, Teladan untuk Muslimah Akhir Zaman
Mi’raj News Agency (MINA)